Calon Parpol Tak Sesuai Aspirasi Publik, MK Diminta Hadirkan Kotak Kosong di Pilkada
Kotak kosong bisa jadi pendorong parpol untuk menghadirkan figur-figur terbaik kepada publik saat pilkada.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjamurnya kontestasi pemilihan kepala daerah yang diikuti oleh bakal calon peserta tunggal serta ketidakselarasan kandidat yang diusung partai politik dengan aspirasi publik memantik gagasan untuk menghadirkan pilihan kotak kosong pada semua daerah. Opsi ini menjadi krusial untuk mewadahi ekspresi kekecewaan warga terhadap partai politik yang alih-alih mengusung kandidat yang diinginkan publik justru memilih calon yang mewakili kepentingan elite.
Gagasan untuk menghadirkan kotak/kolom kosong pada pilkada di semua wilayah muncul dalam gugatan uji materi dengan nomor perkara 120/PUU/PAN.MK/AP3/09/2024 yang diajukan Heriyanto, Ramdansyah, dan Muhammad Raziv Barokah ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (5/9/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Melalui gugatan tersebut, mereka menguji konstitusionalitas sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pilkada serta meminta agar Mahkamah menyatakan bahwa suara kosong (blank vote) pada pilkada yang diikuti oleh dua atau lebih pasangan calon adalah suara sah.
Muhammad Raziv Barokah, Senior Associate Integrity Law Firm, dalam diskusi daring ”Kotak Kosong untuk Semua Daerah, Mungkinkah?” yang diselenggarakan Consideran, Minggu (8/9/2024), mengatakan, uji materi tersebut merupakan perlawanan terhadap proses kandidasi di Pilkada Serentak 2024 yang tak mewakili kepentingan publik. Partai politik yang semestinya mewakili kedaulatan rakyat justru gagal menangkap kehendak masyarakat. Hal itu terlihat dari tidak sejalannya sosok calon kepala daerah yang diusung parpol dengan tokoh yang diinginkan publik, salah satunya di Pilkada Jakarta.
Mengacu hasil survei Litbang Kompas pada Juni 2024, pilihan mayoritas publik mengarah pada dua mantan Gubernur DKI Jakarta, yakni Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama. yang memiliki elektabilitas berturut-turut 29,8 persen dan 20 persen. Elektabilitas keduanya disusul oleh mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dengan tingkat keterpilihan 8,5 persen. Kendati unggul jauh dibandingkan dengan Kamil, baik Anies maupun Basuki tak dipilih parpol untuk didaftarkan sebagai bakal calon gubernur.
”Parpol gagal untuk menangkap kehendak rakyat karena memilih orang lain yang sama sekali tidak terbayang oleh warga Jakarta,” kata Raziv.
Hingga saat ini, total ada tiga bakal pasangan calon yang akan berkontestasi di Pilkada Jakarta. Sebanyak dua di antaranya diusung parpol dan gabungan parpol, sedangkan satu pasangan lainnya maju lewat jalur independen.
Pasangan dimaksud antara lain Ridwan Kamil-Suswono yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus yang terdiri dari 15 parpol. Pasangan lain, Pramono Anung-Rano Karno, merupakan kader PDI Perjuangan yang diusung parpol asalnya itu plus dukungan dari Partai Hanura. Sementara pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana maju lewat jalur independen.
Menurut Raziv, kandidasi di Pilkada Jakarta jelas menunjukkan bahwa parpol tak bisa lagi menjalankan fungsi kedaulatan rakyat karena kedaulatan parpol pun terenggut oleh pihak-pihak yang lebih berkuasa ketimbang parpol. Meski argumentasi itu sering disangkal oleh elite dan pendukungnya, sulit untuk mengabaikan pengakuan kelompok elite lain yang justru mengungkapkan adanya penjegalan terhadap pencalonan tokoh-tokoh tertentu, seperti Anies.
Dalam konteks itu, terlihat pula bahwa parpol tidak berdaya dalam menghadapi kecurangan pilkada yang sudah terjadi, bahkan sebelum kompetisi dimulai, yakni dengan menciptakan hambatan bagi seseorang untuk ikut berkontestasi.
Jika kecenderungan itu tidak dilawan, diprediksi praktik demokrasi Indonesia ke depan akan semakin jauh dari harapan.
”Jadi, menurut kami, penting untuk menempatkan kotak kosong di semua daerah. Karena kalau kandidasinya benar, maka kotak kosong tidak akan laku. Tetapi, kalau kandidasi bermasalah, pemilih bakal memilik kotak kosong,” ujarnya.
Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, yang turut hadir sebagai narasumber diskusi, mengatakan, ide untuk menghadirkan kotak atau kolom kosong pada seluruh daerah yang menyelenggarakan pilkada merupakan gagasan yang wajar terjadi di tengah maraknya pilkada calon tunggal dan kecenderungan pemilihan kandidat kepala daerah yang tidak mengakomodasi pilihan warga.
Berbeda dengan pilkada sebelumnya, kemunculan calon tunggal dan kandidasi pada Pilkada 2024 pun menunjukkan kuatnya hegemoni serta sentralisasi pengambilan keputusan partai yang menyebabkan ketidakpuasan warga. Hal itu juga menunjukkan bahwa kandidasi Pilkada 2024 berlangsung secara tidak demokratis.
Selama ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menghadirkan kotak kosong pada surat suara pilkada, yakni ada pada daerah-daerah yang diikuti oleh calon tunggal. Akan tetapi, kekecewaan masyarakat terhadap pilihan calon kepala daerah yang dihadirkan parpol tidak pernah terlembagakan, terutama di daerah-daerah yang pilkadanya tidak diikuti oleh calon tunggal.
Kekecewaan masyarakat umumnya masih terekspresikan melalui ketidakhadiran ke tempat pemungutan suara (TPS) atau masuk dalam ragam kategori suara tidak sah. Akibatnya, ekspresi politik tersebut sering tak bisa dibedakan dengan apatisme. ”Keberadaan pilihan none of the above (nota) atau kotak kosong menarik untuk diperbincangkan karena ini terkait dengan ekspresi politik yang berbeda. Nota bisa melembagakan ketidaksetujuan rakyat karena penggunaan hak suara harus didasarkan pada kesetujuan (terhadap calon yang diusung partai),” kata Titi.
Menurut dia, keberadaan nota atau kotak kosong bukanlah upaya deparpolisasi. Mekanisme itu justru dapat meningkatkan kualitas pemilu karena di beberapa negara, kehadiran pilihan lain di luar kandidat yang berkontestasi itu terbukti meningkatkan partisipasi pemilih. Tak hanya itu, kotak kosong juga bisa menjadi faktor pendorong parpol untuk meningkatkan kinerja, memperkuat politik gagasan, dan menghadirkan figur-figur terbaik untuk dipilih masyarakat.
Pendidikan politik
Analis politik dan hak asasi manusia Amiruddin Al Rahab menambahkan, kritik terhadap parpol yang mewakili kepentingan rakyat harus terus dilakukan oleh masyarakat sipil. Dorongan agar ada perbaikan pelembagaan politik melalui parpol juga merupakan hal krusial. Sebab, parpol merupakan institusi yang menjadi sumber penghasil seluruh pejabat publik.
Ia menegaskan, parpol semestinya menghadirkan calon-calon kepala daerah yang benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan mewakili kepentingan pihak-pihak yang mengusungnya.
Hal itu setidaknya tergambar dari kemunculan calon tunggal di beberapa daerah yang tidak lepas dari kepentingan politik di tingkat pusat. Hubungan antara pusat dan daerah yang eksploitatif menyebabkan kehadiran calon-calon kepala daerah yang tak bergerak untuk kepentingan masyarakat di daerah.
Dalam konteks tersebut, menurut Amiruddin, gagasan untuk menghadirkan kotak kosong pada semua daerah yang menyelenggarakan pilkada merupakan ide yang baik untuk diterapkan. Akan tetapi, itu juga harus diiringi dengan pendidikan politik terhadap warga. Pemilih harus memahami, mengapa mereka harus menyatakan pendapatnya melalui kotak kosong.
”Saat ini, orang yang mau memilih kotak kosong adalah orang-orang yang memiliki kesadaran politik di atas rata-rata. Kalau yang biasa-biasa saja, tidak mungkin (mau memilih). Karena, mereka tidak tahu soal itu,” kata Amiruddin.