Perlukah Terus Memberi Bantuan Pupuk Bersubsidi bagi Petani Tanaman Pangan?
Pupuk bersubsidi bukan faktor paling krusial dalam menunjang keberhasilan produksi pangan nasional.
Pupuk merupakan salah satu faktor produksi penting dalam budidaya tanaman padi. Namun, untuk mendapatkan hasil optimal, pemupukan harus berimbang agar sesuai dengan kebutuhan tanaman. Semakin banyak pupuk bukan menjadi jaminan keberhasilan produksi padi. Pun demikian dengan subsidi pupuk, bukan hal paling krusial menunjang keberhasilan produksi pangan nasional.
Dalam Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Harian Kompas (Kompas.id) bertajuk ”Meninjau Kembali Kebijakan Pupuk Subsidi Pupuk” di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (10/7/2024), salah satu pemateri, yakni Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa, menyatakan bahwa tidak ada korelasi yang kuat antara jumlah subsidi pupuk dan peningkatan produksi padi.
Dwi Andreas menunjukkan dalam paparannya bahwa produksi padi cenderung terus menurun meskipun alokasi anggarannya fluktuatif dan trennya meningkat. Pada rentang 2013-2024, tren alokasi subsidi pupuk sempat mencapai titik tertinggi pada tahun 2018 dan 2019, yakni secara berurutan senilai Rp 33,6 triliun dan Rp 34,3 triliun.
Uniknya, meskipun memiliki besaran alokasi yang tertinggi sekalipun, nyatanya produksi padi pada tahun 2019 justru lebih rendah dari produksi padi tahun 2018. Produksi tahun 2019 sebesar 54,6 juta ton gabah kering giling (GKG) atau susut 4,6 juta ton GKG dari tahun sebelumnya yang mencapai 59,20 juta ton GKG.
Hal serupa kembali terjadi pada tahun 2020 dan 2021, di mana peningkatan alokasi subsidi pupuk tidak disertai dengan peningkatan produksi padi. Output panen berkurang sedikit dari 54,65 juta ton GKG menjadi 54,42 juta ton GKG. Padahal anggaran pupuk pada kurun itu naik cukup banyak, yakni dari Rp 24,5 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 27,2 triliun pada tahun 2021.
Baca juga: Optimalkan Serapan Pupuk Bersubsidi
Pada tahun ini diperkirakan produksi padi kembali akan berkurang dari tahun lalu. Naiknya anggaran subsidi pupuk tidak berkorelasi positif terhadap produksi tanaman. Dalam paparan Dwi Andreas, diperkirakan produksi padi akan berkurang menjadi 50,5 juta ton GKG pada tahun 2024 ini atau berkurang lebih dari tiga juta ton GKG dari tahun 2023. Naiknya subsidi pupuk yang lebih dari Rp 6 triliun, yakni dari Rp 24 triliun pada tahun 2023 menjadi Rp 26,7 triliun pada tahun ini, tidak berimbas signifikan bagi produksi padi nasional.
Ada sejumlah alasan yang membuat produksi padi tidak optimal terkait faktor produksi pupuk (subsidi) itu. Salah satunya adalah serapan pupuk yang relatif masih rendah ketika masa tanam tiba. Hal ini disebabkan sejumlah faktor, antara lain perubahan pola tanam akibat dampak El Nino, keengganan petani menebus pupuk, data petani berpindah lahan belum dimutakhirkan, dan terganjal prosedur birokrasi di daerah.
Penyebab lain yang cukup signifikan menentukan penyaluran pupuk subsidi adalah lambatnya kepala daerah menerbitkan surat keputusan (SK) gubernur, bupati, dan wali kota tentang alokasi pupuk subsidi.
Akibatnya, pupuk subsidi yang seharusnya digunakan awal musim tanam justru baru bisa ditebus petani menjelang panen atau bahkan setelah panen. Fenomena ini tidak sejalan dengan salah satu asas ketersediaan pupuk subsidi, yakni tepat waktu. (Kompas.id, 11/7/2024).
Biaya pupuk minim
Dalam kalkulasi hitungan biaya produksi padi per April 2024 dari Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menunjukkan bahwa ongkos yang dibutuhkan dalam budidaya padi seluas 1.500 meter persegi relatif sangat minim. Ukuran 1.500 meter persegi menjadi acuan standar minimal bagi petani agar usaha taninya masih memperoleh keuntungan. Kurang dari luasan itu, usaha tani akan cenderung terus merugi.
Dari 15 daftar biaya yang dianggarkan senilai Rp 5,82 juta untuk lahan seluas 1.500 meter persegi itu, ongkos pembelian pupuknya hanya senilai Rp 208.000 atau 3,6 persen dari total seluruh biaya produksi.
Biaya usaha tani terbesar terserap untuk ongkos tenaga kerja sebesar 41,2 persen dan sewa lahan 27,9 persen. Biaya yang berkaitan langsung dengan unit tanaman, seperti pemupukan, pestisida, dan juga benih, termasuk yang tergolong kecil, yakni masing-masing kisaran kurang dari 6 persen dari total biaya.
Baca juga: Benahi Problem Distribusi, Optimalkan Serapan Pupuk Subsidi
Dengan proporsi yang relatif minim itu, Dwi Andreas berpendapat bahwa subsidi pupuk lebih baik diberikan secara tunai kepada petani dan harga pupuk berlaku secara hukum pasar. Jadi, petani dapat membeli pupuk itu sesuai dengan masa tanamnya, tanpa harus terkendala oleh birokrasi yang kadang berjalan lamban di sejumlah daerah. Selain itu, dengan berlaku secara harga pasar, penyelewengan distribusi pupuk dapat terus diminimalkan.
Dengan membenahi tata kelola perniagaan dan juga kebijakan terkait pupuk itu, harapannya budidaya tanaman padi dapat menghasilkan output yang optimal. Tidak ada lagi kendala penyaluran pupuk subsidi yang pada akhirnya justru membuat biaya petani bengkak. Petani harus mengeluarkan biaya lebih banyak demi membeli pupuk nonsubsidi karena musim tanam telah tiba. Namun, stok pupuk subsidi masih minim tidak sesuai dengan rencana definitif kebutuhan kelompok elektronik (e-RDKK) yang telah diajukan untuk menebus pupuk subsidi. Dengan membenahi sistim penyaluran dana subsidi ini, biaya keseluruhan petani akan bermanfaat secara optimal, tanpa harus meningkatkan risiko kegagalan akibat unsur teknis.
Selain memberikan subsidi praproduksi, untuk kian meningkatkan kesejahteraan petani, pemerintah sebaiknya juga memberikan subsidi pascaproduksi. Anggota Komis IV DPR RI, Slamet yang juga hadir sebagai panelis FGD, menyatakan bahwa subsidi pascaproduksi sangat penting. Saat panen raya, umumnya harga gabah cenderung turun sehingga pemerintah memberikan subsidi kepada setiap petani agar omzet yang diperolehnya sesuai harga keekonomian saat itu. Dengan demikian, petani tetap untung dan tidak merugi.
Subsidi pascapanen itu turut memperkuat posisi petani di hadapan para tengkulak yang akan memborong gabah milik petani. Tanpa adanya subsidi tersebut, posisi petani cenderung lemah karena akan mengikuti harga yang dikendalikan para tengkulak yang cenderung mengutamakan keuntungan sebesar-besarnya.
Bertani tanpa kesejateraan
Setidaknya dengan pembenahan subsidi, baik sebelum produksi maupun setelah produksi, kesejahteraan petani tanaman pangan dapat meningkat. Harapan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dapat juga tersemat bagi para petani yang menyediakan pangan bagi penduduk negeri ini. Pasalnya, selama ini para petani hanya terus giat berusaha meningkatkan hasil panenannya, tetapi tidak ada mimpi kesejahteraan yang dijanjikan dari kerja kerasnya itu.
Kenyataan tersebut tecermin dari hasil analisis regresi data panel yang dilakukan Litbang Kompas beberapa saat lalu terkait produksi tanaman padi di Indonesia. Dengan mengumpulkan data cross section dari seluruh provinsi di Indonesia para kurun 2002-2022 yang terdiri dari data produksi padi, luas lahan, jumlah petani, pupuk subsidi, suhu udara tahunan, curah hujan, dan nilai tukar petani (NTP), ditemukan bahwa kesejahteraan bukan menjadi alasan utama bertani.
Baca juga: Alih Fungsi Lahan Mengancam Produksi Padi Nasional
Indikasinya, dari semua variabel tersebut semuanya menghasilkan korelasi yang signifikan secara statistik dalam meningkatkan atau menurunkan produksi padi. Hanya variabel NTP saja yang tidak menunjukkan hasil signifikan secara statistik, yang menandakan variabel kesejahteraan tidak berpengaruh terhadap produksi padi secara nasional.
Temuan tersebut menandakan bahwa bertani sudah menjadi cara hidup sebagian besar petani Indonesia. Mereka tidak lagi memperioritaskan bagaimana meraih untung dari usaha taninya itu. Mereka hanya terus bertani untuk mengisi rutinitas kehidupannya yang hanya bersandar pada sektor agraris tersebut. Hal ini pulalah yang membuat posisi petani menjadi sangat rentan terjerumus dalam kemiskinan, terlilit utang, dikendalikan tengkulak, dan pasrah pada kehidupan.
Gambaran nestapa itulah yang pada akhirnya turut menyebabkan regerasi petani menjadi sangat minim, terjadi fragmentasi lahan sawah, pertanian subsisten, buruh tani kian banyak, dan terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi nonagraris.
Oleh sebab itu, perlu peran pemerintah dan juga stakeholder terkait agar pertanian semakin produktif dan berkembang. Regulasi dan juga anggaran pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi petani dan juga areal pertaniannya akan mampu menyejahterakan para pelakunya. Tata kelola subsidi pertanian menjadi salah kunci penting untuk menepis kenestapaan para petani Indonesia. (LITBANG KOMPAS)