Melindungi Remaja, Menjaga Kekuatan Pembangunan Bangsa
Perkawinan remaja, apalagi dengan kasus kehamilan tidak dikehendaki, masih menjadi problem yang sangat memprihatinkan. Sebagai aset bangsa, remaja harus dilindungi di seluruh aspek.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·3 menit baca
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak, remaja ialah penduduk kelompok usia 10 tahun sampai 18 tahun. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), batasan usia remaja adalah 12 tahun sampai 24 tahun dan belum menikah.
Kelompok tersebut sering disebut sebagai generasi Z (centennial). Dengan jumlah yang cukup besar, yaitu 17 persen penduduk Indonesia atau 46 juta jiwa, remaja menjadi aset sangat berharga bagi pembangunan bangsa.
Masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa ini akan memberikan pengaruh positif yang besar jika mereka berada dalam kondisi kesehatan fisik, psikis, serta pendidikan yang baik. Masa peralihan itu juga krusial karena terjadi proses growth spurt, yaitu pertumbuhan yang cepat atau puncak pertumbuhan.
Pada fase tersebut terjadi pertumbuhan fisik disertai perkembangan mental-kognitif, psikis. Berlangsung pula proses tumbuh kembang reproduksi yang mengatur fungsi seksualitas.
Namun, kelompok ini rentan terhadap berbagai tantangan, baik fisik, mental, maupun sosial. Tantangan-tantangan ini dapat berdampak negatif pada perkembangan remaja dan menghambat mereka mewujudkan potensi sepenuhnya. Hari Remaja Internasional yang diperingati setiap 12 Agustus menjadi pengingat bahwa remaja memiliki hak untuk dilindungi.
Sebagai aset bangsa, calon pemimpin, dan penggerak pembangunan, remaja harus dilindungi dan diberikan hak-haknya, seperti hak atas hidup, kesehatan dan pendidikan, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, serta hak atas partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, diharapkan remaja dapat berperan maksimal membantu pemerintah mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), seperti pengentasan rakyat dari kemiskinan, pemerataan pendidikan, dan pelestarian lingkungan.
Remaja dapat berperan maksimal dalam pembangunan jika tidak kehilangan masa remajanya, yang salah satunya terenggut akibat perkawinan di usia yang belia.
Amendemen Undang-Undang tentang Perkawinan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sejatinya telah mengatur perubahan mendasar usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun untuk kedua calon mempelai. Hal itu membantu upaya pencegahan atau penghapusan perkawinan usia anak/remaja di Indonesia.
Namun, faktanya, permohonan pengajuan perkawinan remaja terus terjadi dan sangat mengkhawatirkan. Mengutip laman Kemenpppa.go.id, secara nasional, dari data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia remaja, tahun 2021 tercatat 60.000 kasus dan tahun 2022 tercatat 52.000 pengajuan.
Sebanyak 13.547 pemohon mengajukan menikah karena sudah hamil terlebih dahulu dan 1.132 pemohon mengaku sudah melakukan hubungan intim.
Maraknya dispensasi pernikahan karena kasus hamil di luar nikah pada remaja di sejumlah daerah merupakan fenomena gunung es. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Timur tahun 2022 melansir data yang mencengangkan, yakni ada 15.212 permohonan dispensasi pernikahan dengan 80 persen di antaranya dilakukan karena pemohon telah hamil.
Pengadilan Tinggi Agama Semarang, Jawa Tengah, mencatat ada 11.392 kasus dispensasi nikah, yang sebagian besar disebabkan hamil di luar nikah. Data yang sama didapatkan di Lampung dengan 649 kasus dan Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, dengan 276 kasus.
Catatan tersebut selaras dengan data dalam Statistik Pemuda yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, yakni terdapat 19,24 persen remaja yang menikah pada usia 16-18 tahun, bahkan ada 2,26 persen yang menikah sebelum usia 15 tahun. Terpotret, remaja di perdesaan, latar belakang pendidikan rendah, dan ekonomi terbawah memiliki proporsi terbanyak.
NTB tercatat sebagai provinsi dengan persentase remaja menikah di usia kurang dari 15 tahun terbanyak (4,62 persen), diikuti Papua Barat (4,5 persen), Sulawesi Barat (4,37 persen), Kalimantan Utara (4,36 persen), dan Kalimantan Barat (4,11 persen).
Sementara itu, untuk pemuda yang menikah di usia 16-18 tahun, NTB berada di urutan kedua (26,12 persen). Provinsi tersebut berada di bawah Kalimantan Tengah (28,83 persen).
Beban ganda akibat perkawinan remaja paling dirasakan remaja perempuan. Mereka kehilangan masa remaja dan pendidikan yang sangat berharga di bangku sekolah. Selain itu, perkawinan akibat hamil di luar nikah juga membuat remaja putri menghadapi beban sosial dan beban moral dua kali lipat. Ada pula risiko kesehatan akibat hamil di usia muda.
Hamil di luar nikah merupakan kehamilan tidak diinginkan. Merujuk pada data Guttmacher Institute, LSM yang mempromosikan peningkatan kesehatan seksual, angka kehamilan tidak diinginkan di Indonesia pada perempuan berusia 15-19 tahun mencapai 40 persen dari total kehamilan per tahun yang mencapai 4,8 juta. Separuh dari angka tersebut berakhir dengan aborsi.
Merujuk pada data BPS, terdapat 3,08 persen remaja perempuan yang pernah melahirkan di usia 16-19 tahun. Kecenderungan terbanyak terjadi karena latar belakang pendidikan rendah dan ekonomi bawah. Terpotret pula 12,71 persen melahirkan bayi dengan berat badan saat lahir kurang dari 2,5 kilogram.
Remaja perempuan yang sedang hamil (15-18 tahun) juga menjadi indikator pada domain kesehatan dan kesejahteraan yang menyumbang skor Indeks Pembangunan Pemuda.
Terjadi kenaikan persentase kehamilan pada remaja, dari 17,9 persen (2019) menjadi 18,2 persen (2020), atau terjadi kenaikan 0,3 poin persentase. Tren peningkatan terpotret terjadi sejak tahun 2017. Peningkatan persentase remaja perempuan hamil tersebut salah satunya dipicu oleh kenaikan angka kehamilan yang tidak diinginkan.
Hal tersebut tentu tidak dapat diabaikan dan menjadi pekerjaan rumah bersama semua elemen bangsa karena pernikahan remaja tidak hanya menghambat mereka untuk berperan dalam pembangunan, tetapi juga dapat memengaruhi kondisi anak atau generasi berikutnya yang dilahirkan. (LITBANG KOMPAS)