Khofifah, Luluk, Risma, dan Harapan Kebangkitan Perempuan Politik
Kehadiran tiga cagub perempuan di Jatim, Khofifah, Luluk, dan Risma, diharapkan jadi kebangkitan perempuan politik.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
Pertarungan tiga perempuan calon gubernur Jawa Timur menjadi angin segar bagi demokrasi dan keterwakilan perempuan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2024. Berangkat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir ambang batas pencalonan kepala daerah, partai politik lebih leluasa untuk mengusung calon tanpa harus berkoalisi sehingga kesempatan bagi para perempuan kader partai untuk ikut berkompetisi pun kian terbuka. Apakah kemunculan mereka menandakan menguatnya kepemimpinan perempuan sekaligus keberpihakan partai politik pada perempuan?
Kepastian bahwa Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur (Pilkada Jatim) diikuti oleh tiga kandidat perempuan muncul setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memutuskan untuk mengusung Menteri Sosial Tri Rismaharini, Kamis (29/8/2024). Pada hari terakhir pendaftaran calon kepala daerah itu pula, Risma yang berpasangan dengan KH Zahrul Azhar Asad atau Gus Han, didaftarkan sebagai cagub dan cawagub Jatim oleh PDI-P, partai asal Risma, yang bekerja sama dengan Partai Hanura.
PDI-P dan Hanura menjadi parpol terakhir yang mengumumkan kandidat yang diusung pada Pilgub Jatim. Sebelumnya, PDI-P yang dipimpin oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri itu memang pernah mewacanakan sosok Risma. Namun, tidak hanya untuk di Jatim, tetapi juga di daerah lain, misalnya, Jakarta.
Kendati sosok Risma terus dibicarakan, PDI-P tak kunjung mengambil keputusan karena belum tuntasnya lobi dengan parpol lain, salah satunya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sebelum ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah berubah, PDI-P menjajaki kemungkinan berkoalisi dengan PKB yang merupakan partai pemenang Pemilu Legislatif (Pileg) Jatim. Kedua parpol ini mewacanakan untuk mengusung calon alternatif untuk menandingi pasangan mantan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak.
”Saya kira pasangan Tri Rismaharini dan Gus Han mewakili corak kultural di Jawa Timur. Bu Risma representasi nasionalis, sedangkan Gus Han mewakili santri. Bu Risma mewakili kaum perempuan, sedangkan Gus Han mewakili anak muda. Bu Risma representasi dari figur berpengalaman panjang dalam karier jabatan publik sedangkan Gus Han mewakili intelektualitas,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI-P Jatim Said Abdullah melalui keterangan tertulis, Kamis.
Sehari sebelum PDI-P memutuskan Risma, PKB juga mengumumkan untuk pasangan kadernya di Jatim. Partai pemilik kursi terbesar di DPRD Jatim itu memasangkan dua Ketua DPP PKB yang saat ini menjadi anggota DPR, yakni Luluk Nur Hamidah dan Lukmanul Khakim sebagai cagub dan cawagub. Padahal, kedua sosok itu tak pernah ada dalam bursa pencalonan kandidat di Jatim selama beberapa bulan terakhir.
PKB memutuskan untuk mengusung Luluk pada rapat panjang yang diselenggarakan di Kantor DPP PKB, Jakarta, Selasa (27/8/2024) hingga Rabu (28/8/2024) dini hari. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar memberitahukan keputusan itu kepada Luluk di sela-sela rapat, Rabu pukul 02.30 dan sudah menyiapkan tim untuk membantu pengurusan pendaftaran.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengakui, Luluk Nur Hamidah dipilih mewakili PKB untuk menghadapi cagub lawan yang semuanya perempuan. Sekalipun ini akan menjadi kontestasi pilkada pertama bagi Luluk dan akan menghadapi dua mantan kepala daerah di Jatim, ia meyakini bahwa itu bukan masalah. Sebagai parpol pemenang Pileg 2024 di Jatim, infrastruktur partai pun akan dikerahkan secara optimal untuk memenangkan kadernya.
”Kenapa kita pilih Luluk? Pertama, karena kami melihat figur yang tampil di Jatim semuanya perempuan. Kita, Mbak Luluk ini perempuan yang lebih muda, lebih cantiklah kira-kira,” tutur Jazilul.
Baik Risma maupun Luluk merupakan respons dari parpol-parpol untuk menghadapi Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak. Tidak hanya sebagai mantan gubernur dan wakil gubernur yang masa jabatannya baru habis pada Februari lalu, pasangan ini juga didukung oleh 15 parpol.
Sebagian besar di antaranya merupakan anggota Koalisi Indonesia Maju (KIM), pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024, antara lain Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelora, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garuda, dan Partai Prima. Ditambah pula beberapa parpol di luar KIM, antara lain, Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, dan Partai Buruh.
Berbeda dengan dua kandidat lainnya, parpol-parpol tersebut sudah memberikan dukungan kepada Khofifah sejak jauh-jauh hari. Besarnya dukungan parpol kepada Khofifah sempat memunculkan spekulasi bahwa Pilgub Jatim hanya akan diikuti oleh calon tunggal.
Lebih dari dukungan koalisi besar, Khofifah juga merupakan tokoh potensial dengan elektabilitas tertinggi. Merujuk hasil survei Litbang Kompas pada Juni lalu, tingkat keterpilihannya mencapai 26,8 persen, jauh di atas Risma yang elektabilitasnya 13,6 persen. Sementara itu, Luluk belum muncul sebagai salah satu preferensi masyarakat.
Untuk menghadapi Khofifah, parpol-parpol pun tidak hanya menghadirkan kandidat perempuan. Wacana soal pemimpin yang bersih dari korupsi juga didengungkan, baik oleh PKB maupun PDI-P. Hal itu tidak terlepas dari penggeledahan kantor Gubernur Jatim, termasuk ruang kerja Khofifah, pada Desember 2022.
Titik balik
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, perubahan ambang batas pencalonan kepala daerah telah membuka ruang dan akses yang lebih luas bagi parpol untuk mengusung kader atau figur yang didukung oleh konstituen, tidak terkecuali para perempuan kader parpol di daerah-daerah. Apalagi di Jatim, para cagub yang diusung parpol pun merupakan para aktivis politik yang sudah berpengalaman sejak lama. Lebih dari itu, mereka juga bukan bagian dari dinasti politik.
Namun, ketika otoritas untuk mencalonkan perempuan kader sudah dimiliki, parpol semestinya tidak mendekati peluang itu dengan sekadar gimik ataupun pertimbangan yang tidak substansial. Contohnya, orientasi pada penampilan atau daya tarik perempuan di tengah para kandidat perempuan lainnya.
”Partai harus mendukung kehadiran kandidat perempuan di pilkada dengan politik gagasan dan program yang kuat sehingga bisa bergulir menjadi kehadiran yang membawa makna bagi upaya yang lebih besar dalam penguatan keterwakilan perempuan secara substansial,” katanya.
Apalagi di Jatim, ketiga cagub memiliki kapasitas untuk melakukan itu. Khofifah merupakan politisi senior yang tidak hanya pernah menjadi gubernur Jatim, tetapi juga menteri sosial, menteri pemberdayaan perempuan, anggota DPR, serta merupakan seorang aktivis Nahdlatul Ulama (NU) yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Muslimat NU. Adapun Risma adalah Menteri Sosial sekaligus mantan Wali Kota Surabaya yang terkenal dengan kemampuan mengubah wajah kota menjadi lebih humanis dan modern. Sementara itu, Luluk, merupakan anggota DPR sekaligus aktivis muda NU yang, antara lain, memperjuangkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta menolak pengesahan RUU Pilkada.
”Kandidat perempuan harus jadi titik balik kebangkitan perempuan politik dan gerakan keterwakilan perempuan di Indonesia. Melalui kerja-kerja kampanye dan pemenangan yang mereka lakukan, hal itu diharap menjadi contoh nyata soal kehadiran perempuan dengan pesan gagasan dan visi misi yang kuat,” ujar Titi.
Apalagi, merujuk hasil survei Litbang Kompas 20-25 Juni lalu, pemilih Jatim merupakan kelompok pemilih yang terbuka dan tidak mempersoalkan isu perempuan dalam kepemimpinan daerah. Sebanyak 70 persen responden setuju jika perempuan menjadi pemimpin daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Sikap itu disampaikan tidak hanya oleh responden perempuan (80 persen), mayoritas responden laki-laki (65 persen) pun menyatakan hal serupa.
Mengenai alasan memilih pemimpin, survei juga merekam kecenderungan para pemilih Jatim yang lebih menekankan pada alasan rasional. Rekam jejak dan karakter kepemimpinan merupakan alasan yang paling banyak disebutkan dalam memilih pemimpin, bukan soal apakah calon pemimpin itu laki-laki dan perempuan (Kompas, 29/8/2024).
Jelang kontestasi Pilgub Jatim 2024, regulasi dan kecenderungan masyarakat telah membuka ruang bagi perempuan politik untuk berkompetisi secara optimal dengan mengedepankan seluruh kapasitasnya. Berikutnya menjadi tugas parpol untuk membenahi perspektif, baik dalam mekanisme pengambilan keputusan maupun mengonsolidasikan kekuatan untuk memenangkan kandidat perempuannya.