KPK dan Kejaksaan Agung Berseteru, Pemberantasan Korupsi Jadi Korban?
KPK dan Kejaksaan Agung diharapkan bersaing secara positif untuk memberantas korupsi, bukan hanya mementingkan ego.
Dua lembaga penegak hukum, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung, lagi-lagi terlibat konflik. Jika bulan lalu kedua lembaga itu saling adu argumen terkait sulitnya bekerja sama yang menyebabkan pemberantasan korupsi tidak optimal, kali ini sepuluh jaksa KPK ditarik ke Kejagung di tengah kedua lembaga itu menangani perkara korupsi yang sama, yaitu di kedua lembaga tersebut.
Pada pekan lalu, sepuluh jaksa yang bertugas di KPK ditarik kembali ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Penarikan itu terjadi tak lama setelah KPK menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada pada 26 Juli 2024 kepada tiga perusahaan, yakni PT PE, PT RII, dan PT SMYL.
Dari dugaan korupsi itu, KPK menaksir kerugian negara mencapai Rp 3,4 triliun.
Penarikan sepuluh jaksa di KPK yang diduga sebagai dampak penanganan perkara LPEI itu ditampik KPK ataupun Kejagung. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, penarikan sepuluh jaksa tersebut tidak terkait penanganan kasus LPEI yang lebih dahulu ditangani Kejagung.
Baca juga: KPK Tetapkan Tujuh Tersangka Kasus Dugaan Korupsi LPEI
”Tidak ada hubungannya dengan LPEI. Mereka ditarik karena sudah 10 tahun lebih di KPK,” ujar Alexander saat dihubungi dari Jakarta, Senin (5/8/2024) kemarin.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar pun menampik bahwa sepuluh jaksa yang diminta kembali ke Kejagung tersebut mendadak dan terkait penanganan kasus LPEI. Harli beralasan bahwa sepuluh jaksa itu ditarik kembali ke Kejagung karena masuk program penyegaran karena sudah bertugas di KPK sekitar 10-12 tahun.
”Tidak ada kaitannya dengan penanganan perkara, itu tegas,” kata Harli.
Sejauh ini, Kejagung belum menetapkan tersangka dalam kasus LPEI meski telah menaksir kerugian negara pada dugaan korupsi ini mencapai Rp 2,5 triliun. Padahal, pada pertengahan Maret lalu, tepat sehari sebelum KPK mengumumkan penyidikan dugaan korupsi di LPEI, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menyampaikan laporan kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait dengan indikasi penipuan atau penyimpangan (fraud) dalam penggunaan dana LPEI. Dalam laporannya itu, Sri Mulyani menyebutkan dana LPEI itu disalurkan ke empat perusahaan ekspor, yakni PT RII, PT SMS, PT SPV, dan PT PRS (Kompas, 19/3/2024).
Penggeledahan kantor
Dalam penyidikan terhadap dugaan korupsi pada penyaluran dana dari LPEI ini, selain menetapkan tersangka, KPK juga telah menggeledah untuk mendapatkan barang bukti. Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengungkapkan, KPK menggeledah dua rumah dan satu kantor swasta di Balikpapan, Kalimantan Timur, sejak 31 Juli sampai dengan 2 Agustus 2024 terkait penanganan LPEI.
Ada persoalan dalam kerja sama antarlembaga yang menyebabkan berbagai lini terkait pemberantasan korupsi itu tidak bisa optimal.
Dari penggeledahan tersebut, KPK menyita uang sekitar Rp 4,6 miliar, 6 kendaraan, 13 logam mulia, 9 jam tangan, 37 tas mewah, dan 100 perhiasan. KPK juga menyita barang bukti elektronik berupa laptop dan harddisk yang diduga terkait dengan perkara yang sedang disidik.
Persoalan KPK dengan kejaksaan tidak hanya terjadi kali ini. Saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Gedung Nusantara II, Jakarta, awal bulan lalu, Alexander menyatakan, pemberantasan korupsi telah gagal. Itu terlihat dari stagnasi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dalam 9 tahun terakhir.
Pada 2015, saat Alexander pertama kali menjadi pimpinan KPK, IPK Indonesia ada pada skor 34 dan naik menjadi 40 beberapa tahun setelahnya. Namun, pada 2023, indeks tersebut kembali ke skor 34.
Menurut dia, IPK yang diterbitkan Transparency International itu diukur dengan beberapa indikator yang tidak hanya menjadi tanggung jawab KPK, tetapi juga lembaga lain. Namun, ada persoalan dalam kerja sama antarlembaga yang menyebabkan berbagai lini terkait pemberantasan korupsi itu tidak bisa optimal.
Baca juga: Dugaan Korupsi Pembiayaan Ekspor, Momentum LPEI Dievaluasi
KPK sulit lakukan supervisi
Dalam raker di DPR itu, Alexander mengungkapkan, KPK kesulitan bekerja sama dengan kejaksaan dan kepolisian untuk menangani sebuah kasus bersama. Apalagi, ketika KPK dalam posisi memberikan supervisi.
Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango pun mengamini gagalnya pemberantasan korupsi terjadi dalam konteks kerja sama antaraparat penegak hukum. Hal itu pada umumnya terjadi dalam konteks supervisi KPK terhadap lembaga penegak hukum lain, apalagi jika ada oknum dari lembaga yang tengah disupervisi terlibat dalam kasus korupsi.
”Ketika kita kemarin ada nangkap, misalnya, oknum kepala kejaksaan negeri, pintu supervisi menjadi sedikit agak ini (tersendat),” katanya.
Sehari setelah Alexander mengungkap kerja sama di forum raker di DPR, Harli Siregar merespons dengan meminta Alexander melihat fakta di lapangan sehingga pernyataan yang diberikan akan lebih valid. Menurut dia, hubungan kejaksaan dan KPK berjalan baik sesuai tugas dan kewenangan masing-masing.
Apalagi, kewenangan KPK lebih besar dari kejaksaan sehingga tak beralasan apabila kejaksaan menutup pintu koordinasi dan supervisi. ”Kejaksaan terus mendukung KPK menjalankan tugas fungsinya dengan men-support tenaga jaksa yang andal dan mumpuni untuk diperbantukan di KPK,” kata Harli.
Kejaksaan juga memberikan dukungan ketika para jaksa di KPK menjalankan tugasnya di persidangan. Hal itu, antara lain, penggunaan mobil tahanan, antar-jemput tahanan KPK, serta pengamanan bagi tahanan dan para jaksa yang bersidang. Kejaksaan juga terbuka dan fasilitatif terhadap KPK dalam menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi, khususnya di daerah.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, Undang-Undang KPK menyebut bahwa ketika KPK sudah menyidik, perkara yang sama di penegak hukum lain harus berhenti.
Patuhi UU KPK
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, Undang-Undang KPK menyebut bahwa ketika KPK sudah menyidik, perkara yang sama di penegak hukum lain harus berhenti. Karena itu, ketika perkara LPEI sudah dinaikkan ke proses penyidikan, proses apa pun yang terjadi baik di kejaksaan maupun kepolisian tidak bisa lagi dilanjutkan.
”Dan, juga KPK ditegaskan di dalam UU KPK adalah koordinator pemberantasan korupsi. Dan, kerja-kerja KPK itu butuh dukungan dari penegak hukum lain, khususnya Kejagung dalam konteks penuntut umum,” kata Kurnia.
Oleh karena itu, harus ada koordinasi lebih lanjut dan dukungan dari Kejagung kepada KPK dalam penanganan kasus LPEI. Jika tidak bisa berkoordinasi dan ada ”bedol desa” penarikan jaksa yang dilakukan secara sengaja, perkara yang sedang ditangani KPK menjadi terancam.
Kasus ”bedol desa” pernah terjadi di KPK, menurut Kurnia, saat KPK menangani perkara korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Polri pada 2012 lalu. Saat itu, kepolisian menarik kembali 20 penyidiknya yang bertugas di KPK dengan alasan masa kerjanya telah habis. Satu dari 20 penyidik yang ditarik tersebut diketahui menangani kasus pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM) tersebut.
Menurut Kurnia, perkara LPEI bisa terancam penanganannya karena jaksa penuntut umum yang bisa dipekerjakan di KPK berasal dari Kejagung. Penanganan perkara juga bisa melambat karena jaksa sudah terlibat sejak proses penyidikan. Karena itu, dibutuhkan komitmen yang tegas dari Jaksa Agung terhadap proses penanganan perkara yang dilakukan KPK.
Saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (6/8/2024), Guru Besar Hukum Acara Pidana pada Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho, mengungkapkan, ketika ada tarik-menarik penanganan perkara. Idealnya, kedua lembaga berkoordinasi. ”Itulah kekurangan di era sekarang. Koordinasi antarpenegak hukum yang tidak pas sehingga seolah-olah saling bersaing,” kata Hibnu.
Hibnu pun berharap agar semua lembaga bersaing secara positif untuk memberantas korupsi. Dengan demikian, rakyat akan senang. Jangan sampai persaingan itu demi kepentingan ego semata, mengganggu pemberantasan korupsi.