Analisis Litbang “Kompas” : Urgensi Memetakan Kerawanan Pemilu 2024
Penyelenggaraan pemilu menjadi dimensi yang paling banyak berkonstribusi terhadap terjadinya potensi kerawanan. Mitigasi dan upaya pencegahan menjadi kunci untuk mencegah terjadinya pelanggaran pemilu.
Penyelenggaraan pemilihan umum memberikan konstribusi terbesar terhadap potensi terjadinya kerawanan. Pemetaan kerawanan di pemilu menjadi penting untuk memudahkan penyelenggara pemilu dan pemangku kepentingan yang lain guna melakukan pencegahan agar tidak terjadi gejolak dalam pelaksanaan pemilu.
Hal ini menjadi temuan yang dirilis Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Umum dan Pemilihan Serentak 2024 pada 16 Desember 2022 lalu. Dalam rilisnya, Bawaslu mengingatkan bahwa netralitas dan independensi penyelenggara pemilu penting untuk menjamin penyelenggaraan pemilu berjalan jujur dan adil (Kompas,17/12/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Setidaknya ada empat dimensi yang diukur dalam IKP Pemilu 2024 ini. Dimensi penyelenggaraan pemilu tercatat yang paling tinggi dalam menyumbang terjadinya potensi kerawanan di pemilu. Hal ini menandakan, penyelenggaraan pemilu menjadi isu yang paling banyak mendapat sorotan karena di setiap sub dimensi di dalamnya, hampir semua tercatat pernah terjadi di daerah.
Sejumlah sub dimensi dalam dimensi penyelenggaraan pemilu diantaranya adalah hak memilih, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, ajudikasi dan keberatan pemilu, dan pengawasan pemilu.
Penyelenggaraan pemilihan umum memberikan konstribusi terbesar terhadap potensi terjadinya kerawanan
Sub dimensi ini hampir merata terekam melahirkan sejumlah kasus pelanggaran. Hal ini mengacu pada catatan kejadian yang pernah ada di kontestasi politik, baik di Pemilu 2019 maupun sejumlah pilkada langsung yang pernah digelar setelahnya.
Tidak heran jika kemudian dimensi penyelenggaraan pemilu ini tercatat paling tinggi konstribusinya dalam menyumbang potensi kerawanan pemilu dibandingkan tiga dimensi lainnya, yakni dimensi konteks sosial politik, kontestasi, dan partisipasi politik.
Merujuk IKP Pemilu 2024, konstribusi dimensi penyelenggaraan pemilu yang lebih besar peluangnya melahirkan kerawanan di pemilu ini tidak saja terlihat di IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 di tingkat provinsi, namun juga terekam di tingkat kabupaten/kota.
Di tingkat provinsi, dimensi penyelenggaraan pemilu tercatat menjadi dimensi paling tinggi dalam memengaruhi kerawanan pemilu dengan skor 54,27.
Dimensi berikutnya yang berpotensi besar melahirkan kerawanan pemilu adalah dimensi konteks sosial politik dengan skor 46,55. Kemudian dilanjutkan dengan dimensi kontestasi dengan skor 40,75. Terakhir, dimensi yang potensinya paling minim dalam melahirkan kerawanan pemilu adalah dimensi partisipasi politik yang memiliki skor 17,23.
Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota juga ditemukan data yang relatif sama. Dimensi penyelenggaraan pemilu juga menjadi dimensi paling tinggi dalam memengaruhi lahirnya kerawanan pemilu dengan skor 42,22.
Selanjutnya di urutan berikutnya adalah dimensi konteks sosial politik yang berada di skor 31,13. Kemudian dimensi kontestasi dengan skor 26,22 dan terakhir dimensi partisipasi politik dengan skor 3,83.
Dari 61 indikator yang dibangun dalam IKP Pemilu 2024 ini, sebagian besar memang lebih banyak disumbang dari dimensi penyelenggaraan pemilu ini. Salah satu indikator yang paling banyak disebutkan terjadi dalam proses pemilu dan pilkada sebelumnya di daerah adalah terkait isu netralitas penyelenggara.
Salah satunya adalahnya indikator soal adanya putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang diajukan kepada KPU dan Bawaslu.
Dalam catatan DKPP, umumnya modus pelanggaran dari penyelenggara pemilu adalah tidak melaksanakan tugas/wewenang, kelalaian pada proses pemilu, berpihak, melanggar tertib sosial (kekerasan seksual), perlakuan tidak adil, penyalaggunaan kekuasaan/konflik kepentingan, dan melanggar hukum.
Pada dimensi penyelenggaraan pemilu juga menangkap potensi adanya penyelenggara pemilu yang menunjukan sikap keberpihakan. Sub dimensi ini tentu tidak bisa dilepaskan dari upaya menguatkan profesionalitas penyelenggara pemilu.
Sorotan publik terhadap proses verifikasi faktual terhadap partai politik calon peserta pemilu tidak bisa dilepaskan adanya ekspektasi yang besar publik pada penyelenggara pemilu yang netral dan profesional.
Baca juga : Jakarta dan Papua Paling Rawan Alami Gangguan pada Pemilu 2024
Tingkat kerawanan
Kembali pada data IKP Pemilu 2024 yang dirilis Bawaslu, sebagian besar daerah masuk kategori kerawanan sedang. Di tingkat provinsi, hanya ada lima wilayah (15 persen) yang masuk kategori kerawanan tinggi, yakni Provinsi DKI Jakarta dengan skor 88,9, kemudian disusul Sulawesi Utara (87,48), Maluku Utara (84,86), Jawa Barat (77,04), dan Kalimantan Timur (77,04).
Sementara sebanyak 21 provinsi (62 persen) masuk kategori kerawanan sedang dan delapan provinsi (24 persen) berkategori kerawanan rendah.
Sementara itu di tingkat kabupaten/kota juga ditemukan yang paling banyak adalah daerah dengan kategori kerawanan sedang, yakni sebanyak 349 kabupaten/kota (67,9 persen).
Kemudian daerah yang masuk kategori kerawanan tinggi mencapai 85 kabupaten/kota atau sekitar 16,5 persen. Terakhir, sebanyak 80 kabupaten/kota (15,5 persen) masuk kategori daerah dengan kerawanan rendah.
Meskipun banyak wilayah tidak termasuk kerawanan tinggi, bukan berarti potensi kerawanan meredup karena indeks kerawanan ini diletakkan sebagai upaya mitigasi bagi Bawaslu khususnya dan bagi masyarakat secara umum.
Apalagi jika mengacu pada 61 indikator yang dijadikan ukuran dalam indeks ini, hampir semua indikator diakui pernah dan bahkan sering terjadi pelanggaran di daerah.
Dari 61 indikator tersebut, ada lima indikator yang paling banyak disebutkan terjadi di daerah, yakni indikator terkait rekomendasi Bawaslu soal ketidaknetralan ASN/TNI/POLRI dalam pemilu dan pilkada. Indikator ini tercatat pernah terjadi dan dinyatakan oleh 347 daerah yang mengisi kuesioner IKP.
Kemudian disusul indikator soal pemungutan suara ulang di pemilu/pilkada (272 daerah), indikator putusan DKPP yang ditujukan kepada jajaran KPU/Bawaslu (271 daerah), indikator gugatan atas hasil pemilu/pilkada (266 daerah), dan indikator laporan tentang politik uang yang dilakukan oleh peserta/tim sukses/tim kampanye pemilu/pilkada (256 daerah).
Artinya, jika merujuk data-data indikator di atas, daerah yang masuk kategori kerawanan rendah pun tidak bisa dipandang akan stabil karena di setiap wilayah tersebar sejumlah kasus-kasus pelanggaran pemilu yang terjadi dengan gradasinya masing-masing. Jadi, kerawanan ini memang untuk membangun early warning system terhadap proses tahapan pemilu yang sedang berjalan.
Baca juga : DKI Jakarta Provinsi Paling Rawan Gangguan di Pemilu 2024
Isu strategis
Tingginya tensi politik menjelang kurang dari dua tahun pelaksanaan pemungutan suara di pemilu ini makin menegaskan perhatian publik pada tahapan pemilu semakin meningkat.
Apalagi kasus sorotan terhadap proses verifikasi faktual partai politik yang diwarnai somasi dari internal KPU semakin menguatkan sinyalemen tensi politik makin memanas. IKP Pemilu 2024 juga memberikan catatan dengan lima isu strategis yang bisa menjadi rujukan semua pemangku kepentingan untuk menjadi perhatian bersama.
Isu strategis yang pertama adalah soal urgensi menjaga netralitas penyelenggara pemilu. Polemik netralitas, khususnya dalam kasus verifikasi faktual partai politik, bisa menjadi pengalaman penting dalam menjaga kemandirian dan profesionalitas penyelenggara dalam pelaksanaan tahapan pemilu ke depan. Isu kedua adalah pelaksanaan tahapan di provinsi baru.
Hadirnya daerah otonomi baru di wilayah Papua juga bisa melahirkan potensi kerawanan baru. Dibutuhkan perhatian penuh terhadap persiapan pelaksanaan tahapan pemilu wilayah baru tersebut, yakni di Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Hal ini terutama terkait pembentukan penyelenggara pemilu di wilayah daerah otonomi baru tersebut.
Isu ketiga adalah soal potensi masih menguatnya polarisasi di masyarakat. Bagaimanapun, pemilu membutuhkan kondusifitas dan stabilitas agar proses tahapan pemilu berjalan lancar dan damai. Polarisasi yang ramai di dunia maya perlu diantisipasi agar tidak kemudian memicu ketegangan, terutama jika terjadi di lapangan.
Isu keempat adalah soal mitigasi dampak penggunaan media sosial. Kampanye melalui media sosial memang terbuka untuk dilakukan, namun tidak mudah untuk dilakukan pengawasan.
Untuk itu, melakukan antisipasi terhadap penggunaan media sosial dan media digital dalam dinamika politik ke depan urgen dilakukan. Terakhir, isu kelima adalah soal pemenuhan hak memilih dan dipilih. Isu ini juga masuk salah satu sub dimensi dalam indeks kerawanan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya menjamin hak-hak pemilih.
Pada akhirnya, netralitas dan profesional penyelenggara pemilu menjadi salah satu kunci bagi suksesnya pelaksanaan pemilu. Seperti yang sudah ditekankan soal urgensi memetakan kerawanan dalam IKP Pemilu 2024 ini, isu soal netralitas penyelenggara pemilu tetap menjadi perhatian.
Untuk itu, netralitas dan independensi penyelenggara pemilu harus dijaga, dirawat, dan dikuatkan untuk meningkatkan kepercayaan publik sekaligus merawat harapan akan proses pemilu yang lebih kredibel dan akuntabel. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Bawaslu Gandeng Polri Awasi Ketat Pemilu dan Pilkada Serentak