Alasan yang disampaikan anggota DPR untuk membangun gedung baru masih sulit diterima oleh publik. Penyebabnya, kinerja DPR dinilai buruk.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alasan yang disampaikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk membangun gedung baru masih sulit diterima publik. Terlebih, kinerja DPR periode sekarang dinilai yang terburuk sepanjang sejarah lembaga perwakilan.
Menurut peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, Sabtu (12/8), di Jakarta, alasan DPR membangun gedung baru sangat sulit untuk diterima publik mengingat kinerja buruk mereka. Terlebih keinginan DPR membangun gedung baru terjadi pada saat banyak subsidi untuk rakyat pun dipotong pemerintah. "Sepanjang sejarah lembaga perwakilan, DPR periode saat ini yang terburuk. Di tengah kerja dan citra DPR yang buruk, sulit bagi publik bisa mendukung rencana DPR," kata Donal.
Disebut terburuk karena DPR dinilai menghabiskan banyak waktu untuk berebut jabatan pada awal periode DPR. DPR juga gagal menjalankan fungsinya. Salah satunya terlihat dari kinerja legislasi yang selalu jauh dari target. Adapun fungsi pengawasan DPR, kata Donal, justru digunakan untuk menyerang agenda pemberantasan korupsi dengan disetujuinya hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ditambah lagi DPR dipimpin tersangka korupsi.
"Apalagi kondisi keuangan negara sekarang sedang tidak sehat. Subsidi untuk rakyat banyak dipotong pemerintah dan rakyat bisa jadi tidak setuju kalau pemotongan subsidi untuk mereka ternyata untuk membangun fasilitas-fasilitas bagi DPR yang tidak mendesak kebutuhannya," tutur Donal.
Jika DPR tidak membatalkan rencana penataan kawasan tersebut, dia mendorong pemerintah untuk menolak usulan DPR.
Tidak nyaman
DPR tetap menginginkan gedung baru, mengingat kondisi gedung sekarang tidak cukup mendukung kerja mereka. "Setiap berada di Gedung Nusantara I (tempat ruangan anggota DPR berada), kami ini selalu sport jantung. Takut gedungnya roboh atau liftnya anjlok. Ditambah lagi kerja tenaga ahli dan administrasi kami tidak nyaman karena harus bekerja di ruangan yang sempit," ungkap Sekretaris Fraksi Partai Hanura DPR Dadang Rusdiana.
Seperti diberitakan sebelumnya, setiap anggota DPR memiliki tiga tenaga ahli dan dua tenaga administrasi. Mereka harus bekerja di ruangan berukuran 4 meter x 2 meter dari total ukuran ruangan setiap anggota DPR 4 meter x 6 meter. Sementara perluasan ruangan tak memungkinkan karena semua ruangan di Nusantara I sudah digunakan. "Padahal, tenaga ahli itu penting bagi anggota DPR. Jadi, wajar jika mereka juga harus nyaman bekerjanya," katanya.
Kondisi ini yang jarang diketahui publik sehingga wajar jika setiap kali muncul rencana pembangunan gedung baru, penolakan muncul. "Padahal, perlunya gedung itu tak mengada-ada. Silakan saja datang dan lihat sendiri," ujar Dadang.
Terlebih, katanya, gedung baru yang dikehendaki bukan gedung yang mewah. Gedung yang dibutuhkan setidaknya memadai untuk anggota DPR beserta tenaga ahli dan administrasi agar bisa bekerja nyaman. "Kalau gedung yang dibuat nanti ternyata gedung mewah dengan fasilitas yang sebenarnya tak dibutuhkan DPR, saya jelas tidak akan sepakat," ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Herman Khaeron menambahkan, pembangunan gedung, termasuk ruangan anggota DPR yang lebih layak, juga untuk kepentingan negara. Selain itu, DPR periode selanjutnya akan bertambah 15 anggota sehingga total nantinya berjumlah 575 anggota DPR.
"Jadi, gedung itu bukan untuk anggota DPR saat ini. Anggota DPR saat ini justru kemungkinan tidak bisa menikmatinya karena kalau pembangunan direalisasikan, bisa jadi baru selesai setelah masa jabatan kami berakhir tahun 2019," jelasnya.
Menurut Dadang, kondisi gedung yang tak lagi layak, ditambah pentingnya gedung baru untuk kepentingan negara itu, minim dijelaskan kepada publik. Jadi, tidak mengherankan penolakan selalu muncul setiap kali ada rencana pembangunan.
Karena itu, dia mendesak Sekretariat Jenderal DPR lebih intens mengomunikasikannya kepada publik. Tidak sebatas rencana pembangunan gedung baru, tetapi juga termasuk fasilitas lain yang masuk konsep penataan kawasan parlemen, seperti perpustakaan, museum, alun-alun tempat masyarakat berunjuk rasa, dan apartemen. Sarana dan prasarana ini dinilai Dadang penting untuk membuat parlemen yang modern.
Untuk meyakinkan publik bahwa DPR tak ada niat meraup untung dari pembangunan, Herman dan Dadang setuju jika pembangunannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah. KPK bisa ikut mengawasi. (APA)