Revisi UU Kementerian hingga UU Wantimpres Tak Libatkan Publik, Apa Dampaknya?
Kamis (19/9/2024) ini, tiga RUU yang pembahasannya tak libatkan publik akan disahkan DPR. Apa dampaknya bagi masyarakat?
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1. UU apa saja yang direvisi dan tak libatkan publik?
2. Apa saja yang akan diubah dari revisi tersebut?
3. Apa tujuan revisi tersebut?
4. Apa dampaknya bagi publik?
Undang-undang apa saja yang direvisi dan tak libatkan publik?
Setengah bulan menjelang jabatannya berakhir, Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2024 membahas rancangan undang-undang dengan begitu cepat guna merevisi tiga undang-undang. Ketiga undang-undang yang direvisi tanpa partisipasi publik ialah RUU Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan RUU Keimigrasian. Aspirasi masyarakat dinilai tidak signifikan karena aturan yang dibuat mengatur soal kewenangan presiden.
Ketiganya tinggal menanti pengesahan dalam rapat paripurna pada Kamis (19/9/2024). Sepanjang pekan lalu, 10-12 September, Badan Legislasi DPR dan pemerintah menuntaskan pembahasan tiga RUU tersebut hingga disepakati dalam pembicaraan tingkat I untuk dibawa ke rapat paripurna.
Baca juga: Walau Tanpa Partisipasi Publik, DPR Bakal Sahkan Tiga RUU Kilat Kamis Esok
Apa saja yang akan diubah dari revisi tersebut?
Pada RUU Kementerian Negara dan RUU Wantimpres, wewenang presiden kian besar, bahkan termasuk "super". Batasan-batasan yang sebelumnya ada, yakni 34 untuk kementerian dan 9 untuk Wantimpres, akan tidak berlaku. Presiden kian leluasa menentukan jumlah pembantunya sesuai kebutuhan.
Sementara RUU Keimigrasian, salah satunya melonggarkan larangan terhadap orang yang diduga terlibat tindak pidana untuk pergi ke luar negeri. Dalam RUU tersebut, pemerintah dan DPR sepakat bahwa orang yang masih berstatus sebagai terduga atau orang dalam penyelidikan pidana boleh bepergian ke luar negeri. Pencegahan dilakukan terhadap orang yang sudah masuk dalam penyidikan dan penuntutan.
Baca juga: Tren Pengabaian Publik dalam Penyusunan Undang-Undang Berlanjut
Apa tujuan revisi tersebut?
Sepanjang 10-12 September 2024, Baleg DPR dan pemerintah menuntaskan pembahasan RUU Kementerian Negara, RUU Wantimpres, dan RUU Keimigrasian. Setiap RUU dibahas dalam waktu sehari dengan menghabiskan waktu total sekitar tiga jam.
Dalam setiap pembahasan, tidak ada satu pun perwakilan dari unsur masyarakat yang dilibatkan untuk menyampaikan aspirasi. Padahal, RUU yang dibahas, khususnya RUU Kementerian dan RUU Wantimpres, menjadi sorotan publik dalam beberapa bulan terakhir karena memberikan kewenangan penuh kepada presiden untuk menentukan jumlah kementerian dan anggota Wantimpres.
Adapun seluruh rapat hanya dihadiri oleh anggota Baleg DPR dari sembilan fraksi partai politik serta perwakilan pemerintah, antara lain Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas. Kedua pihak hampir tak pernah berbeda pendapat atas usul substansi RUU baik yang ditawarkan oleh DPR maupun pemerintah.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo, mengatakan, substansi RUU Kementerian dan RUU Wantimpres terkait dengan kewenangan presiden yang akan menjabat pada periode 2024-2029. Oleh karena itu, pembahasan yang diikuti oleh perwakilan unsur masyarakat bukan hal yang signifikan. ”(Pembahasan RUU Kementerian dan RUU Wantimpres) Tidak perlu melibatkan banyak orang karena menyangkut kewenangan presiden,” ujarnya.
Selain itu, menurut dia, pasal yang diubah tidak banyak. Di tengah masa transisi pemerintahan yang tersisa sekitar satu bulan, DPR pun harus bekerja lebih cepat agar dasar hukum penyusunan kabinet sudah ada saat presiden terpilih 2024, Prabowo Subianto, dilantik pada Oktober mendatang.
Baca juga: Demi Presiden, DPR Bahas Tiga RUU secara Ugal-ugalan
Baca juga: RUU Kementerian Negara Disepakati, Presiden Bebas Tambah dan Pecah Kementerian
Apa dampaknya bagi publik?
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (13/9/2024), mengatakan, proses legislasi yang tak melibatkan publik hanya menjadi politik bagi-bagi kekuasaan untuk menjamin pihak yang merasa berjasa bisa mendapatkan posisi di pemerintahan mendatang. Masyarakat dihadapkan pada koalisi besar yang harus diakomodasi.
”Jadi, ini RUU yang elite karena dibicarakan di tingkat elite dan untuk elite saja,” kata Charles.
Menurut dia, partisipasi publik berperan penting. Sebagai contoh, soal jumlah kementerian dalam RUU Kementerian Negara harus diperhitungkan terkait dampaknya terhadap birokrasi, fungsi kontrol dan koordinasi antara institusi, hingga beban negara.
Padahal, dalam membentuk kementerian, diperlukan pembiayaan yang pasti akan menjadi beban masyarakat. Selain itu, praktik bagi-bagi kekuasaan itu akan semakin mengikis sistem merit dalam pemerintahan.
Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengatakan, legislasi yang demikian itu menyalahi aturan mengenai partisipasi publik yang dijelaskan pada Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembentuk undang-undang juga melanggar putusan Mahkamah Konstitusi soal partisipasi publik bermakna yang telah diadopsi dalam UU No 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-pndangan.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yance Arizona, mengatakan, di tengah situasi ini, jalan yang masih bisa diambil oleh publik adalah meminta MK untuk menguji formil sejumlah undang-undang yang tidak dibahas dengan partisipasi masyarakat bermakna. Hal itu krusial karena dalam beberapa waktu terakhir konsultasi publik tidak dilakukan.
Baca juga: Pembahasan Tiga RUU Lebih Tampak Bagi-bagi Kekuasaan, Rakyat Akan Terbebani