Ketua KPK Akui Sulit Bertemu Presiden, Pengamat: Jokowi Lebih Mudah Bertemu Ormas Keagamaan
Selama 10 tahun Indonesia kehilangan kesempatan untuk memperbaiki situasi dan situasinya tetap sama-sama korupsi.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua sementara Komisi Pemberantasan KorupsiNawawi Pomolango mengaku dirinya bersama pimpinan KPK lainnya sulit bertemu dengan Presiden Joko Widodo selama bekerja lima tahun terakhir untuk membicarakan persoalan korupsi. Pernyataan Ketua KPK tersebut dinilai kian menunjukkan bahwa tidak ada komitmen Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi.
Seharusnya pertemuan presiden dengan pimpinan KPK bisa sebagai koordinasi pencegahan tindak pidana korupsi dan untuk mengatasi persoalan-persoalan pemberantasan korupsi yang selama ini tersumbat.
Dikutip dari Kompas.com, Nawawi menceritakan kesulitan bertemu dengan Presiden itu dalam Media Gathering di Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (12/9/2024). Menurut Nawawi, meski sebagai pimpinan lembaga negara, kenyataannya ia dan pimpinan KPK lainnya sulit bertemu dengan Presiden Jokowi. Periode kepemimpinan Nawawi di KPK akan berakhir pada Desember 2024 mendatang.
”Lima tahun kami di sana (menjabat), tidak pernah sekalipun kami diundang untuk membicarakan KPK,” kata Nawawi.
Lima tahun kami di sana (menjabat), tidak pernah sekalipun kami diundang untuk membicarakan KPK.
Saat dikonfirmasi untuk meminta penjelasan lebih lanjut, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto pada Jumat (13/9/2024) enggan berkomentar terkait pernyataan Ketua KPK tersebut. Ia meminta hal tersebut ditanyakan langsung saja kepada Ketua KPK.
Cuma sekali bertemu
Dalam acara media gathering tersebut, Nawawi menjelaskan, pihaknya sudah berupaya agar bisa bertemu dengan Jokowi untuk membicarakan masalah KPK. Misalnya, pada tahun 2022 ketika Presiden melantik Wakil Ketua KPK yang baru, Johanis Tanak, pimpinan KPK sempat berharap dapat dipanggil Jokowi seusai pelantikan untuk membahas persoalan KPK.
Namun, kenyataannya, pihaknya hanya sekali bertemu dengan Jokowi, yakni pada saat merencanakan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia.
Dalam pemberitaan Kompas.id, Presiden Jokowi diketahui menghadiri puncak peringatan Hakordia 2023 yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (12/12/2023). Pada kesempatan itu, Jokowi tampak duduk di samping Ketua KPK sementara Nawawi Pomolango.
Bahkan, Nawawi menggambarkan sulitnya bertemu dengan Presiden dengan bercanda bersama wakilnya, Alexander Marwata. Saat itu, ia mengirimkan tautan berita yang berisi pertemuan Presiden Jokowi dengan organisasi masyarakat. Sambil bercanda, Nawawi menyebut bahwa ormas lebih mudah bertemu Presiden ketimbang pimpinan KPK.
Pak Alex, lebih mudah ormas ya ketemu Pak Presiden daripada pimpinan KPK.
“Pak Alex, lebih mudah ormas ya ketemu Pak Presiden daripada pimpinan KPK," tutur Nawawi.
Punya kewajiban
Secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, memang Presiden Jokowi dari dulu tidak ada komitmen memberantas korupsi dan ini semakin menunjukkan bahwa Jokowi sangat tidak mau berhubungan dengan KPK dalam kaitan apa pun. Padahal, seharusnya Presiden punya kewajiban dari sisi pencegahan untuk berkomunikasi dengan KPK.
”Dalam hal pencegahan, seharusnya ada kerja sama yang baik antara Presiden dan KPK, dan juga mungkin aspirasi dari KPK bagaimana menyampaikan persoalan-persoalan pemberantasan korupsi yang tersumbat,” ucap Zaenur.
Dalam hal pencegahan, seharusnya ada kerja sama yang baik antara Presiden dan KPK, dan juga mungkin aspirasi dari KPK bagaimana menyampaikan persoalan-persoalan pemberantasan korupsi yang tersumbat.
Menurut Zaenur, Presiden seharusnya bisa mengajak diskusi pimpinan KPK untuk membahas pencegahan mulai dari reformasi birokrasi hingga program-program Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
”Dan jangankan mendukung pemberantasan korupsi, justru memang Presiden Jokowi itu sendiri lebih berpandangan bahwa stabilitas itu lebih utama daripada pemberantasan korupsi. Kemudian, akibatnya KPK-nya ditundukkan,” kata Zaenur.
Justru Presiden Jokowi itu melemahkan pemberantasan korupsi dengan privasi Undang-Undang KPK.
Zaenur juga berpandangan, Presiden Jokowi tidak punya semangat sama sekali dalam pemberantasan korupsi. Hal ini terlihat dari tidak ada satu pun produk regulasi yang disahkan yang dapat mendukung pemberantasan korupsi secara efektif. Tidak hanya lima tahun terakhir, tetapi bahkan selama 10 tahun pemerintahan Jokowi.
”Justru Presiden Jokowi itu melemahkan pemberantasan korupsi dengan privasi Undang-Undang KPK. Presiden Jokowi itu sangat bersemangat kalau bicara infrastruktur, kalau bicara proyek-proyek seperti IKN itu ditinjau terus-menerus. Pembangunannya secara fisik juga dicek, bahkan tiang-tiangnya pun dicek sama Presiden. Sedangkan dalam pemberantasan korupsi, tidak ada Jokowi itu memikirkan soal penindakan ataupun pencegahan,” ucap Zaenur.
Zaneur juga melihat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi sebagai program ala kadarnya dan tidak menjawab permasalahan korupsi. Stranas PK hanya sebagai program yang asal jalan dan tidak fokus pada inti persoalan dari korupsi.
”Jadi, memang itu tidak ada komitmen Presiden dalam pemberantasan korupsi. Dampaknya adalah Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2023 yang terakhir itu sama dengan 2014 ketika Presiden Jokowi naik takhta. Artinya selama 10 tahun Indonesia kehilangan kesempatan untuk memperbaiki situasi dan situasinya tetap sama-sama korupsi,” tutur Zaenur.