Siap-siap Amunisi Sengketa Pilkada sejak Dini
Pilkada bukan hanya persoalan politik. Namun, separuh rangkaian tahapan pilkada adalah persoalan hukum. Sudah siapkah?
Pilkada 2024 memang belum sampai pada tahapan pemungutan suara yang baru akan digelar serentak di 545 daerah pada 27 November mendatang. Namun, setiap bakal calon kepala daerah tetap perlu memperhatikan upaya hukum apa saja yang bisa ditempuh di Mahkamah Konstitusi, pintu terakhir yang harus dilewati bagi seorang calon kepala daerah untuk bisa mengamankan posisinya sebagai pemenang di kontestasi ini.
Apalagi, pasangan calon (paslon) kepala daerah yang kalah berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), itu tidak mudah untuk membalik keadaan di Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan rekapitulasi perkara perselisihan hasil Pilkada 2020, MK menerima permohonan sebanyak 153 perkara. Dari jumlah tersebut, hanya 14 perkara atau 9 persen perkara yang dikabulkan oleh MK.
Baca juga: MK Tegaskan Kepala Daerah Dilantik Serentak Setelah Sengketa Pilkada Tuntas
Dengan demikian, ada 67 persen atau sebanyak 104 perkara yang kandas sejak awal dan tidak masuk ke tahap pembuktian. MK menyatakan tidak dapat menerima perkara tersebut dengan alasan tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum ataupun permohonan tidak jelas/obscure. Sisanya, sebanyak 14 perkara ditolak, tujuh ditarik kembali, dan dua lainnya gugur.
Tidak mudah memang bagi pemohon ataupun kuasa hukumnya untuk dapat berperkara di MK, apalagi jika pengacara yang digunakan oleh para calon tersebut jarang atau bahkan belum pernah beracara di peradilan konstitusi tersebut. Selain itu, kebanyakan para pemohon, yakni paslon kepala daerah, tidak menyiapkan diri untuk bersengketa sejak awal.
Persoalan perang bukti
Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam acara Bimbingan Teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Tahun 2024, akhir Agustus lalu, mengungkapkan, pasangan calon dan kuasa hukumnya yang gagal saat bersengketa hasil pilkada di MK biasanya baru mempersiapkan diri setelah KPU menetapkan pasangan calon terpilih. Hal ini membuat tim hukum paslon tersebut tidak memiliki cukup waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan.
Padahal, sengketa pilkada di MK ataupun sengketa pemilihan lain adalah persoalan perang bukti. Oleh karena itu, Saldi pun menyarankan agar para advokat yang akan menjadi kuasa hukum pasangan calon harus mempersiapkannya sejak saat ini.
Pasangan calon dan kuasa hukumnya yang gagal saat bersengketa hasil pilkada di MK biasanya baru mempersiapkan diri setelah KPU menetapkan pasangan calon terpilih.
”Jadi kalau memegang perkara, (seorang advokat) mulai sekarang harus datang melobi calon itu. Supaya mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan itu. Kalau orang datang hanya setelah penetapan pasangan calon terpilih, biasanya itu lebih banyak gagalnya. Karena tidak cukup waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan,” kata lelaki asal Tanah Minang tersebut memberikan saran.
Untuk Pilkada 2024, yang akan digelar secara serentak di 545 daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota, MK sudah memiliki hitungannya sendiri. Hal itu terutama terkait dengan perkiraan jumlah perselisihan hasil pilkada yang akan berujung ke sengketa. MK memperkirakan akan ada setidaknya 324 perkara perselisihan hasil pilkada yang masuk. Prediksi jumlah perkara tersebut dilakukan dengan mengacu pada pengalaman-pengalaman pilkada sebelumnya.
Saat ini, KPU tengah melakukan penelitian berkas bakal pasangan calon yang sudah mendaftar. Sekitar 15 hari lagi atau tepatnya pada 22 September mendatang, KPU akan menetapkan pasangan calon kepala daerah yang berlaga dalam Pilkada Serentak 2024. Setelah itu, masa kampanye pun akan dimulai, yaitu sejak 25 September hingga 23 November.
Menyiapkan diri sejak dini menghadapi sengketa di MK juga sudah menjadi paradigma sejumlah kantor hukum ataupun pengacara-pengacara yang biasa berpraktik di MK. Mereka pun membenarkan bahwa persoalan hukum pilkada tak hanya soal sengketa hasil di MK yang menjadi ”babak terakhir” perjuangan paslon. Namun, ada persoalan lain yang harus dikawal bahkan sejak tahap pencalonan.
Baca juga: Kontestan Pilkada Cenderung Berspekulasi di MK
Advokat pada kantor hukum Visi Law Office, Donal Fariz mengatakan, hingga saat ini masih ada kekeliruan besar dalam cara berpikir para paslon kepala daerah yang beranggapan bahwa persiapan untuk menghadapi pilkada melulu pada aspek politik. Misalnya, membentuk tim sukses, meraih dukungan partai politik, dan juga menyiapkan logistik. Padahal, separuh dari rangkaian tahapan pilkada adalah masalah hukum.
Masalah hukum itu terbentang dalam tiga ranah, yaitu mulai dari proses administrasi, etik, maupun pidana. Tiga ranah tersebut bahkan belum mencakup sengketa hasil pemilihan di MK.
”Setengah dari persoalan pilkada ini adalah persoalan hukum sebenarnya. Tetapi, banyak calon kepala daerah tidak mempersiapkan instrumen pendampingan secara hukum sejak awal, mulai dari tahapan dan proses,” kata Donal.
Padahal, untuk membuat sebuah peristiwa pelanggaran di tiap tahapan pilkada, ada batasan (constraint) waktu yang harus dipertimbangkan agar laporan tersebut ditindaklanjuti. Yang jamak terjadi, tim paslon menemukan adanya pelanggaran. Saat hendak menjadikannya persoalan administratif, etik, ataupun pidana, mereka terbentur ketentuan masa kedaluwarsa karena masih harus mencari-cari tim/kuasa hukum terlebih dahulu.
Saat pelanggaran tersebut tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang, misalnya kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hal tersebut sulit untuk dibawa ke MK.
Baik Donal maupun Viktor mengaku, pihaknya sudah mulai mendampingi beberapa calon kepala daerah, bahkan sejak tahap pencalonan.
Ketua Perhimpunan Pengacara Konstitusi Viktor Santoso Tandiasa mengatakan, MK tidak akan menerima dalil pelanggaran yang tidak dipersoalkan saat tahapan pilkada berlangsung. Beda halnya apabila pelanggaran tersebut dilaporkan kepada Bawaslu, tetapi Bawaslu tidak menindaklanjuti persoalan tersebut, ada peluang bagi MK untuk mengambil alih penanganan persoalan tersebut.
Untuk mengantisipasi berbagai persoalan tersebut, baik Donal maupun Viktor mengaku, pihaknya sudah mulai mendampingi beberapa calon kepala daerah, bahkan sejak tahap pencalonan. ”Sudah ada beberapa yang minta (didampingi) sejak awal,” kata Donal.
Mendidik tim sukses
Selain itu, tim hukum yang mendampingi paslon dapat sejak awal mempersiapkan alat bukti yang nantinya dapat dipergunakan di MK dengan mendidik tim sukses dalam mendokumentasikan dan mengumpulkan alat bukti. Layanan ini yang kemudian ditawarkan oleh kantor hukum Visi Law Office kepada bakal calon kepala daerah.
Sementara itu, Viktor mengatakan dirinya sudah diminta salah satu kepala daerah petahana untuk mendampingi sejak masa pendaftaran calon. Sebab, ada potensi bakal calon kepala daerah dapat dicoret namanya dari pencalonan, salah satunya karena melanggar Pasal 71 Ayat (2) UU Pilkada terkait larangan melakukan mutasi pejabat aparatur sipil negara (ASN) menjelang pilkada untuk petahana.
Baca juga: Batasi Ruang Lingkup Pemeriksaan Sengketa Pilkada
Viktor juga mengaku sudah membuat legal opinion mengenai tahapan-tahapan yang berpotensi mengancam keberhasilan calon untuk memenangi pertarungan merebut hati pemilih. Misalnya, bagaimana mencegah ASN atau perangkat-perangkat daerah ”bermain” menjatuhkan petahana.
”Banyak celah hukumnya. Cuma kebanyakan mereka yang tidak menggunakan jasa hukum sejak awal sudah pede (percaya diri) menang atau termakan omongan orang-orang di lingkarannya bahwa elektabilitasnya tinggi. Mereka tidak memperhatikan celah-celah yang ada di dalam aturan-aturan itu,” ungkapnya.
Menurut Viktor, para advokat yang tergabung dalam tim hukum paslon juga dapat memberikan pandangan kepada tim sukses ataupun paslon terkait dengan proses keseluruhan pilkada secara holistik, dari awal hingga akhir. Dengan demikian, upaya itu dapat menutup ruang-ruang terjadinya potensi pelanggaran baik pidana, administrasi ataupun sengketa hasil.
Persiapan sejak Agustus
Sebagai ujung dari seluruh proses pilkada, MK sendiri sudah bersiap menghadapi jika nantinya ada ratusan permohonan yang masuk. Persiapan itu sudah dimulai sejak Agustus lalu dengan menggelar bimbingan teknis penanganan sengketa pilkada kepada advokat, KPU, Bawaslu, maupun stakeholder atau pemangku kepentingan lain.
Para advokat yang tergabung dalam tim hukum paslon juga dapat memberikan pandangan kepada tim sukses ataupun paslon terkait dengan proses keseluruhan pilkada secara holistik.
Dalam bimbingan teknis yang diselenggarakan untuk alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas dan wartawan, Saldi Isra memberikan penekanan terhadap poin-poin yang membuat permohonan sengketa pilkada dapat dikabulkan. Kunci pertama, syarat formal terpenuhi, yaitu diajukan oleh paslon kepala daerah. Menurut dia, permohonan sengketa itu tidak bisa diajukan hanya oleh salah satu pihak dari pasangan calon tersebut.
Kedua, apa yang didalilkan harus jelas. Misalnya, apabila dalil utama pemohon adalah kehilangan suara, maka harus ditentukan di mana saja suara itu hilang apakah di tempat pemungutan suara (TPS) atau rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. ”Apakah hilang ketika di TPS? Jadi, mungkin ada kesengajaan suaranya 10 dihitung delapan, atau suaranya 50 dihitung 30 (sehingga) hilang 20. Itu harus dibuktikan. Jangan mendalilkan sesuatu secara global,” kata Saldi.
Bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon tersebut akan diadu dengan bukti-bukti yang diajukan oleh KPU dan pihak terkait, yaitu paslon yang ditetapkan oleh KPU sebagai pemegang suara terbanyak atau paslon terpilih. MK juga mendengarkan Bawaslu untuk menerangkan sebenarnya apa yang terjadi dalam permasalahan ”klaim hilang suara” tersebut.
Saldi pun menerangkan tentang hierarki bukti dalam sengketa pilkada. ”Kalau dilihat hierarki bukti dalam penyelesaian sengketa pemilihan umum, yang di atas itu adalah bukti surat atau tulisan. Oleh karena itu, yang paling penting, kalau mau jadi pemain di wilayah ini, memang harus kuat-kuat. Memang harus tabah-tabah untuk mendapatkan bukti yang bisa mendukung permohonannya,” kata Saldi.
Baca juga: Petik Pelajaran dari Putusan MK soal Pilkada Yalimo
Selain itu, ia juga mengingatkan agar kuasa hukum para pihak untuk menghadirkan bukti secara rapi. Dalam sengketa, para pemohon atau pihak terkait tidak harus selalu menggunakan ahli untuk mendukung dalil atau bukti-bukti yang sudah diajukan. Keterangan ahli tidak terlalu relevan untuk menjelaskan tentang persoalan surat suara hilang. Keterangan ahli baru dibutuhkan untuk perkara-perkara sengketa yang mendalilkan persoalan substansial seperti kuota 30 persen keterwakilan perempuan tak terpenuhi.
Hal terpenting lainnya, untuk menghindari permohonan kandas di proses dismissal atau pemeriksaan persiapan administrasi, adalah permohonan yang tidak kabur. Dalam hal ini, posita atau pokok permohonannya harus memiliki korelasi dengan petitum atau apa yang dimintakan. Misalnya, pemohon mendalilkan kehilangan suara di 25 TPS di bagian posita, tetapi karena kurang teliti di bagian petitum hanya disebutkan 23 TPS, maka bisa dikategorikan permohonan kabur.
”Nah, itu terkategori permohonan kabur,” kata Saldi.
Saldi kemudian mengungkapkan, ada pula titik lemah lainnya yang sering sekali ditemukan di dalam berkas-berkas permohonan sengketa di MK. Salah satunya adalah penyakit copy paste atau asal menyalin yang dilakukan oleh kantor hukum atau advokat yang memegang lebih dari satu perkara. Misalnya, peristiwa di Jawa Barat, tetapi menggunakan data di Sumatera Barat.
”Itu pasti sudah kabur. Dan, itu banyak sekali kita temukan, bukan satu dua. Kalau kejadiannya seperti itu, Anda akan kelihatan menjadi lawyer tidak profesional,” katanya.
Ada pula titik lemah lainnya yang sering sekali ditemukan di dalam berkas-berkas permohonan sengketa di MK. Salah satunya adalah penyakit copy paste.
Penyusunan bukti juga harus dilakukan secara baik sehingga memudahkan para hakim konstitusi dalam memahami persoalan. Saldi kemudian mengungkapkan ada banyak bukti berupa rekaman video suatu kecurangan, tetapi tidak disertai narasi yang menjelaskan peristiwa di video tersebut.
”Kelemahan sebagian besar advokat yang beracara di MK, dikirimkan peristiwanya tapi tak ada narasi terhadap peristiwa itu. Jadi kalau mau memberikan keyakinan kepada hakim, rekaman video itu dibuatkan narasinya satu atau dua paragraf. Ini supaya nyambung dengan dalil yang ada di dalam permohonan. Hakim menjadi mudah memahami,” katanya.
Apalagi, di dalam video tersebut yang terjadi adalah perbincangan masyarakat dengan menggunakan bahasa daerah. ”Kalau ada peristiwa yang orang (saling) sahut-menyahut di tempat peristiwa yang direkam pakai bahasa daerah, sementara tidak ada hakim yang mengerti, itu kan jadinya tidak berguna,” kata Saldi.
Tips-tips beracara di MK sudah diberikan oleh para hakim konstitusi secara langsung. Persoalannya, apakah para paslon mampu menyiapkan bukti sedari awal untuk bisa memenangi pertarungan. Jawabannya kembali kepada setiap paslon dan advokat yang mendampinginya.