ASN di Pusaran Pilkada, Haruskah Hak Politik Dicabut?
Pelanggaran netralitas ASN di sejumlah daerah terus meningkat menjelang Pilkada 2020. Keberadaan ASN dalam pusaran politik rentan akan praktik penyelewengan yang dapat mengganggu kinerja pelayanan publik.
Pelanggaran netralitas ASN di sejumlah daerah terus meningkat jelang Pilkada 2020. Tak hanya bertentangan dengan aturan, keberadaan ASN dalam pusaran politik rentan akan praktik penyelewengan yang dapat mengganggu kinerja pelayanan publik. Optimalisasi pengawasan dan penindakan tegas perlu dilakukan, bahkan diwacanakan kembali untuk pencabutan hak politik bagi ASN.
Undang-undang No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengamanatkan bahwa tugas dan fungsi utama sebagai abdi negara adalah untuk penyelenggaraan pelayanan publik. ASN berkewajiban pula untuk memelihara persatuan bangsa. Amanah ini menjadikan ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi kepentingan politik apa pun.
Upaya menjaga netralitas ASN dalam pusaran politik ini juga diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Sejumlah PP yang telah dikeluarkan untuk mengatur netralitas ASN, yaitu PP No 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, PP No 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, PP No 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Selain itu, Kementerian PAN-RB juga menegaskan kembali kepada ASN untuk dapat menjaga kredibilitas dan etik sebagai abdi negara. Hal tersebut terlihat dengan dikeluarkannya dua Surat Edaran (SE) yang bertujuan untuk mengingatkan agar ASN tidak terjebak dalam pusaran politik praktis.
Pada 2015, Kementerian PANRB menerbitkan SE Menteri PANRB Nomor: B/2355/M.PANRB/07/2015 tentang Netralitas ASN & Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pilkada Serentak. Kemudian pada 2017, Menteri PANRB kembali mengeluarkan SE Nomor B/71/M.SM.00.00/2017 tanggal 27 Desember 2017 tentang Pelaksanaan Netralitas bagi ASN.
Langkah tegas untuk mengawasi keterlibatan ASN dalam politik juga dilakukan lembaga Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Secara khusus, Surat Ketua KASN Nomor: B-2900/KASN/11/2017 tanggal 10 November 2017 diterbitkan untuk mengawal netralitas ASN dalam masa pilkada serentak 2018.
Harus diakui, sering kali posisi ASN terjepit pada kepentingan untuk dimanfaatkan sebagai alat politik. tak jarang praktik pelibatan ASN dalam aktivitas politik justru berjalan terstruktur di dalam institusi pemerintahan daerah. Terlebih jika hal tersebut sudah melibatkan kepala daerah petahana ataupun para pejabat pemerintahan yang menjadi pendukung salah satu calon.
Sering kali posisi ASN terjepit pada kepentingan untuk dimanfaatkan sebagai alat politik.
Padahal, amanat peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan jelas bahwa bersikap netral dalam politik bagi ASN sebetulnya bukan pilihan melainkan kewajiban. Namun, kepentingan politik itu justru sering kali dibawa oleh para pejabat ASN yang memiliki pengaruh pada nasib pekerjaan bawahannya. Jika sudah begitu, mau tak mau pilihannya hanya ikut apa kata perintah atasan.
Persoalan netralitas ASN di tubuh pemerintahan daerah ini pernah diungkap dalam buku Pilkada Penuh Euforia, Miskin Makna (2015) yang ditulis Rahmat Hollyson dan Sri Sundari. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa ada sejumlah faktor yang memengaruhi ASN terjerat dalam aktivitas politik praktis.
Beberapa di antaranya yang menyentuh pada ranah profesional sebagai ASN, yaitu terkait tekanan dari atasan dan posisi pekerjaan hingga motivasi untuk mendapat jabatan. Faktor lainnya di luar itu lebih dipengaruhi sikap personal yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan ataupun ketidaksukaan pada calon kepala daerah tertentu.
Praktik menjadikan ASN sebagai alat politik dengan menawarkan jabatan tertentu atau bahkan ancaman mutasi bukan lagi hal baru. Bongkar-pasang jabatan di berbagai tingkatan eselon pemerintahan daerah kerap terjadi menjelang dan setelah pelaksanaan pilkada.
Padahal, jika merujuk pada aturan pemilihan kepala daerah, UU No 8 Tahun 2015, kepala daerah dilarang melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemerintahan daerah dalam jangka waktu enam bulan terhitung sejak tanggal pelantikan.
Pelanggaran
Pilkada seolah memang telah mengubah daerah menjadi sebuah gelanggang pertarungan sengit antarkubu. Semua elemen masyarakat termasuk pula ASN di daerah larut dalam euforia perebutan jabatan kepala daerah.
Terlepas dari besarnya euforia politik di daerah ketika memasuki masa pilkada, segala tindakan ASN yang mengarah pada sikap ketidaknetralan dalam politik tidak bisa dibenarkan. Berdasarkan data terbaru dari Bawaslu, selama masa Pilkada 2020, setidaknya 415 dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Sejauh ini 46 kasus pelanggaran tersebut telah dihentikan karena tak masuk dalam kategori pelanggaran netralitas ASN. Sementara tiga kasus lainnya masih dalam proses. Selebihnya, tidak kurang dari 366 kasus dugaan pelanggaran itu direkomendasikan kepada KASN untuk ditindaklanjuti.
Dua wilayah provinsi di Sulawesi, yaitu Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, yang akan menghelat pilkada tahun ini, menjadi daerah dengan tingkat pelanggaran netralitas ASN paling tinggi dibandingkan daerah lainnya. Data terbaru yang dihimpun Bawaslu, setidaknya sudah ada 44 kasus di Sulawesi Utara dan 34 kasus di Sulawesi Tengah yang telah direkomendasikan kepada KASN.
Bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan ASN pun beragam, mulai dari hal sepele hingga yang secara sadar dan terang-terangan melakukan aktivitas politik. Aktivitas dukungan politik di lewat media sosial tercatat sebagai bentuk pelanggaran paling banyak dilakukan oleh ASN yang mencapai 130 kasus.
Selebihnya, Bawaslu juga menerima laporan sikap ketidaknetralan ASN secara terang-terangan dengan melakukan aktivitas yang berhubungan dengan partai politik sebanyak 88 kasus, sosialisasi dengan alat peraga kampanye sebanyak 36 kasus, dan berbagai aktivitas politik lainnya.
Penindakan
Masifnya aktivitas politik ASN yang mengarah pada ketidaknetralan sikap di media sosial memang perlu menjadi catatan dalam penyelenggaraan pilkada kali ini. Terlebih tahapan pilkada dilakukan di tengah kondisi pandemi yang belum juga mereda.
Masifnya aktivitas politik ASN yang mengarah pada ketidaknetralan sikap di media sosial memang perlu menjadi catatan dalam penyelenggaraan pilkada kali ini.
Aktivitas politik termasuk pula kampanye tentu akan beralih ke dunia digital. Jika sudah begitu, pengawasannya pun akan kian sulit. Langkah strategis untuk menghadapi fenomena ini perlu dipersiapkan matang seperti dengan melakukan pengawasan lewat patroli siber yang bekerja sama dengan pihak terkait. Tentunya hal tersebut juga perlu dibarengi dengan pemberitahuan dan edukasi agar tak banyak lagi ASN yang tersangkut pelanggaran akibat berpolitik di media sosial.
Bak penyakit musiman, aktivitas politik oleh ASN terus berulang ditemui pada setiap penyelenggaraan pemilihan umum. Pengawasan dan ketidaktegasan penindakan kepada oknum pelanggar agar memberi efek jera hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki.
Sebagian besar kasus pelanggaran yang telah terbukti justru tak ditindak dengan disiplin dan tegas. Bahkan, KASN mencatat, dari 366 kasus pelanggaran netralitas yang mendapat rekomendasi penjatuhan hukuman oleh KASN hanya sekitar 34 persen yang telah mendapatkan sanksi dari kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian wilayah setempat.
Seturut dengan itu, hal terkait dengan ketegasan dalam menindak pelanggaran netralitas oleh ASN ini juga pernah diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kampanye virtual Gerakan Nasional Netralitas ASN bertema ”ASN Netral, Birokrasi Kuat dan Mandiri”, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dengan tegas mengingatkan para kepala daerah akan pentingnya pemberian sanksi kepada ASN yang melanggar netralitas sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Penanganan persoalan netralitas ASN ini menjadi begitu penting dan semestinya tak lagi terulang. Praktik ini telah memberikan ruang pada berbagai pelanggaran hukum yang dekat dengan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengganggu tugas dan profesionalitas ASN sebagai pelayan publik.
Pencabutan hak politik
Kegagalan dalam meredam tindak pelanggaran ASN dalam pusaran politik praktis membuat wacana dan desakan untuk mencabut hak politik terus menguat. Selayaknya yang dilakukan di tubuh TNI dan Polri, langkah ini dianggap dapat menjadi solusi.
Sebelumnya pada tahun 2018, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) sempat merekomendasikan pencabutan hak politik karena maraknya pelanggaran netralitas yang dilakukan oknum ASN. Hal tersebut juga dinilai dapat menekan praktik kecurangan selama masa pemilihan.
Meski demikian, langkah pencabutan hak politik ASN itu juga memiliki sisi kekurangan yang perlu untuk dipertimbangkan. Pencabutan hak politik ASN akan menghilangkan hak pilih sebagai warga negara sipil. ASN merupakan bagian dari masyarakt sipil yang bekerja dengan berdasarkan profesionalitas, berbeda dengan kerja TNI atau pun Polri yang berbentuk komando.
ASN merupakan bagian dari masyarakt sipil yang bekerja dengan berdasarkan profesionalitas, berbeda dengan kerja TNI ataupun Polri yang berbentuk komando.
Maraknya pelanggaran politik menjelang masa pemilihan kepala daerah oleh ASN dan wacana pencabutan hak politik juga telah menjadi sorotan publik. Dalam hal ini, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi pada 2019 pernah melakukan survei untuk menangkap persepsi publik terhadap fenomena tersebut.
Hasil survei yang dilakukan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi menangkap mayoritas responden (82 persen) sepakat jika ASN harus bersikap netral dalam pemilu. Sementara itu, terkait pencabutan hak politik hanya sepertiga responden yang setuju hal tersebut dilakukan. Lebih dari 54 persen publik justru merespons dengan tidak sepakat jika harus dilakukan pencabutan hak politik pada ASN.
Pencabutan hak politik bagi ASN memang penting untuk dipertimbangkan. Upaya ini mungkin akan mampu menekan bentuk penyalahgunaan wewenang dan pemberdayaan ASN sebagai alat politik. Namun, ini tak pula akan memberikan jaminan praktik penyelewengan dalam perhelatan pilkada dapat hilang.
Optimalisasi dalam pengawasan dan pencegahan menjadi kunci menekan pelanggaran netralitas oleh ASN. Penindakan kepada oknum ASN yang terbukti menyalahi aturan pun telah diatur dan selayaknya dilaksanakan dengan tegas untuk untuk memberikan efek jera.
Mewujudkan netralitas ASN dalam pusaran politik praktis bukan sekadar untuk menjaga kualitas bernegara dan demokrasi kita. Namun, juga bagian dari amanah dan marwah ASN sebagai abdi negara yang melayani masyarakat. (LITBANG KOMPAS)