KPU Tetapkan 8 Parpol Lolos Parlemen, PDI-P Raih Kursi DPR Terbanyak
Dengan raihan kursi DPR terbanyak, PDI-P berpeluang menguasai kembali kursi ketua DPR. Puan berpeluang ditunjuk kembali.
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum akhirnya menetapkan delapan partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sah secara nasional 4 persen untuk menempati kursi MPR/DPR. PDI Perjuangan menjadi partai politik peraih kursi terbanyak. Dengan demikian, parpol yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini berpeluang besar kembali menguasai kursi ketua DPR.
Penetapan perolehan kursi kedelapan parpol sekaligus calon anggota DPR terpilih diambil dalam Rapat Pleno KPU yang digelar di Gedung KPU, Jakarta, Minggu (25/8/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dari kedelapan parpol tersebut, PDI-P memperoleh kursi DPR terbanyak dengan jumlah raihan 110 kursi atau atau 18,97 persen dari total 580 kursi DPR. Kemudian di peringkat kedua adalah Partai Golkar dengan 102 kursi atau 17,59 persen, serta di peringkat ketiga, Partai Gerindra dengan raihan 86 kursi atau 14,83 persen. Posisi berikutnya ditempati oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memperoleh 68 kursi atau 11,72 persen, dan Partai Nasdem dengan 69 kursi atau 11,90 persen.
Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berhasil mengamankan 53 kursi atau 9,14 persen, disusul oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 48 kursi atau 8,28 persen, dan Partai Demokrat berada di peringkat ke delapan dengan perolehan total 44 kursi atau sebanyak 7,59 persen.
Ketua KPU Mochammad Afifudin mengatakan, ambang batas perolehan suara sah secara nasional Pemilu anggota DPR Tahun 2024 sebesar 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional 151.793.293, yaitu sebanyak 6.071.731,72. Dengan ambang batas itu, hanya kedelapan parpol tersebut yang bisa menembus ambang batas parlemen.
Adapun 10 parpol peserta pemilu lainnya, gagal menembusnya. Salah satunya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang biasanya selalu berhasil menembus ambang batas parlemen. Adapun sembilan parpol lainnya, Partai Buruh, Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Hanura, Partai Garuda, Partai Bulan Bintang, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Perindo, dan Partai Ummat.
Sementara itu, calon terpilih anggota DPR yang ditetapkan didasarkan pada perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan yang ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh setiap calon anggota DPR di satu daerah pemilihan.
Tidak lolos
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, terdapat sejumlah faktor yang menjelaskan alasan PDI-P masih menjadi partai pemenang pemilihan legislatif di Pemilu 2024. Sebagai catatan, PDI-P juga meraih suara dan kursi DPR terbanyak di Pemilu 2014 dan 2019. Faktor pertama, menurut dia, kepemimpinan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang kuat di internal partai.
Baca juga: Raih Suara Tertinggi, PDI-P Singgung Momen di Luar Pemerintah sebagai Oposisi
”Terdapat pula faktor ideologi kerakyatan dan image sebagai partai ‘wong cilik’ yang berbeda dengan partai lain. Faktor lainnya adalah, line up serta perfoma elektoral calon legislatif,” kata Arya.
Terkait sejumlah partai yang tidak bisa lolos ke parlemen, menurut Arya, karena tidak adanya perbaikan terhadap strategi serta taktik dan program-program partai. Kemudian segmen pemilih tidak berkembang serta isu yang diajukan partai tidak ada yang menarik bagi pemilih.
Kursi ketua DPR
Terlepas dari itu, dengan raihan kursi terbanyak yang diraih PDI-P, partai ini berpeluang kembali menguasai kursi ketua DPR, sedangkan empat wakil ketua DPR akan diperoleh Golkar, Gerindra, Nasdem, dan PKB.
Hal ini sesuai dengan susunan dan mekanisme penetapan pimpinan DPR yang diatur dalam Pasal 427D Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Susunan pimpinan DPR terdiri dari satu ketua dan empat wakil ketua yang berasal dari parpol berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. Sementara ketua DPR merupakan anggota DPR yang berasal dari parpol yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
Di periode 2019-2024, kursi ketua DPR sudah dikuasai oleh PDI-P dan partai itu menunjuk Puan Maharani, putri Megawati, untuk menempatinya. Puan pun berpeluang kembali memimpin DPR karena pada awal April lalu, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan Megawati telah menunjuk Puan untuk kembali memimpin DPR periode 2024-2029.
Pemilihan kembali Puan disebutnya berbasiskan pada kepemimpinan Puan yang dinilai baik saat memimpin DPR sejak 2019, performanya saat menjabat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan 2014-2019, dan juga kepemimpinannya di internal PDI-P.
”Sehingga berdasarkan proses penggemblengan yang dilakukan, Mbak Puan merupakan ketua DPR selanjutnya sesuai dengan arahan dari Ibu Ketua Umum, Ibu Megawati Soekarnoputri,” ujarnya.
Baca juga: Megawati Kembali Tunjuk Puan Maharani untuk Menjabat Ketua DPR
Meski demikian, penunjukan kembali Puan muncul di tengah berembusnya isu revisi UU MD3, utamanya Pasal 427D Ayat (1). Isu ini kian tersulut setelah revisi UU MD3 ternyata ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024-2029.
Hal ini sempat dibantah oleh sejumlah unsur pimpinan DPR dan anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR. Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, misalnya, menepis adanya rencana revisi UU MD3 itu. Bahkan, ia menyebut fraksi-fraksi di DPR telah bersepakat tak akan ada revisi UU MD3 untuk mengubah pasal pengisian unsur pimpinan DPR. Tak hanya itu, ia yakin Puan akan kembali ditunjuk partainya memimpin DPR.
Pertengahan Juni lalu saat isu revisi UU MD3 itu berembus, Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengingatkan agar isu itu tak direalisasikan, apalagi kursi ketua DPR lantas dialihkan ke parpol pendukung pemerintah. Kalau revisi sampai terjadi, kredibilitas pembentuk undang-undang, baik pemerintah maupun DPR, akan rusak di mata publik.
Menurut dia, kepemimpinan DPR yang dilakukan dengan utak-atik aturan justru akan mengakibatkan memburuknya kepercayaan publik. Utak-atik UU MD3 juga rentan memicu ketidakpuasan yang berujung konflik dan benturan massa. Hal itu juga bisa membuat polarisasi politik menguat dan justru bisa berdampak negatif bagi kepemimpinan pemerintahan yang baru kelak.
Oleh karena itu, semestinya pemerintah dan DPR tidak melakukan hal tersebut jika ingin punya warisan baik di mata publik. ”Itu jadi ujian, baik bagi kepemimpinan Presiden Joko Widodo maupun Prabowo Subianto sebagai calon presiden terpilih,” kata Titi.