Pencatutan Data Warga pada Pencalonan Dharma-Kun Perkuat Spekulasi Liar, Apakah Itu?
Diduga kehadiran kandidat independen agar Kamil memiliki lawan di Pilkada Jakarta ketimbang lawan kotak kosong.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencalonan pasangan kandidat Dharma Pongrekun-Kun Wardana dari jalur perseorangan di Pilkada Jakarta, yang kini diwarnai dugaan pencatutan identitas warga Jakarta untuk kepentingan pemenuhan syarat mereka, memantik beragam spekulasi liar. Spekulasi itu di antaranya dugaan pasangan dari jalur perseorangan itu sebatas menjadi calon boneka untuk menghindari kontestasi melawan kotak kosong.
Menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, pencatutan identitas berupa nomor induk kependudukan (NIK) tanpa seizin pemilik data sudah pasti salah. Namun, fenomena ini menimbulkan pertanyaan karena data warga yang digunakan sebagai bukti dukungan, dan kini diketahui data tersebut digunakan tanpa seizin pemilik data, itu bisa lolos dari verifikasi faktual Komisi Pemilihan Umum di lapangan.
”Pencatutan NIK sepihak ini justru menguatkan asumsi liar publik. Apakah calon independen betul-betul murni? Apakah (ada) permainan politik di belakangnya? Siapa yang meminta dan bagaimana itu dilakukan?” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (16/8/2024).
Perihal pencatutan data warga itu cukup ramai diperbincangkan warga di media daring, seperti di media sosial X. Salah satu akun di media sosial itu, @ayamdreampop, menuliskan kekesalan karena data KTP miliknya dicatut untuk mendukung pasangan Dharma-Kun. Akun lainnya pun ikut merespons hal serupa.
Sebelumnya, pasangan Dharma-Kun sempat dinyatakan gagal verifikasi administrasi sebanyak dua kali oleh KPU Jakarta. Akan tetapi, KPU Jakarta memberikan kesempatan bagi pasangan itu melakukan perbaikan untuk verifikasi administrasi tersebut. Seperti diberitakan Tribunnews.com, Dharma-Kun berhasil mengumpulkan data warga sebagai bukti dukungan dari warga terhadap mereka, dalam waktu tiga hari. Dari 933.040 bukti dukungan yang diunggah di aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU, 826.766 bukti dukungan dianggap memenuhi syarat.
Kemudian, pada Kamis (15/8/2024), rapat pleno KPU Jakarta menyatakan Dharma-Kun memenuhi syarat sebagai bakal calon pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
Menurut Aditya, pemenuhan syarat dukungan yang dapat dipenuhi Dharma-Kun dalam tiga hari, kesempatan yang diberikan KPU, itu saja sudah mengundang pertanyaan. Selama tiga hari, pasangan jalur perseorangan itu perlu mengumpulkan dukungan KTP sebanyak satu juta warga. ”Publik, kan, sebenarnya ragu bagaimana calon independen itu bisa mengumpulkan jumlah KTP dengan sangat cepat,” katanya.
Pencatutan NIK sepihak ini justru menguatkan asumsi liar publik. Apakah calon independen betul-betul murni? Apakah permainan politik di belakangnya? Siapa yang meminta dan bagaimana itu dilakukan?
Di sisi lain, lolosnya Dharma-Kun beriringan dengan wacana pembentukan Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus di Pilkada Jakarta. Menurut rencana, KIM plus bakal diisi sebagian besar partai politik DPRD Jakarta. Di Pilkada Jakarta, mereka akan mengusung mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Ridwan Kamil pun disebut-sebut bakal menjadi calon tunggal di Pilkada Jakarta. Hal ini disebabkan sejumlah partai, seperti Partai Keadilan Sejahtera dan Nasdem, yang sebelumnya mendukung bakal kandidat petahana Anies Baswedan, baru-baru ini menunjukkan sikap untuk mendukung Ridwan Kamil.
Biar tampak demokratis
Dengan kondisi yang demikian, Aditya menduga, kehadiran pasangan calon dari jalur perseorangan, seperti Dharma-Kun, adalah agar Ridwan Kamil memiliki lawan di Pilkada Jakarta, dibandingkan dengan melawan kotak kosong.
Aditya lantas membandingkan fenomena Pilkada Jakarta yang tengah berkembang saat ini dengan Pilkada Surakarta 2020. Saat itu, Gibran Rakabuming Raka, wakil presiden terpilih, putra sulung Presiden Joko Widodo, maju menjadi calon wali kota berpasangan dengan Teguh Prakosa. Kala itu, mereka berhadapan dengan pasangan calon dari jalur perseorangan, Bagyo Wahyono-FX Supardjo. Hasilnya, Gibran-Teguh unggul telak dengan perolehan suara 86,5 persen.
Kontestasi pilkada yang pernah terjadi di Surakarta itu, menurut Aditya, memiliki kemiripan dengan Pilkada Jakarta saat ini, yakni sebagian besar parpol yang memperoleh kursi di DPRD Jakarta mendukung Ridwan Kamil. Alih-alih memunculkan lawan dari partai politik lain, lanjutnya, akan lebih tampak demokratis ketika memunculkan calon ”settingan” dari jalur independen.
”Jadi, artinya saya ingin bilang soal ini adalah satu hal yang disebut dengan bagian dari agenda setting. Publik bisa menduga-duga. Tapi, apakah mereka terkoneksi secara sistematis dengan kerangka kesepakatan banyak aktor? Bisa jadi ya, bisa jadi enggak. Tapi ketemu di tengah jalan juga bisa jadi,” ungkapnya.
Pelanggaran serius
Ketua Perhimpunan Badan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, lewat keterangan tertulis, menyampaikan, penggunaan data KTP warga Jakarta secara ilegal menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak pribadi masyarakat. Bahkan, diduga ada kesengajaan atau kelalaian saat proses administrasi pemilu.
Pencurian data pribadi melanggar ketentuan prosedural pilkada, yakni bagian administrasi syarat KTP pendukung pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pencurian data pribadi melanggar ketentuan prosedural pilkada, yakni bagian administrasi syarat KTP pendukung pada Pasal 41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Syarat minimal dukungan calon perseorangan atau nonpartai sebesar 6,5 persen sampai 10 persen yang harus dibuktikan dengan pengumpulan KTP pendukung.
”Oleh karena itu, KPU Jakarta harus membatalkan pencalonan Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Dan, Bawaslu perlu segera menindak tegas kasus ini. Segera investigasi mendalam terhadap kecerobohan atau pelanggaran yang dilakukan oleh KPU (Jakarta),” ujarnya.