MK Tegaskan Batas Usia Calon sejak Penetapan, Pintu Kaesang di Pilkada Kandas?
MK tegaskan titik penghitungan batas usia calon kepala daerah dilakukan sejak penetapan calon, bukan pelantikan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Mahkamah Konstitusi atau MK menegaskan penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah dilakukan sejak Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan calon, bukan sejak pelantikan calon terpilih. Penyelenggara pemilu diminta untuk mengikuti ketentuan tersebut. Sebab, apabila hal itu tidak dilakukan, hasil pemilihan berpotensi akan dinyatakan tidak sah saat sengketa hasil pilkada diajukan ke MK.
Meskipun demikian, MK menolak untuk menambahkan “makna” baru ke dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sebab, norma syarat usia calon di dalam UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) itu, sudah jelas.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (20/8/2024), Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan, MK telah melakukan pendekatan historis dan sistematis terhadap norma yang mengatur batas usia minum calon kepala daerah. Dalam pendekatan sistematis, batasan usia minimum untuk dapat diajukan sebagai calon kepala daerah ditempatkan di dalam bab yang mengatur tentang persyaratan calon dan bukan pada bab lain. Hal ini tampak pada UU No 22/2014, Perppu No 1/2014, UU No 8/2015, dan UU No 10/2016.
MK juga mempertimbangkan urutan rangkaian kegiatan atau tahapan kegiatan yang berada dalam satu kelindan, yaitu tahapan pendaftaran, penelitian persyaratan calon, dan penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Karena dalam berada dalam satu kelindan, semua yang menyangkut persyaratan harus dipenuhi seberlum dilakukan penetapan calon.
“Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, penelitian persyaratan tersebut harus dilakukan sebelum tahapan penetapan pasangan calon. Dalam hal ini, semua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No 10/2016 harus dipastikan telah terpenuhi sebelum penyelenggara, in casu KPU, menetapkan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” kata Saldi.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, tahapan pilkada berikutnya, yaitu pemungutan suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi hasil penghitungan suara, serta penetapan calon terpilih bukan merupakan tahapan yang dapat dijadikan sebagai titik atau batas untuk menilai dan menetapkan keterpenuhan syarat sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah.
“Artinya, segala persyaratan yang harus dipenuhi pada tahapan pencalonan harus tuntas ketika ditetapkan sebagai calon dan harus selesai sebelum penyelenggaraan tahapan pemilihan berikutnya,” ujar Saldi.
Tak hanya memberi penegasan titik atau batas untuk menentukan usia minimum pada proses pencalonan, MK juga mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar mengikuti pertimbangan hukum MK jika akan membuat peraturan teknis terkait Pasal 7 Ayat (2) Huruf e UU 10/2016. Sebab, pertimbangan hukum dan pemaknaan MK terhadap pasal tersebut mengikat seluruh pihak termasuk penyelenggara pemilu, kontestan pemilihan, dan semua warga negara.
“Dengan demikian, jika penyelenggara tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan mahkamah a quo, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan, calon kepala daerah dan calon wakil daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud, berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah,” tegas Saldi.
Meskipun demikian, MK menolak permohonan dua mahasiswa di Jakarta, A Fahrur Rozi dan Anthony Lee, yang meminta agar menambah frasa “dihitung sejak penetapan pasangan calon” ke dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf e UU 10/2016. Penambahan frasa menurut pemohon penting untuk menghindarkan perbedaan tafsir mengingat UU Pilkada tidak mengatur secara jelas sejak kapan penghitungan usia minimal calon tersebut dilakukan.
“Setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif berdasarkan pendekatan historis, sistematis, praktik selama ini, dan perbandingan, Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak suluh matohari, cheto welo-welo, sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan aquo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon,” kata Saldi.
Menurut Saldi, menambahkan pemaknaan baru pada Pasal 7 ayat (2) huruf e UU tersebut justru akan memposisikan norma tersebut menjadi berbeda sendiri atau anomali di antara semua norma dalam lingkup persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Apabila pada pasal tersebut ditambahkan makna seperti yang dikehendaki pemohon, norma lain yang berada dalam rumpun syarat calon berpotensi dimaknai tidak harus dipenuhi saat pendaftaran, penelitian, dan penetapan sebagai calon kepala daerah.
“Kalau kondisi demikian terjadi, pemaknaan baru dimaksud potensial menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap syarat lain dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016. Artinya, pemaknaan tersebut tidak sejalan dengan jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Saldi.
Putusan MA
Permohonan uji materi yang diajukan ke MK terkait cara penghitungan syarat usia minimal calon kepala/wakil kepala daerah ini muncul setelah putusan Mahkamah Agung pada 29 Mei lalu. Kala itu, MA menyatakan, Pasal 4 Ayat (1) Huruf d PKPU No 9/2020 bertentangan dengan UU No 10/2016 tentang Pilkada karena menafsirkan usia paling rendah 30 tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan 25 tahun bagi calon bupati/wakil bupati atau calon wali kota/wakil wali kota terhitung sejak penetapan pasangan calon.
MA mengubah cara penghitungan usia calon yang semula usia minimal dihitung sejak penetapan pasangan calon menjadi sejak pelantikan calon terpilih. Dengan putusan itu, seseorang yang belum berusia 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati/wakil bupati dan calon wali kota/wakil wali kota saat penetapan calon dilakukan KPU, bisa maju dalam pemilihan. Dengan catatan, yang bersangkutan sudah berusia 30 tahun atau 25 tahun saat dilantik.
Putusan MA tersebut menimbulkan beragam spekulasi. Salah satunya, putusan dispekulasikan sebagai "karpet merah" bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk bisa maju di Pilkada 2024. Ia dispekulasikan maju di Pilkada Jakarta atau Jawa Tengah.
Saat ini, Kaesang masih berusia 29 tahun. Ia akan genap berusia 30 tahun baru pada 25 Desember 2024. Adapun jadwal penetapan calon di Pilkada pada 22 September 2024. Jika mengacu pada PKPU No 9/ 2020, Kaesang tidak dapat maju di Pilkada karena pada September, usianya belum genap 30 tahun. Sementara jika merujuk pada putusan MA, Kaesang dapat diusung menjadi calon gubernur atau wakil gubernur karena pelantikan kepala-wakil kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 dijadwalkan pada Februari 2025.
Kini, dengan terbitnya putusan MK yang sifatnya final dan mengikat, peluang Kaesang untuk bisa maju di Pilkada Serentak 2024, November mendatang, berpotensi kembali tertutup. Pasalnya, putusan MK sama seperti aturan penghitungan syarat usia di PKPU No 9/2020.