Lihat Perilaku Pejabat Koruptif, Masyarakat Semakin Permisif
Skor IPAK yang dirilis BPS terus menurun. Pada 2024 nilainya 3,85; tahun 2023 sebesar 3,92; dan tahun 2022 sebesar 3,93.
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan skor Indeks Perilaku Antikorupsi atau IPAK pada 2024 menunjukkan masyarakat sudah semakin permisif terhadap perilaku korupsi. Sikap permisif itu timbul akibat banyak pejabat yang korupsi dan tata kelola pemerintahan yang buruk.
Skor IPAK yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) terus menurun selama dua tahun terakhir. Nilai IPAK Indonesia pada 2024 sebesar 3,85. Adapun skor IPAK 2023 sebesar 3,92 dan pada 2022 sebesar 3,93.
Skor IPAK berkisar skala 0 sampai 5. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi. Sebaliknya, nilai indeks semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
Melihat penurunan angka IPAK tersebut, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, masyarakat semakin permisif karena melihat perilaku pejabat yang koruptif.
”Mungkin mereka melihat kelakuan dari aparat kita, pejabat kita itu, (koruptif), kan. Jadi, masyarakat dibiarkan cari cara sendiri untuk menyelesaikan persoalannya. Kan, tidak bisa seperti itu. Jadi, harus ada ketegasan dari top manajemen, ya,” kata Alexander, Rabu (17/7/2024).
Oleh karena itu, menurut Alexander, pimpinan di setiap bidang harus baik. Pimpinan yang baik bisa menjadi langkah pertama dalam mencegah korupsi. Dengan adanya pimpinan yang baik, setiap titik lemah peluang korupsi akan diperbaiki. Sebaliknya, jika pimpinan tidak punya komitmen dalam mencegah korupsi, sebaik apa pun sistem yang dibangun akan dirusak.
Sebaik-baiknya sistem, kalau pelakunya tidak benar, sudahlah, jebol juga. Makanya, kita pilih pimpinan yang baik.
Ia menegaskan, perbaikan sistem berguna untuk meningkatkan layanan publik, transparansi, dan akuntabilitas. Namun, pada kenyataannya sistem tersebut tidak bisa menghilangkan korupsi. Sebagai contoh, e-procurement yang digunakan untuk proses pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik dan aplikasi belanja secara daring e-katalog bisa diakali.
”Sebaik-baiknya sistem, kalau pelakunya tidak benar, sudahlah, jebol juga. Makanya, kita pilih pimpinan yang baik,” kata Alexander.
Sebelumnya, Senin (15/7/2024), Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebutkan, IPAK merupakan salah satu indikator di dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional. Pada 2024, IPAK Indonesia ditargetkan pada skor 4,14.
Baca juga: Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Melorot, Istana Akan Evaluasi Langkah dan Kebijakan Antikorupsi
Kedua dimensi pembentuk IPAK, yakni persepsi dan pengalaman, sama-sama mengalami penurunan. Nilai indeks persepsi tahun 2024 sebesar 3,76 atau menurun 0,06 poin dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 3,82. Amalia mengatakan, hal itu menunjukkan bahwa semakin sedikit masyarakat yang menganggap kebiasaan perilaku korupsi sebagai sesuatu yang tidak wajar.
Indeks pengalaman pada 2024 sebesar 3,89 atau menurun 0,07 poin dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 3,96. Hal tersebut menunjukkan masyarakat yang mengalami terkait korupsi skala kecil relatif lebih banyak.
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia Boyamin Saiman mengatakan, pemerintah mendapat amanah dan tugas untuk tata kelola yang baik. KPK juga bertanggung jawab atas tata kelola yang baik karena masuk pada rumpun eksekutif. Namun, selama lebih dari empat tahun ini, KPK justru hancur-lebur yang ditunjukkan dengan citra baik lembaga antirasuah tersebut di bawah Kejaksaan Agung ataupun kepolisian.
Dari hasil survei tatap muka Litbang Kompas pada 27 Mei-2 Juni 2024, citra baik KPK berada di angka 56,1 persen. Nilai citra baik KPK menjadi yang terendah dibandingkan dengan aparat penegak hukum lainnya yang juga bekerja memberantas korupsi. Nilai citra baik Polri sebesar 73,1 persen dan kejaksaan 68,1 persen.
Baca juga: Ketika Citra Baik KPK Meningkat, tetapi Terendah di Antara Lembaga Negara
Menurut Boyamin, rakyat sudah jengkel sejak KPK dilemahkan dan dikooptasi oleh kekuasaan. Bahkan, KPK dilemahkan dari dalam dengan dimasukkannya orang-orang bermasalah, seperti bekas Ketua KPK Firli Bahuri dan mantan Wakil Ketua Lili Pintauli Siregar yang terjerat pelanggaran kode etik. Bahkan, Firli telah ditetapkan sebagai tersangka penerimaan gratifikasi oleh Polda Metro Jaya.
KPK dibiarkan timpang
Ketika pimpinan KPK menyisakan empat orang, pemerintah tidak mengisi penggantinya. KPK pun dibiarkan timpang. Itu menunjukkan amanah yang diberikan kepada pemerintah untuk membuat tata kelola yang baik, termasuk memberantas korupsi, baik dari sisi penindakan maupun pencegahan, sudah tidak ada.
Persoalan tata kelola yang buruk itu juga dapat dilihat dari kasus korupsi yang terjadi pada proyek pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pertanian, Asuransi Jiwasraya, Asabri, hingga kelangkaan minyak goreng.
Akibatnya, masyarakat menjadi jengkel dan marah sehingga malas untuk memusuhi korupsi. Apalagi, penegakan hukum terhadap korupsi hanya menjadi rutinitas. ”Tata kelola yang baik itu, sebagai bentuk awal pencegahan, tidak ada. Jadi, ya, rakyat jengkel sebenarnya. Terpaksa menelan mentah-mentah itu dari permisifnya,” kata Boyamin.
Baca juga: BPS: Masyarakat Semakin Menganggap Wajar Korupsi Kecil
Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto, faktor paling mendasar yang menyebabkan IPAK menurun adalah kelembagaan penegakan hukum yang bermasalah. Indonesia sedang mengalami problem struktur hukum yang parah dalam penegakan korupsi.
”Kalau dalam istilah hukum, kita sebut dengan struktur hukum. Siapa ini struktur hukum? Struktur hukum ini adalah KPK itu sendiri,” kata Aan.
Masyarakat memahami peristiwa tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan pimpinan KPK. Bahkan, proses penegakan hukumnya tidak tuntas yang ditunjukkan dengan sampai sekarang Firli masih bebas.
Belum lagi dengan berbagai persoalan di internal KPK lainnya, seperti pungutan liar di rumah tahanan KPK. Hal itu membuat kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang dilakukan KPK menjadi lemah.
Aan menegaskan, pemberantasan korupsi tidak hanya memerlukan kekuatan formal, tetapi juga moral. Dukungan masyarakat secara moral untuk pegawai KPK akan menjadi semangat yang tinggi dalam pemberantasan korupsi.
”Jadi, tidak cukup hanya formalitas adanya kewenangan, adanya pimpinan, adanya sarana-prasarana di KPK, tetapi mentalitas atau moralitas, kan, begitu. (Hal yang dibutuhkan adalah) membangun integritas para penegak hukum di KPK, baik pimpinan maupun pegawai KPK,” kata Aan.
Aan menjelaskan, persoalan struktur hukum merembet pada kultur hukum. Masyarakat menjadi abai dan terkesan permisif. Mereka tidak percaya penegak hukum bisa memberantas korupsi dengan baik.
Baca juga: Masyarakat Permisif terhadap Korupsi Kecil-kecilan
Oleh karena itu, saat ini harus ada perbaikan. Momentum seleksi calon pimpinan dan Dewan Pengawas KPK diharapkan bisa menghasilkan pimpinan dan pengawas yang baik serta berintegritas. Hal itu sudah terbukti ketika KPK mempunyai semangat dan mentalitas yang tinggi dalam memberantas korupsi serta berintegritas, pola pikir masyarakat bisa berubah untuk berani jujur dan melawan korupsi.