Orientasi Nilai, Pemilih Jakarta Cenderung Konservatif?
Orientasi nilai dan kecenderungan konservatisme penduduk Jakarta dalam berbagai aspek kehidupan.
Sebagai wilayah urban yang sering kali disorot kemajuan modernisasinya, Jakarta tidak serta-merta memengaruhi keterbukaan cara pandang bagi penduduknya. Orientasi nilai warga Jakarta cenderung konservatif dalam memandang kehidupan politik, moral, dan sosial-kultural. Bagaimana penjelasannya?
Kota metropolitan Jakarta selalu menarik untuk dibahas sampai ke sendi-sendi kehidupan warga yang terus bergerak di dalamnya. Jakarta bukanlah wilayah urban yang berdiri di atas kuatnya memori budaya yang diturunkan melalui mitos atau cerita rakyat. Memotret Jakarta bukan juga melulu soal kesemrawutan macet jalanan dan polusi udara.
Jakarta berdiri di atas sejarah panjang yang kental nuansa politik dan pencampuran etnis-agama di dalamnya. Gesekan dan konflik sejak nama Batavia disematkan pada kota ini terus memberikan perubahan dan pergerakan sosial penduduknya. Sebagian besar peristiwa penting bangsa ini terjadi di Jakarta dan menjadikannya pusat politik dan ekonomi nasional.
Dari dulu hingga sekarang, Jakarta masih menjadi kuali pertemuan (melting pot)yang menawarkan ”janji” perbaikan status sosial-ekonomi bagi para pendatang.
Meski bukan lagi menjadi daerah favorit tujuan migrasi, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta masih mencatat ada 134.000 pendatang sepanjang 2023. Kepadatan penduduk Jakarta dan meningkatnya migran risen akhirnya memberikan ambiguitas tersendiri dalam membaca karakteristik penduduk ber-KTP Jakarta.
Itulah sebabnya, memahami penduduk Jakarta berarti masuk ke dalam gang-gang sempit permukiman padat yang letaknya tidak jauh dari deretan gedung-gedung perkantoran. Kehidupan warga urban yang 24 jam tanpa henti berdenyut dan terus mencari peluang rezeki sekecil apa pun. Bicara Jakarta hari ini adalah soal ketimpangan sosial-ekonomi dan kehidupan politik bernuansa nasional.
Persoalan ketimpangan ekonomi warga Jakarta seakan tidak pernah habis diulas dan dicari solusinya. Badan Pusat Statistik mencatat, rasio gini Jakarta pada 2023 sebesar 0,43 dan justru naik 0,1 persen dari 2022. Distribusi pendapatan di Jakarta terus menunjukkan ketimpangan cukup tinggi.
Orientasi nilai warga Jakarta terhadap dimensi politik, moral, dan sosial-kultural ini terekam dalam Survei Kompas pada 15-20 Juni 2024. Setiap dimensi disusun atas tiga hingga lima pertanyaan yang merupakan tesis hidup bermasyarakat yang berlaku umum di tiap daerah.
Bangunan pengetahuan terhadap orientasi nilai warga Jakarta terbentuk dari tesis yang mendapatkan antitesis dari jawaban responden sehingga menghasilkan sintesis yang terbuka seturut dialektika ilmu pengetahuan.
Di samping ketiga dimensi tersebut, orientasi nilai ekonomi yang muncul dalam irisan tesis-tesis di tiap dimensi menjadi penting diperhatikan. Warga Jakarta memiliki nilai yang cukup liberal dalam hal berbagi ruang bagi pendatang untuk mengadu nasib, membuka usaha, hingga tinggal berdampingan.
Di satu pihak, tingkat penolakan terhadap pendatang yang berbeda agama untuk bekerja terbilang kecil, yakni di bawah 10 persen. Begitu juga dengan penolakan terhadap pendatang berbeda suku/etnis yang angkanya hanya 5,5 persen. Di pihak lain, tingkat penerimaan atau persetujuan terhadap pendatang berada di rentang angka 66,5 persen hingga 72,5 persen.
Meski begitu, kecenderungan konservatif akan terlihat ketika responden ditanyakan terkait pernikahan beda agama dan suku/etnis. Sebanyak 66,5 persen publik mengaku setuju bila ada anggota keluarganya yang menikah dengan pasangan berbeda etnis/suku. Sebaliknya, tingkat penolakan mencapai angka 75,3 persen jika anggota keluarganya menikah dengan pasangan berbeda agama.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Celah Peluang dalam Bayang Sosok Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta (5)
Kadar konservatisme
Wajah konservatisme warga Jakarta cukup terlihat dalam dimensi politik, moral, dan sosial-kultural. Bisa dikatakan, setengah persen responden cenderung mengafirmasi kehadiran pemerintah dalam bentuk kontrol komunikasi media massa. Ditambah lagi, hampir setengahnya juga mengaku selalu mengikuti peraturan pemerintah sering kali merepotkan.
Afirmasi warga Jakarta terhadap kehadiran pemerintah dalam hidup keseharian tampaknya bukan tanpa syarat. Inilah yang kemudian dapat terlihat dalam dimensi moral warga Jakarta yang setidaknya tergambar dalam dua hal.
Pertama, sebagian besar responden setuju bahwa tiap aturan harus bersandar pada nilai agama. Kedua, pemimpin yang alim serta taat beragama mendapat kepercayaan yang cukup tinggi untuk dapat memimpin dengan baik dan adil. Pandangan moral yang lekat dengan unsur kesalehan religiusitas inilah yang menjadi fondasi atas kepercayaan terhadap kehadiran pemerintah.
Kecenderungan konservatisme dalam politik ini mendapat penegasannya dalam pertimbangan warga Jakarta untuk memilih kepala daerah. Sebanyak 75,3 persen responden mempertimbangkan kepala daerah yang seagama dengannya. Pertimbangan moral keagamaan masih cukup besar dijadikan acuan orientasi nilai warga Jakarta untuk figur kepala daerah.
Konservatisme pada moral keagamaan ini cukup menurun kadarnya pada figur kepala daerah yang berbeda suku/etnis dengan responden. Meski tingkat penerimaan kepala daerah berbeda suku/etnis berada di angka 66 persen, angka ini masih terbilang besar dengan menimbang heterogenitas suku penduduk Jakarta.
Keberadaan suku Jawa dan Betawi yang persentasenya lebih besar dibandingkan dengan suku lainnya di Jakarta akhirnya memengaruhi primordialisme untuk figur pemimpin.
Hal ini terbukti dengan tiga pilkada gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Para kandidat yang keluar sebagai pemenang memiliki unsur Islam sebagai agama mayoritas dan etnis Betawi atau Jawa dalam figur calon gubernur, calon wakil gubernur, dan keduanya.
Pada dimensi sosial-kultural, konservatisme warga Jakarta juga tecermin dari pandangan terhadap peran perempuan dalam hidup keseharian.
Setengah responden masih memandang bahwa peran istri lebih baik mengurus rumah tangga dan anak daripada bekerja. Begitu juga dengan figur kepala daerah perempuan yang hanya mendapat penerimaan sebesar 45 persen.
Merujuk Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) yang disusun oleh Kemendikbudristek, dimensi kesetaraan jender menjadi salah satu unsur yang menyumbang kemajuan pembangunan kebudayaan suatu daerah.
Disebutkan untuk Jakarta, tingkat perempuan yang bekerja masih berada di bawah rata-rata nasional (63,68 persen), yakni 58,26 persen. Dari sini terlihat bahwa modernitas Jakarta tidak serta-merta memberikan ruang setara bagi perempuan untuk bekerja.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Pertimbangan Rasional Pemilih Jakarta (7)
Stabilitas sosial
Hasil survei yang menghasilkan bangunan pengetahuan yang berujung ada sintesis konservatisme warga Jakarta ini patut dikaji lebih lanjut.
Identitas penduduk Jakarta yang heterogen jelas kurang relevan jika dikaitkan dengan cerita rakyat khas Betawi, seperti Si Pitung, Buaya Putih, Harimau Hitam, dan mitos Setu Babakan. Cerita rakyat dan mitos ini tetap menjadi identitas warga Betawi, tetapi bukan warga Jakarta secara keseluruhan.
Nyatanya, perayaan HUT Jakarta di Jakarta Fair tiap tahunnya pun berisi produk-produk konsumerisme dan panggung hiburan musik. Atribut budaya Betawi terbilang minim, hanya diwakilkan ondel-ondel dan pedagang kerak telur yang biasa berdagang di area Kemayoran. Ornamen gigi balang khas rumah Betawi pun tertutup spanduk-spanduk promosi produk.
Lantas, apa yang membentuk karakteristik warga Jakarta? Selain pencampuran agama dan budaya, warga Jakarta juga terbentuk dari deretan konflik sosial yang dipengaruhi konteks politik nasional seturut zamannya. Mulai dari peristiwa 1965/1966, peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, Tragedi Tanjung Priok 1984, Kerusuhan Mei 1998, konflik Pilkada 2017, hingga aksi demonstrasi Mei 2019.
Deretan konflik sosial yang sarat unsur politiknya ini menjadi tesis tersendiri untuk menjawab terbentuknya penduduk Jakarta yang cenderung konservatif. Hadirnya beragam konflik ini menjadi ingatan (erinnerungskultur) yang selalu memiliki aspek sosial. Itulah sebabnya, ingatan selalu memiliki akar yang sifatnya kolektif.
Maurice Halbwachs, filsuf Perancis, menyatakan bahwa ingatan masyarakat ada sejauh ingatan dari kelompok yang menciptakannya. Artinya, ingatan kolektif dapat terus diturunkan dari generasi ke generasi. Jika ingatan kolektif ini merupakan peristiwa konflik sosial, ingatan terhadap trauma, kengerian, kecemasan, dan hal buruk lainnya juga akan diwariskan.
Dari sinilah kemudian muncul kebutuhan untuk mencipta secara terus-menerus kestabilan sosial dan mempertahankannya. Ada kebutuhan mendasar dalam diri warga Jakarta untuk berada menjaga stabilitas sosial sambil beradaptasi dengan modernitas urban.
Sikap yang cenderung konservatif dinilai ”aman” untuk menghalau hal-hal tidak terduga dari luar yang bisa saja menciptakan konflik baru ke depannya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Harapan Jakarta Menuju Kota Global Hijau