Analisis Litbang ”Kompas”: G20 dan Penguatan Demokrasi Global
Penguatan demokrasi global menjadi isu penting di saat pertemuan negara-negara di dunia. Ajang KTT G20 bisa menjadi momentum penguatan komitmen dari negara-negara untuk menciptkakan tatanan dunia yang lebih demokratis.
Pandemi Covid-19 yang berjalan kurang lebih dua tahun terakhir ini dinilai turut memberikan konstribusi terhadap penurunan standar demokrasi di sejumlah negara di dunia.
Di sisi yang lain, kemunduran demokrasi juga terjadi seiring dengan menguatnya dukungan untuk otoritarianisme. KTT G20 bisa menjadi momentum untuk menguatkan kembali nilai-nilai demokrasi negara-negara di dunia.
Data Indeks Demokrasi 2021 yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) menyebutkan, kurang dari setengah penduduk dunia (45,7 persen) kini hidup dalam negara dengan sistem demokrasi.
Indeks tahunan yang dikeluarkan EIU ini mengukur situasi demokrasi global dan menyatakan tahun 2021 telah terjadi penurunan besar sejak 2010. EIU sendiri mulai mengukur indeks demokrasi sejak 2006.
Pandemi Covid-19 turut memberikan konstribusi terhadap penurunan standar demokrasi di sejumlah negara di dunia.
Dalam laporannya, EIU menyebutkan bahwa pandemi turut memberikan dampak pada kemunduran demokrasi. Dalam Indeks Demokrasi 2021 tersebut, sebanyak 74 dari 167 negara dari wilayah yang dicakup oleh indeks ini atau sekitar 44,3 persen dari total negara yang diukur masuk kategori negara demokrasi.
Namun, jumlah negara yang masuk kategori ”demokrasi penuh” (full democracy) mengalami penurunan, menjadi 21 negara pada tahun 2021. Sebelumnya, di indeks tahun 2020 terdapat 23 negara yang masuk ketegori ini.
Sementara itu, pada tahun 2021 jumlah ”demokrasi yang cacat” (flawed democracy) ada 52 negara, bertambah satu negara dibandingkan tahun 2020.
Dari 93 negara yang tersisa dalam indeks, 59 negara masuk kategori ”rezim otoriter”. Jumlah ini meningkat dari 57 negara di tahun 2020. Kemudian negara yang masuk kategori ”rezim hibrida” atau campuran tercatat ada 34. Jumlah ini menurun dari 35 pada indeks demokrasi di tahun 2020.
Baca juga : Perbaikan Skor Indeks Demokrasi Belum Menyentuh Aspek Fundamental
Negara G20
Lalu, bagaimana performa demokrasi dari negara-negara yang saat ini tengah mengikuti KTT G20 di Bali? Empat kategori di atas juga ditemui dari negara-negara anggota G20 ini.
Dari negara-negara yang tergabung di G20 ini (kecuali Uni Eropa), indeks demokrasi yang dirilis EIU menempatkan ada enam negara yang masuk dalam kategori demokrasi penuh. Keenam negara tersebut adalah Australia, Kanada, Jerman, Korea Selatan, Jepang, dan Inggris.
Rata-rata nilai indeks demokrasi dari keenam negara tersebut mencapai angka delapan. Australia tercatat menjadi negara dengan nilai indeks demokrasi paling tinggi, yakni ada di angka 8,90.
Australia juga menempatkan diri sebagai negara dengan ranking indeks secara global di posisi ke-9. Australia menjadi satu-satunya negara G20 yang masuk sepuluh besar negara-negara dengan indeks demokrasi paling tinggi di dunia
Sementara lima negara lainnya rankingnya sudah di atas 10 besar, tetapi masih di bawah posisi 20 besar, ialah Kanada, Jerman, Korea Selatan, Jepang, dan Inggris. Korea Selatan sempat menjadi sorotan dunia ketika sukses melaksanakan pemilu saat pandemi masih menjadi ancaman yang mengkhawatirkan.
Salah satu hal yang dianggap menjadi kunci keberhasilan penyelenggaraan pemilu Korea Selatan di tengah pandemi Covid-19 adalah tingkat kedisiplinan penerapan protokol kesehatan yang tinggi sehingga mampu mengendalikan angka kasus penularan Covid-19. Kesuksesan pemilu Korea Selatan di kala pandemi itu makin menguatkan setelah data menunjukkan justru ada peningkatan tingkat partisipasi pemilih.
Di pemilu tersebut, partisipasi pemilih Korea Selatan mencapai 66,2 persen, khususnya untuk pemilihan anggota legislatif. Angka ini meningkat 8,2 persen dibandingkan partisipasi pemilih di pemilu sebelumnya.
Tidak heran jika kemudian aspek penyelenggaraan pemilu di Korea Selatan mencatatkan angka indeks lebih besar dibandingkan aspek-aspek lainnya.
Baca juga : Skor Indeks Demokrasi Indonesia Membaik, tetapi Tantangan Masih Besar
Kategori menengah
Sementara itu, kategori menengah, yakni di bawah demokrasi penuh, EIU menyebutnya sebagai kategori demokrasi cacat (flawed democracy) dengan menempatkan delapan negara anggota G20 yang masuk kategori ini.
Menurut catatan EIU, demokrasi cacat ini umumnya ditandai dengan pelaksanaan pemilihan umum yang sudah bebas, jujur, dan terpenuhinya hak-hak dasar warga negara. Namun, di sisi lain masih ada problem terkait kultur politik dari negara yang cenderung mengabaikan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Dari kategori ini, setidaknya ada delapan negara G20 yang masuk dalam kelompok negara dengan demokrasi cacat ini. Rata-rata indeks demokrasi dari delapan negara ini berada di angka 7,23.
Perancis tercatat paling tinggi angka indeksnya yang mencapai 7,99 dan berada di ranking ke-22 di dunia. Kemudian disusul Amerika Serikat, Italia, Afrika Selatan, India, Brasil, Argentina, dan Indonesia.
Indonesia sendiri tercatat sebagai negara di kelompok demokrasi cacat ini di urutan paling bawah dari negara-negara G20 ini. Indeks demokrasi Indonesia berada di angka 6,71.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, Indonesia masuk dalam negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy). Negara dengan kategori ini umumnya sudah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil dasar.
Namun, negara dalam kelompok ”cacat” ini masih memiliki masalah fundamental, seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Meskipun masuk kategori ”cacat”, indeks demokrasi Indonesia sudah naik 12 peringkat dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-64 dunia.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Moch Nurhasim menyebutkan dalam artikelnya, salah satu yang turut memengaruhi penurunan indeks demokrasi Indonesia sehingga membuat Indonesia masuk dalam demokrasi cacat adalah adanya fenomena pembelahan sosial-politik di satu sisi dan kuatnya politik identitas sebagai instrumen dalam pertarungan politik di sisi lain.
Menurut Nurhasim, masyarakat luas dan pemilih dikerangkeng oleh wacana ”Kita dan Anda” sebagai bentuk antagonisme sikap dan tindakan politik yang selalu antagonis, berlawanan, dan dianggap ”musuh”.
Tidak heran jika nilai budaya politik Indonesia dalam Indeks Demokrasi EIU mendapat skor kecil akibat narasi politik yang ambivalen atau hipokrit (Kompas, 7/2/2020).
Selain dua kategori, yakni demokrasi penuh dan demokrasi cacat, negara-negara G20 juga ada yang masuk kategori demokrasi rezim campuran dan kategori otoritarian.
Di kategori rezim campuran skor indeksnya rata-rata berada di angka 4,96, yakni ada dua negara, Meksiko dan Turki. Kemudian di kategori otoritarian dengan rata-rata indeks berada pada angka 2,51 menempatkan Rusia, China, Arab Saudi masuk dalam kategori ini.
Baca juga : Pandemi Beri Tekanan Indeks Demokrasi Indonesia
Penguatan
Untuk itu, dalam konteks hubungan antarnegara di dunia, penguatan demokrasi mesti menjadi isu bersama. KTT G20 di Bali saat ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat iklim demokrasi tersebut, terutama bagi negara-negara anggotanya. Apalagi, isu penguatan demokrasi ini sempat muncul pada ajang Civil 20 Indonesia 2022 atau C20.
C20 merupakan pertemuan yang mewakili organisasi masyarakat sipil yang digelar pada Oktober 2022. Pertemuan C20 Summit yang mengangkat tema ”Voicing and Realizing a Just Recover for All (Menyuarakan dan Mewujudkan Pemulihan yang Adil untuk Semua)” merupakan kegiatan yang diselenggarakan untuk menyuarakan aspirasi dari organisasi masyarakat sipil dan komunitas akar rumput di seluruh dunia.
Pertemuan C20 sangat penting karena merupakan momentum untuk mendengarkan kesaksian dari masyarakat yang terlibat secara global dalam merawat demokrasi, baik di Indonesia maupun di dunia.
Hasil pertemuan C20 kemudian mendorong negara-negara dunia, khususnya yang tergabung dalam G20, menguatkan prinsip demokrasi dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan. Upaya ini diharapkan menjadi salah satu kesepakatan yang konkret dari hasil KTT G20 di Bali pekan ini.
Pada akhirnya, demokrasi memang tidak sekadar cukup dengan fakta bahwa ia merupakan sistem politik yang dijalankan oleh hampir separuh negara-negara di dunia, termasuk negara-negara G20.
Namun, demokrasi juga harus dipandang sebagai solusi atas berbagai persoalan yang terjadi di dunia global saat ini. Sebut saja soal distribusi vaksinasi Covid-19 yang boleh jadi masih terjadi kesenjangan antarnegara sehingga ada negara yang terakses vaksin dengan mudah, tetapi ada negara yang tak terjangkau vaksin.
Sejumlah isu yang kini menjadi perbincangan dan perhatian dalam KTT G20, seperti transisi energi berkelanjutan, transformasi digital, dan arsitektur kesehatan global, tidak akan mudah mencapai kesepahaman jika perspektif terhadap nilai-nilai demokrasi terabaikan.
Forum dunia yang digelar di Indonesia ini pada akhirnya juga diharapkan menjadi momentum penguatan praktik dari nilai demokrasi itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Resesi Demokrasi