Partai Buruh Tetap Minim Peminat di Era Industrialisasi
Era industri belum memberikan dampak positif bagi parpol yang memperjuangkan nasib kaum buruh.
Perkembangan industrialiasi yang memberikan jutaan lapangan kerja di Indonesia ternyata belum mampu memberikan dampak positif bagi partai politik yang lekat dengan perjuangan kaum buruh. Hasil Hitung Cepat Litbang Kompas pada Pemilu 2024 memperkirakan akan ada sembilan parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen. Partai Buruh menjadi salah satu partai yang tak lolos itu.
Hasil quick count menunjukkan bahwa besaran suara yang dikumpulkan partai berlambang padi ini kurang dari 1 persen. Proyeksi ini tidak jauh dengan hasil real count sementara KPU yang menunjukkan perolehan suara parpol baru terkumpul 0,62 persen. Dengan tingkat elektabilitas yang minim ini, maka hampir dapat dipastikan Partai Buruh gagal mencapai ambang batas parlemen yang minimal 4 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Rendahya tingkat keterpilihan Partai Buruh itu mengindikasikan bahwa kemajuan ekonomi yang sebagian besar ditopang oleh sektor industri belum berdampak signifikan bagi elektabilitas parpol bersangkutan. Sebagian besar tenaga kerja atau buruh yang terserap industrialisasi tampaknya belum terikat secara emosional dengan parpol yang berupaya menyejahterakan kaum buruh itu.
Bisa jadi pula bahwa parpol ini masih cukup ”berjarak” dengan konstituennya sehingga visi-misi parpol ini belum menjadi perhatian publik. Hal ini seharusnya menjadi catatan penting bagi politikus partai untuk membenahi cara komunikasinya dengan publik, terutama bagi para calon pemilih potensialnya.
Berdasarkan profil partai yang tercantum dalam laman partaiburuh.or.id, parpol ini sejatinya sangat peduli pada kesejahteraan kaum marjinal. Sesuai dengan namanya, parpol tersebut menyasar konstituen dari kalangan buruh dalam arti luas. Tidak hanya buruh formal, tetapi juga buruh informal serta tenaga kerja dari berbagai aspek pekerjaan.
Baca juga: Jalan Terjal Partai Nonparlemen Meraih Kursi Legislatif
Dalam laman itu dijelaskan bahwa sasaran parpol tersebut adalah buruh pabrik, buruh kantor, buruh perempuan, buruh tani, buruh nelayan, buruh guru, buruh migran, TKW, pekerja rumah tangga, dan pekerjaan sebagai sopir ataupun pengemudi ojek. Selain itu, parpol ini juga berupaya membangun konstituen dari latar belakang pekerjaan informal yang lekat dengan kemiskinan, seperti pedagang sayur, tukang becak, pedagang kaki lima, pedagang asongan, pengangguran, dan kaum miskin kota. Bahkan, juga berupaya menjadi wadah pilihan bagi para seniman, olahragawan, dan para golongan terpelajar serta cerdik pandai yang ingin mewujudkan asas negara sejatera. Tidak lupa pula, parpol ini juga berupaya membangun citra yang memperjuangkan kaum terpinggirkan, seperti penyandang disabilitas dan kalangan rakyat jelata lainnya.
Melihat dari rencana sasaran konstituennya, Partai Buruh ini relatif sangat mewakili kepentingan banyak pihak, terutama dari golongan buruh-pekerja, kelompok miskin, dan juga kaum terpinggirkan. Sayangnya, parpol ini masih bersuara ”gurem” dan tak mampu mengumpulkan suara secara masif meski di daerah sentra-sentra industri sekalipun.
Sektor industri terkesan menjadi sangat lekat dengan partai ini karena parpol ini muncul kembali pada 2021 setelah terpicu adanya Undang-Undang Cipta Kerja, omnibus law yang disahkan tahun 2020. Menurut Presiden Partai Buruh 2021-2026 Said Iqbal pada kongres partai, Oktober 2021, pengesahan omnibus law menjadi kekalahan telak bagi kaum buruh memperjuangkan hak-haknya. Oleh karena itu, kelompok buruh akan memperluas garis perjuangannya di bangku parlemen. Jadi, perjuangan akan lebih maksimal lagi, tidak hanya melalui demo di jalanan.
Selain itu, lekatnya citra industri, pabrik, buruh, dan karyawan pada Partai Buruh tersebut karena partai ini sebagian besar platform perjuangannya menyasar pada tenaga kerja yang terlibat pada proses industri. Dari 13 platform perjuangan, setidaknya ada 5 platform yang mengacu pada perjuangan menuntut penyediaan lapangan kerja; jaminan sosial (kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja, hari tua); menuntut upah secara layak; dan memperbaiki hubungan industrial, seperti tolak outsourcing, tolak kontrak berkepanjangan, jam kerja manusiawi, dan pesangon yang layak. Selain itu berupaya memberikan perlindungan kepada buruh perempuan; tolak buruh kasar tenaga kerja asing; dan tolak PHK yang dipermudah.
Di luar platform itu, ada sejumlah rencana perjuangan lain yang menyasar pada upaya kesejahteraan bersama. Misalnya, terkait dengan antikorupsi; memberikan jaminan pendidikan, perumahan, air bersih, dan jaminan makan untuk rakyat; kedaulatan pangan; masyarakat adat dan HAM; pemberdayaan disabilitas; status PNS untuk seluruh guru dan tenaga honorer; serta membangun kekuatan BUMN dan koperasi.
Minim konstituen
Sayangnya, platform perjuangan yang berupaya membela kepentingan sebagian besar masyarakat Indonesia itu masih minim peminat. Konstituen yang disasar partai ini tampak bergeming dan sepertinya masih berjarak hingga saat ini. Padahal, sejatinya partai ini sudah dirintis sejak era reformasi dan beberapa kali ikut kontestasi pemilu.
Partai Buruh didirikan pertama kali pada 28 Agustus 1998 atau tiga bulan setelah Presiden Soeharto lengser akibat gelombang reformasi Mei 1998. Pada awalnya, partai ini menggunakan nama ”Partai Buruh Nasional” yang dipimpin oleh mendiang Muchtar Pakpahan dan berpartisipasi dalam Pemilu 1999 dengan nomor urut 37. Selanjutnya, partai ini kembali berkontestasi dalam Pemilu 2004 dengan nama ”Partai Buruh Sosial Demokrat” dengan urut partai nomor 2. Pada Pemilu 2009, Partai Buruh Sosial Demokrat ini kembali berlaga dengan nomor urut 44.
Sayangnya, dalam ajang tiga kali pemilu tersebut partai yang identik dengan kaum buruh itu minim peminat. Perolehan suaranya selalu di bawah 1 persen. Pemilu 1999 sebanyak 0,13 persen; Pemilu 2004 0,56 persen, dan Pemilu 2009 susut lagi menjadi 0,25 persen. Setelah menelan tiga kali kegagalan, partai ini sempat vakum pada Pemilu 2014 dan 2019.
Baca juga: Partai Buruh dan Tantangan Menguatkan Kesadaran Kolektif Buruh
Selanjutnya, pada Oktober 2021, partai ini kembali bangkit dalam kongres yang dihadiri empat konfederasi serikat pekerja terbesar dan sekitar 50 federasi serikat pekerja tingkat nasional, forum guru dan tenaga kerja honorer, serta serikat petani dan nelayan. Dalam kongres itu, Said Iqbal ditetapkan sebagai Presiden Partai Buruh yang merupakan tokoh dari berbagai unsur organisasi serikat pekerja, seperti FSPMI, ORI-KSPSI, SPI, KPBI, RRI Unsur FSP KEP, RRI Unsur FSP FARKES Reformasi, FPTKHSI, dan GPI. Partai lama rasa baru ini turun berkontestasi pada Pemilu 2024.
Namun, partai yang kembali bangkit dari masa vakumnya itu lagi-lagi harus puas dengan perolehan suara yang masih juga minim di bawah 1 persen. Meskipun demikian, perolehan suaranya saat ini diperkirakan sedikit lebih tinggi dari capaian tertingginya pada Pemilu 2004 yang 0,56 persen. Untuk sementara, Partai Buruh setidaknya mengumpulkan suara di atas 0,60 persen.
Dari hasil survei pascapencoblosan pada Pemilu 2024 yang dilakukan Litbang Kompas, para pemilih Partai Buruh ini sebagian besar berada di wilayah Bali-Nusa Tenggara, Maluku-Papua, dan Jawa Barat. Relatif tingginya pemilih Partai Buruh ini terlihat dari konstituennya yang rata-rata di atas 0,4 persen di ketiga kawasan itu.
Dilihat dari latar belakang pemilihnya, sebagian besar adalah pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, pengangguran, guru swasta, karyawan swasta, dan para buruh lepas. Konstituen partai ini menyebar dari segi usianya. Hanya saja, pemilih dari generasi muda atau gen Z adalah yang terbanyak. Selanjutnya, disusul secara berurutan dari generasi sebelumnya, seperti generasi milenial, generasi X, dan baby boomers.
Sayangnya, dengan jumlah pemilih yang relatif selalu kecil membuat berbagai analisis tersebut harus terbagi-bagi lagi dalam ruang kecil yang tidak signifikan bagi kemajuan sebuh partai. Hal ini seharusnya menjadi ruang pembelajaran yang penting bagi politikus partai. Mengapa partai yang identik dengan perjuangan kaum buruh dan kelompok marjinal ini selalu tersisih dalam kontestasi?
Bahkan, di wilayah sentra-sentra industri nasional sekalipun, partai ini hanya mengumpulkan sedikit peminat. Untuk sementara ini, data KPU menunjukkan suara pemilih Partai Buruh secara nasional hanya sekitar 440.000 orang. Angka ini relatif sangat kecil dengan besarnya potensi konstituen yang menjadi sasaran utama gerakan politiknya.
Untuk saat ini, jumlah pekerja industri skala usaha besar dan sedang mencapai hampir 6 juta orang, pelaku usaha UMKM lebih dari 60 juta unit usaha, dan juga pengangguran sekitar 7,8 juta orang. Hanya saja, konstituen yang potensial untuk Partai Buruh itu tampaknya masih bergeming untuk melirik partai tersebut. Oleh sebab itu, para politikus partai harus kembali membenahi cara berkomunikasi dengan para konstituen potensial itu guna meningkatkan daya dukungnya pada pemilu mendatang. (LITBANG KOMPAS)