Jajak Pendapat Litbang ”Kompas”: Antusiasme Publik Menjadi Badan ”Ad Hoc” Penyelenggara Pemilu
Publik antusias menyambut proses rekrutmen penyelenggara ”ad hoc” pemilu. Namun, antusiasme ini dibayangi sikap apolitis dan beban penyelenggaraan yang tidak ringan.
Salah satu tahapan pemilihan umum saat ini adalah rekrutmen tenaga badan ad hoc penyelenggara pemilu. Rekrutmen ini untuk mengisi kebutuhan Panitia Pemilihan Kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara di Pemilu 2024. Peluang ini disambut antusias meskipun tetap dibayangi oleh sikap apolitis dari mereka yang cenderung menghindar dari kerja-kerja teknis kepemiluan yang cukup berat.
Antusiasme ini terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang merekam hampir separuh lebih responden menyatakan bersedia menjadi bagian dari badan ad hoc penyelenggara pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Badan ad hoc pemilu ini menjadi garda terdepan pelaksanaan pemilu. Badan ini bekerja di tingkat paling bawah dan bersinggungan langsung dengan masyarakat. Umumnya, mereka yang tergabung dalam badan ini sudah memiliki pengalaman sosial di masyarakat dan lingkungannya sehingga memudahkan kerja-kerja badan ad hoc ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, badan ad hoc penyelenggara pemilu terdiri dari anggota dan sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).
Peluang rekrutmen badan ad hoc penyelenggara pemilu disambut antusias meskipun tetap dibayangi oleh sikap apolitis dari mereka yang cenderung menghindar dari kerja-kerja teknis kepemiluan yang cukup berat.
Selain itu, Panitia Pemutakhiran Data Pemilih/Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP/Pantarlih), Panitia Pemutakhiran Data Pemilih Luar Negeri (PPDP/Pantarlih LN), serta Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan.
Saat ini Komisi Pemilihan Umum tengah membuka rekrutmen badan ad hoc penyelenggara pemilu, khususnya untuk pengisian PPK yang sudah dimulai sejak 15 November 2022 dan PPS yang dibuka mulai 1 Desember 2022.
Untuk tenaga ad hoc di PPK, masa kerjanya dihitung sejak 2 Januari 2023 hingga 1 April 2024. Sementara masa kerja PPS terhitung mulai 16 Januari 2023 hingga 1 April 2024. Artinya, masa kerjanya sekitar dua tahun lebih, lebih panjang dibandingkan masa kerja di Pemilu 2019.
Umumnya, mereka yang terlibat dalam badan ad hoc ini memang dilatarbelakangi oleh dasar sukarelawan untuk berkontribusi di lingkungan tempat mereka tinggal.
Tidak jarang mereka sudah pengalaman di setiap pemilu menjadi badan ad hoc ini. Pertimbangan ini juga terbaca dari hasil jajak pendapat. Mereka yang menyatakan bersedia bergabung menjadi badan ad hoc beralasan untuk pengabdian dan pengalaman.
Pengabdian dan pengalaman inilah yang menjadi dorongan kuat bagi seseorang untuk terlibat dalam proses kepanitiaan pemilu. Dua alasan ini menjadi pertimbangan dominan yang disampaikan oleh mayoritas responden yang menyatakan bersedia menjadi bagian dari badan ad hoc penyelenggara pemilu tersebut. Sebagian yang lain menjawab karena pertimbangan mendapatkan honor yang lumayan jika bergabung dalam badan ad hoc ini.
Hal ini mengingat untuk Pemilu 2024 pemerintah menyetujui kenaikan honor badan ad hoc penyelenggara pemilu. Hal ini berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-647/MK.02/2022 tanggal 5 Agustus 2022 perihal satuan biaya masukan lainnya (SBML) tahapan pemilu.
Dari tujuh jenis badan ad hoc, enam mendapatkan kenaikan honor, yakni PPK, PPS, Pantarlih, KPPS, PPLN, dan Pantarlih Luar Negeri. Hanya KPPS Luar Negeri yang tidak mendapatkan kenaikan honorarium.
Besaran honor petugas badan ad hoc ditetapkan naik 30 persen hingga 120 persen dari Pemilu 2019. Honor ketua KPPS, misalnya, naik dari Rp 550.000 pada Pemilu 2019 menjadi Rp 1,2 juta. Adapun honor anggota KPPS naik dari Rp 500.000 menjadi Rp 1,1 juta.
Sementara honor ketua PPK ditetapkan sebesar Rp 2,5 juta dari sebelumnya Rp 1,85 juta dan honor anggota PPK naik dari Rp 1,6 juta menjadi Rp 2,2 juta (Kompas, 9/8/2022).
Baca juga: Badan "Ad Hoc" Penyelenggara Pemilu Tahun 2024 Mulai Dibentuk KPU
Antusiasme
Kenaikan honor badan ad hoc penyelenggara pemilu ini menjadi potret ada upaya menggeser partisipasi mereka yang terlibat dalam proses teknis kepemiluan, terutama yang berada di ujung tombak, dari penggilan pengabdian menjadi ke arah profesional.
Naiknya honor menjadi gambaran adanya upaya penghargaan dari kerja-kerja teknis kepemiluan yang tidak bisa dipandang sederhana. Apalagi pengalaman di Pemilu 2019 di mana banyak jatuh korban, baik sakit maupun meninggal, sebagian besar berasal dari tenaga badan ad hoc penyelenggara pemilu ini.
Tidak heran jika kemudian kenaikan honor dan lebih panjangnya masa kerja badan ad hoc ini juga mengundang antusiasme publik. Banyak dari mereka yang ingin menjadi bagian badan ad hoc pemilu ini benar-benar adalah orang baru alias belum pernah berpengalaman menjadi petugas pemilu, terutama di tempat pemungutan suara.
Hal ini juga terdata dari banyaknya peserta Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD), sebuah inisiasi yang digagas para pegiat pemilu untuk menjadi pendamping bagi calon-calon tenaga badan ad hoc penyelenggara pemilu tersebut.
Menjelang proses pendaftaran badan ad hoc, tercatat sudah ada 13.305 peserta kursus singkat yang digelar oleh APD. Para peserta mengikuti bimbingan ujian tertulis, wawancara, dan tryout yang dilakukan secara daring. Para peserta tersebar dari seluruh wilayah Indonesia.
Menurut salah satu inisiator APD, Masykurudin Hafidz, banyaknya peserta kursus ini menjadi gambaran antusiasme untuk terlibat menjadi penyelenggara pemilu. ”Keinginan untuk terlibat dalam pelaksanaan pemilu lebih kuat. Peserta APD sebagian berasal dari sukarelawan demokrasi KPU dan alumni Sekolah Kader Pengawas Partisipatif yang telah terlibat bersama penyelenggara pemilu,” ungkap Masykurudin.
Kursus singkat ini ditujukan untuk membantu calon-calon badan ad hoc untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan penyelenggaraan pemilu sebelum menjadi penyelenggara pemilu. Harapannya, ketika terpilih dan dilantik, mereka langsung bisa melaksanakan tahapan dan mengawasinya secara maksimal.
Baca juga: Honor Petugas Badan ”Ad Hoc” Pemilu 2024 Bakal Naik
Apolitis
Jika separuh responden menyatakan bersedia terlibat sebagai penyelenggara pemilu sebagai badan ad hoc, sebagian responden yang lain cenderung menghindar untuk terlibat dalam urusan penyelenggaraan pemilu ini.
Alasan penolakan yang paling banyak disebutkan oleh responden adalah karena tidak mau atau takut berurusan dengan politik. Alasan apolitis ini disampaikan oleh 44,9 persen dari kelompok responden yang cenderung menolak menjadi petugas penyelenggara pemilu di lapangan.
Alasan penolakan lainnya lebih bersifat klasik, seperti sibuk dan tidak ada waktu untuk mengurusi pemilu, bahkan sebagian responden juga mengaku saat ini mereka adalah menjadi bagian dari anggota ataupun pengurus partai politik sehingga tidak memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu.
Bahkan, tidak sedikit yang menolak karena trauma dengan apa yang terjadi di Pemilu 2019. Pengalaman di Pemilu 2019 menyebutkan, beban kinerja penyelenggara dengan pemilu serentak lima surat suara mengakibatkan kelelahan dan tidak sedikit mengakibatkan jatuh korban. Berdasarkan data KPU per 20 Mei 2019, sebanyak 5.669 orang petugas pemilu menjadi korban atas beban penyelenggaraan pemilu serentak 2019.
Dari jumlah tersebut, 5.097 orang sakit dan 572 orang meninggal. Sementara berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan per 24 Mei 2019, total ada 11.989 orang yang terdiri dari 11.526 orang sakit dan 463 meninggal dari petugas penyelenggara pemilu di lapangan.
Tentu, dengan beban Pemilu 2024 yang tidak sekadar lima surat suara karena akan bersambung dengan pelaksanaan pilkada di November 2024 akan menjadi beban tersendiri meskipun untuk tahapan pilkada juga akan dilakukan pembentukan badan ad hoc tersendiri.
Meskipun demikian, pengalaman menjadi badan ad hoc di Pemilu 2024 akan menjadi pertimbangan terbesar untuk sekaligus terlibat dalam badan ad hoc di Pilkada 2024.
Pada akhirnya, antara mereka yang antusias terlibat dalam penyelenggaraan pemilu dan mereka yang menolak tidak akan mengubah kondisi kebutuhan akan tenaga lapangan sebagai penyelenggara pemilu.
Di situasi seperti ini, wacana yang dilontarkan KPU terkait menyiapkan kuota khusus bagi mahasiswa untuk terlibat dalam badan ad hoc penyelenggara pemilu disambut positif oleh publik.
.
Sebanyak 83,2 persen responden setuju dengan rencana melibatkan mahasiswa ini, terutama jika di suatu wilayah tertentu kesulitan mendapatkan partisipasi dari warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tenaga ad hoc penyelenggara pemilu.
Apalagi, konsep keterlibatan mahasiswa ini melalui jalur kerja sama antara KPU dan pihak kampus sehingga keterlibatan mahasiswa bisa sekaligus dikonversi dengan tugas-tugas akademik mereka.
Tak pelak, dengan antusiasme terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, baik melalui jalur rekrutmen maupun melalui jalur kampus dengan melibatkan mahasiswa, pada akhirnya akan memperkuat pemilu tidak sekadar sebagai momentum kontestasi elektoral, tetapi juga sekaligus mampu menjadikan pemilu sebagai ajang pendidikan politik bagi setiap anak bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: MK Diharap Pertimbangkan Pengalaman Penyelenggara ”Ad Hoc” pada Pemilu 2019