Tenggat Makin Dekat, Partai Perlu Segera Tentukan Calon untuk Pilkada
Masih tingginya pemilih yang belum tetapkan pilihan ditengarai terjadi karena partai belum tentukan calon kepala daerah.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Empat bulan jelang pemilihan kepala daerah, masyarakat yang belum memutuskan pilihan calon gubernur di empat provinsi di Pulau Jawa masih relatif tinggi. Situasi itu salah satunya ditengarai terjadi lantaran masih banyak partai politik yang belum menentukan kandidat kepala daerah. Padahal, penentuan calon kepala daerah yang berlarut-larut justru akan menjadi bumerang bagi partai politik dan kandidat karena waktu sosialisasi semakin terbatas.
Keempat provinsi itu adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Partai-partai politik perlu segera menetapkan bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di empat provinsi itu agar masyarakat bisa lebih mengenal kandidat pemimpin yang akan mereka pilih dalam Pilkada 2024.
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas pada Juni 2024, persentase terbesar masyarakat yang belum menentukan pilihan untuk pilgub berada di Jateng. Setidaknya 64 persen responden di Jateng menyatakan belum menentukan pilihan calon gubernur. Disusul Jatim di posisi kedua, yakni 51 persen, kemudian Jabar (41 persen), dan DKI Jakarta (30 persen).
Hanya Provinsi Banten yang persentase responden belum menentukan pilihannya relatif kecil, yakni 7,4 persen. Adapun tokoh potensial calon gubernur Banten dengan elektabilitas tertinggi adalah Airin Rachmi Diany, yang kini telah mengantongi rekomendasi dari Partai Golkar. Meski Airin dukungan dari Golkar belum cukup maju di Pilgub Banten, Airin sudah berkampanye berkeliling provinsi paling barat Jawa itu sejak empat bulan lalu.
Sementara itu, calon penantangnya, Andra Soni-A Dimyati Natakusumah, elektabilitasnya masih di bawah 5 persen. Padahal, pasangan ini sudah mendapatkan tiket untuk maju Pilgub Banten karena telah mengantongi rekomendasi dukungan dari lima partai politik.
Pengajar Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (21/7/2024), menengarai, ada sejumlah faktor yang menyebabkan masih tingginya pemilih belum menentukan pilihannya. Pertama, pemilih menunggu kepastian parpol menentukan calonnya.
Faktor kedua, pemilih belum yakin dengan dukungan partai sebelum secara resmi mendeklarasikan calonnya. Faktor ketiga, di antara calon yang ada belum menjadi prioritas pilihannya sehingga masyarakat masih menunggu calon lain yang bisa jadi lebih memberikan harapan.
”Karena itu, partai seharusnya segera mendeklarasikan calonnya. Lambannya deklarasi menunjukkan lemahnya partai dalam fungsi kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan. Partai belum terinstitusionalisasi secara baik, masih tergantung pada sosok dan cenderung menafikan proses sistem kepartaiannya,” ujar Bakir.
Bakir mengingatkan, pengumuman penetapan calon gubernur dan wakil gubernur mendekati tenggat pendaftaran peserta pilkada justru akan menjadi bumerang, baik bagi partai maupun kandidat yang akan diusung. Sebab, parpol dan calon hanya memiliki waktu yang relatif sempit untuk menyosialisasikan diri kepada masyarakat.
”Durasi kampanye juga punya dampak terhadap tingkat elektabilitas. Ketidakpastian deklarasi calon berdampak pada kegamangan calon untuk berkampanye secara masif,” ucap Bakir.
Partai seharusnya segera mendeklarasikan calonnya. Lambannya deklarasi menunjukkan lemahnya partai dalam fungsi kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan.
Partai-partai politik yang mengusung calon dengan elektabilitas rendah, kata Bakir, membutuhkan waktu sosialisasi dan kampanye yang lebih panjang. Selain itu, figur kejutan juga tidak menjamin akan berdampak pada elektabilitas.
”Partai seperti bermain dadu yang bertumpu pada keberuntungan, bukan pada perhitungan rasional yang mencerdaskan. Partai sebagai lembaga modern, tapi digerakkan oleh pemikiran tradisional. Ini anomali,” kata Bakir.
Melihat program
Peneliti senior dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli, menambahkan, masih tingginya pemilih belum menentukan pilihannya pada pilgub bisa disebabkan beberapa kemungkinan. Pertama, figur-figur yang maju bisa jadi belum dapat meyakinkan para pemilih untuk mengatasi persoalan tiap-tiap daerah. Pemilih ingin melihat dulu program-program yang ditawarkan saat kampanye nanti.
”Jadi pilihannya tergantung pada hasil kampanye. Mereka bisa jadi akan menentukan pilihannya pada detik-detik terakhir,” tuturnya.
Kemungkinan kedua, pemilih sudah apatis terhadap pesta demokrasi lokal. Mereka kecewa terhadap hasil pilkada yang tidak banyak memberikan perubahan bagi daerahnya, baik terkait kemiskinan, pengangguran, infrastruktur, maupun pelayanan publik. Dengan kondisi itu, para pemilih kemudian menjadi masa bodoh terhadap hiruk pikuk pilkada.
Kemungkinan ketiga, kelelahan politik atau political fatigue. Sebab, pada tahun yang sama masyarakat harus mengikuti pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan dilanjut dengan pilkada serentak. Pemilih merasa lelah karena seolah tidak ada jeda untuk memikirkan hal lain terkait dengan kehidupan sehari-hari yang lebih penting daripada urusan pilkada.
”Jika kemungkinan kedua dan ketiga ini menghinggapi para pemilih tersebut, bisa berpotensi golput (golongan putih), nanti tidak akan memberikan pilihannya karena mereka kecewa dan mengalami kelelahan politik. Untuk itu, menjadi tugas berat penyelenggara untuk sosialisasi dan melakukan pendidikan politik,” ucap Lili.
Situasi ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi partai dan kandidat karena harus merespons secara baik terhadap situasi yang membuat pemilih kecewa dengan mengusung kandidat yang akan memberikan perbaikan bagi kehidupan masyarakat.
”Saya kira agar masyarakat tidak mengalami kelelahan politik, perlu dipikirkan agar penyelenggaraan pemilu tidak dilaksanakan dalam tahun yang sama, perlu ada jeda,” kata Lili.
Ia sependapat dengan Bakir bahwa pengumuman calon kepala daerah di pengujung tenggat nanti akan menjadi bumerang karena calon tidak punya waktu yang panjang untuk membangun citra yang baik kepada publik.
Lili mencontohkan Airin yang memperoleh elektabilitas tertinggi dibandingkan tokoh lain di Banten. Menurut dia, elektabilitas tinggi ini didapat Airin karena politisi Partai Golkar itu sudah lama mempersiapkan diri dan melakukan kerja politik turun ke masyarakat di hampir semua kabupaten/kota di Banten. Sementara itu, Andra-Dimyati baru dideklarasikan belakangan sehingga elektabilitasnya rendah.
”Karena itu, parpol harus segera tetapkan calon agar ada waktu untuk kerja-kerja politik, sosialisasi, dan membangun citra,” kata Lili.