Melacak Sosok Gubernur yang Diinginkan Publik Jateng
Pilgub Jateng menjadi medan terbuka karena belum ada sosok kuat calon gubernur. Adakah figur kader PDI-P sekuat Ganjar?
Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep bersama KGPAA Mangkunegara X atau Gusti Bhre menjumpai awak media seusai laga fun football di Stadion Sriwedari, Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (21/7/2024).
Selepas kepemimpinan Ganjar Pranowo dua periode (2013-2023), belum muncul lagi sosok pemimpin wilayah yang dinilai mampu menggantikan tampuk kursi gubernur Jateng. Hal itu terindikasi dari minimnya elektabilitas nama-nama bakal calon gubernur yang direkomendasikan publik Jateng.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sebanyak 64 persen responden hasil survei Kompasdi Jateng pada 20-25 Juni 2024 menyatakan, belum mengetahui atau menjawab siapa sosok calon gubernur yang mereka preferensikan sebagai gubernur Jateng. Proporsi itu jauh lebih besar daripada jawaban responden DKI, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten yang terentang dari kisaran 30-50 persen.
Di keempat provinsi tersebut, sosok yang dipreferensikan oleh responden sudah relatif terbentuk yang terindikasi dari relatif besarnya tingkat elektabilitas. Secara aspek pengenalan, hal itu terjadi baik karena faktor petahana, yakni Ridwan Kamil di Jabar, Khofifah Indar Parawansa di Jatim, Anies Baswedan di Jakarta, dan faktor popularitas kandidat seperti Airin Rachmi Diany di Banten.
Jawa Tengah menjadi medan kontestasi yang lebih terbuka karena dua nama kandidat terpopuler dan terfavorit, Kaesang Pangarep dan Ahmad Luthfi, hanya membentuk 13,8 persen elektabilitas. Sebaran nama lainnya mencakup sembilan nama dengan rentang 0,8 persen hingga 3,2 persen.
Menjadi pertanyaan mengapa hanya nama Kaesang dan Ahmad Luthfi yang cukup signifikan meraih elektabilitas di survei ini? Salah satunya adalah faktor ”Jokowi efek” pada nama Kaesang yang sedikit banyak memberi jaminan rasa aman secara politik bagi para pemilih dan simpatisan Jokowi di Jateng.
Hal ini juga mengena kepada nama Kapolda Jateng Irjen Ahmad Luthfi, yang secara masif dikenalkan kepada publik sebagai calon gubernur Jateng melalui baliho-baliho. Selain mengenalkan diri, diembuskan pula narasi politik bahwa Ahmad Luthfi adalah calon yang didukung Presiden Joko Widodo.
Saat ini Ahmad Luthfi sudah dimutasi ke Jakarta sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan. Mutasi ini membuat pangkatnya naik menjadi Komisaris Jenderal. Seiring dengan itu beredar kabar bahwa langkah tersebut merupakan strategi untuk nantinya memajukan Ahmad Luthfi sebagai calon yang sudah berstatus sipil. Namun, di sisi lain, muncul pula pertanyaan bahwa langkah itu justru kontraproduktif dengan popularitas yang sudah diraih selama ini.
Di sisi lain, gerak-gerik Kaesang Pangarep semakin menunjukkan kemungkinan dipasangnya dia di Pilkada Jateng. Baik Presiden Jokowi sebagai ayahanda, Partai Solidaritas Indonesia sebagai entitas politiknya, maupun sejumlah partai politik Koalisi Indonesia Maju (KIM) sudah memberi isyarat akan mendukung Kaesang jika maju di Jawa Tengah.
Hal ini berarti menyatukan kekuatan ”Jokowi efek” baik melalui ketokohan Ahmad Luthfi maupun Kaesang Pangarep untuk meraup dukungan di Jateng. Lantas, bagaimana dengan tokoh dari PDI-P sebagai partai pemenang Pileg Jateng, akankah mereka menyerah begitu saja dengan serangan kubu Jokowi melalui Kaesang Pangarep dan Ahmad Luthfi?
Cita rasa pemilih Jateng
Sulit dipahami bahwa di provinsi dengan nuansa penguasaan spirit nasionalisme yang tinggi seperti Jateng dan jumlah kepala daerah (kota/kabupaten) yang mayoritas tak mampu memiliki kandidat gubernur sendiri. Sejumlah nama memang muncul dari hasil survei Kompas pada Juni 2024 dengan yang teratas adalah Hendrar Prihadi, Wali Kota Semarang (2016-2022); dan Bambang Wuryanto, ”sang panglima” PDI-P Jateng (Ketua DPD PDI-P Provinsi Jateng).
Namun, sayangnya, elektabilitas keduanya masih relatif dalam batas margin error meski tingkat popularitasnya tak bisa dikatakan rendah. Bambang Wuryanto, misalnya, dikenal oleh 43,6 persen responden, Hendrar Prihadi 14,2 persen, dan Joko Sutopo (Jekek) oleh 9,2 persen responden. Jekek merupakan mantan Bupati Wonogiri.
Ada pula nama Casytha Arriwi Kathmandu yang meraih tingkat popularitas 12,6 persen dan Seno Samodro 7,6 persen. Casytha Kathmandu merupakan anggota terpilih DPD Jateng, sementara Seno Samodro merupakan mantan Bupati Boyolali dua periode.
Bandingkan tingkat popularitas itu dengan Wakil Gubernur Taj Yasin Maimoen sebesar 34,0 persen, Dico Ganinduto 25,6 persen, bahkan Ahmad Luthfi 33,6 persen. Tengok pula popularitas Sudirman Said yang pernah mencalonkan diri sebagai cagub Jateng 2018, hanya meraih 21,6 persen. Bahkan, KGPAA Mangkunegara X pun hanya meraih popularitas sebesar 16,6 persen.
Sebagai politisi, hanya nama Kaesang Pangarep yang meraih popularitas tertinggi kedua, yakni 84,4 persen, sedikit di bawah popularitas artis Raffi Ahmad yang meraih 91,2 persen. Nama Raffi Ahmad populer di konteks Pilkada Jateng bukan hanya karena sisi keartisan, melainkan beberapa waktu lalu sudah dipasangkan dengan Dico Ganinduto sebagai pasangan bakal calon gubernur Jateng dari Golkar.
Dari sebaran popularitas tokoh yang relatif masih fluktuatif ini tersirat bahwa masyarakat Jawa Tengah relatif tak memiliki tokoh kuat di level provinsi selepas era Ganjar Pranowo. Tokoh-tokoh cenderung populer sebatas di lingkungan wilayahnya sendiri. Seperti Bupati Wonogiri Jekek, ia sangat populer di Wonogiri dan sekitarnya saja.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Menanti Tuah Jokowi di Jateng
Hal itu dibenarkan Dekan Fisip Universitas Diponegoro Teguh Yuwono yang menengarai popularitas para kepala daerah di Jateng banyak yang berkutat di lokalitasnya saja. ”Minimnya elektabilitas sosok tokoh politik di Jateng karena pengaruhnya cenderung bersifat lokal,” kata Teguh. Hal ini terkait karakteristik masyarakat Jateng yang masih cenderung perspektif tradisional dalam memandang kepala daerahnya yang juga terindikasi dari hasil survei ini.
Faktor-faktor latar belakang tokoh yang bersifat identitas sosial, seperti suku dan agama, laki-laki cenderung lebih diapresiasi oleh responden Jateng. Sementara itu, tokoh berlatar belakang keraton cenderung kurang kuat dipilih karena faktor demografis Jateng yang di daerah-daerah tertentu, seperti Tegal, Banyumas raya, dan sebagian pantai utara Jateng, memiliki enklave-enklave budaya tersendiri dan tak semuanya menjadikan keraton sebagai rujukan pusat nilai budaya.
Pengaruh degradasi kandang banteng
Pemilu Presiden 2024 memberikan pukulan telak kepada keyakinan para pemilih PDI-P karena Ganjar Pranowo-Mahfud MD kalah signifikan dari Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Prabowo-Gibran meraih 12,09 juta suara (53,0 persen), sedangkan Ganjar-Mahfud hanya meraih 7,83 juta suara (34,3 persen).
Raihan suara itu sungguh mengejutkan berbagai kalangan karena dalam berbagai acara pengumpulan massa gambaran kekalahan tersebut tak terlihat. Sebaliknya, kampanye-kampanye PDI-P senantiasa dipadati para simpatisan dan kader partai banteng yang pada gilirannya memberikan keyakinan pada pemilih PDI-P atas kemenangan di Jateng baik untuk pilpres maupun pileg.
Teguh Yuwono melihat fenomena kekalahan Ganjar di pilpres sebagai salah satu penanda penting ”intrusi” pengaruh Jokowi di perpolitikan Jawa Tengah. ”Jokowi efek telah membuat pergeseran peta politik di Jawa Tengah karena muncul kekuatan yang mengimbangi pamor PDI-P,” kata Teguh.
Bagaimanapun, proses politik yang terjadi jelang dan selama Pilpres 2024 telah banyak memengaruhi sikap pemilih Jateng. Loyalitas terhadap PDI-P ”terganggu” karena terbagi menjadi aras politik yang dipengaruhi Presiden Jokowi dan aras Megawati Soekarnoputri. Hal itu terlihat dalam hasil pilpres dan pileg di mana perolehan suara kubu Jokowi jauh melampaui kubu PDI-P.
”Jawa Tengah mengalami perubahan kontektualitas dari yang semula kandang banteng di bawah komandi keluarga Soekarno ternyata mampu diimbangi oleh kekuatan dari jalur Jokowi efek,” kata Teguh.
Hal tersebut juga tecermin dari hasil survei, di mana pengaruh Jokowi masih terasa cukup dominan dalam memengaruhi pilihan responden. Bahkan, pamor Jokowi hanya bisa ditandingi oleh pengaruh Prabowo, parpol, tokoh petahana, dan faktor-faktor kesamaan identitas sosial. Dalam hal ini, pamor Megawati dan parpol merupakan dua kutub yang polemistik dalam mencari mana yang bisa dipakai PDI-P di Pilkada Jateng.
Memanfaatkan pamor kepartaian
Pamor kepartaian PDI-P mestinya juga masih bisa dimanfaatkan jika mengingat bahwa dalam konteks Pileg 2024, PDI-P masih mampu memenangi suara di Jateng. Partai banteng masih mampu meraih 5,27 juta suara pemilih sah (26,59 persen).
Peringkat kedua di bawahnya diraih PKB dengan 3,03 juta suara (15,32 persen), sedangkan Gerindra dan Golkar meraih masing-masing 2,59 juta suara (13,08 persen) dan 2,25 juta suara (11,37 persen).
Baca juga: Pemilih Jateng dalam Tarikan Nilai Santri dan Abangan
PDI-P unggul di hampir semua 13 daerah pemilihan dan hanya kalah di dapil 13. Dari keseluruhan dapil tersebut, terdapat tiga wilayah dengan kemenangan yang dominan bagi PDI-P, yakni dapil 6, dapil 7, dan dapil 8 yang terdiri dari Wonogiri, Karanganyar, dan Sragen. Dari total 1.753.066 pemilih, PDI-P berhasil mendulang 716.105 suara atau 40,85 persen.
Raihan suara PDI-P ini tak sebesar masa-masa sebelumnya di mana keunggulannya bisa mencapai angka 40-an persen dan tersebar di berbagai kawasan penguasaan di Jateng. Namun, dengan tingkat kompetisi antarparpol dan antarcaleg yang lebih ketat saat ini, proporsi perolehan suara PDI-P ini cukup mengesankan di tengah serbuan ”Jokowi efek” yang berwujud berbagai bantuan sosial.
Baca juga: Kultur Budaya Jawa dan Beragam Persoalan dalam Dinamika Pilkada Jateng 2024
Dengan memanfaatkan militansi yang masih melekat dan kekuatan ideologi PDI-P, peluang kandidat dari partai banteng untuk melawan terjangan politik kubu KIM yang didukung Jokowi tampaknya akan mampu seimbang.
Hanya dengan cara itu, partai banteng akan mampu mempertahankan martabatnya di kandangnya sendiri, yakni melakukan perlawanan politik yang sah dengan sebaik-baiknya. (LITBANG KOMPAS)