Opsi Amendemen Konstitusi Masih Ada, PAN ”Titip” Pemilihan Langsung Dipertahankan
Kendati prihatin dengan kondisi demokrasi yang memburuk, PAN tetap tidak setuju sistem pemilihan presiden diubah.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat masih berkukuh amendemen konstitusi salah satunya dilakukan untuk mengakomodasi perubahan sistem pemilu di Tanah Air. Namun, lagi-lagi usulan untuk mengubah sistem pemilu tersebut ditolak karena pemilihan presiden secara langsung merupakan amanat konstitusi. Selain itu, hal yang dibutuhkan saat ini adalah pembenahan sistem pemilu agar lebih demokratis.
Penolakan kembali terungkap dalam pertemyan Ketua MPR Bambang Soesatyo dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan di Kantor DPP PAN, Jakarta, Rabu (3/7/2024). Pertemuan itu diikuti oleh jajaran Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Fadel Muhammad, Amir Uskara, Yandri Susanto, dan Jazilul Fawaid serta sejumlah elite PAN.
Menurut Bambang Soesatyo, Zulkifli dan MPR memiliki kesamaan pandangan soal masalah demokrasi, seperti biaya politik mahal hingga keterpakuan elite pada angka-angka. Namun, perbaikan masalah itu tak bisa ditempuh lewat perubahan sistem pemilu semata.
”Memang dalam situasi hari ini kami sama-sama prihatin bahwa demokrasi kita ini memang mahal sekali. Itu yang jadi perhatian kita, tetapi bukan berarti kami mengubah pilpres kita menjadi kembali ke MPR. Itu pandangan Pak Zul,” katanya.
Perbaikan demokrasi Indonesia harus dilakukan lewat perubahan bertahap dan gradual. Ini demi mengembalikan sistem demokrasi kepada jati diri bangsa. Dengan demikian, Indonesia tak terjebak pada biaya politik mahal dan demokrasi sebatas angka-angka belaka.
Meski begitu, Bambang tetap menyinggung soal berbagai pandangan masyarakat yang berkembang saat ini. Pertama, pandangan publik yang melihat UUD 1945 saat ini—setelah amendemen keempat—sudah tersusun baik dan tidak perlu perubahan.
Jadi, kalau saya, pemilihan harus langsung rakyat, tidak boleh diubah-ubah, karena itu hasil reformasi ya, langsung.
Kedua, bangsa Indonesia memerlukan pokok-pokok haluan negara yang dahulu disebut sebagai GBHN sebagai bintang pengarah dan rencana jangka panjang berkesinambungan. ”Jadi, kelompok kedua ini menginginkan perubahan terbatas daripada UUD 1945 dengan menambah dua pasal dan dua ayat untuk menghadirkan kembali pokok-pokok haluan negara,” kata Bambang.
Ketiga, adanya desakan untuk amendemen konstitusi secara menyeluruh lewat penyempurnaan. Keempat, masukan agar Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 hasil Dekrit Presiden pada Juli 1959—transisi dari demokrasi parlementer ke terpimpin. Sementara kelima, desakan untuk menerapkan kembali UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Sebanyak dua dari lima pandangan itu menyiratkan masukan agar presiden dan wakil presiden dipilih kembali oleh MPR. Namun, Bambang dan Zulkifli Hasan memiliki kesamaan soal kebutuhan akan pokok-pokok haluan negara.
”Dari persoalan-persoalan itu tadi kami sampaikan kepada Pak Zul, Pak Zul berpandangan bahwa Indonesia butuh pokok-pokok haluan negara. Bukan begitu Pak Zul?” kata Bambang.
Zulkifli Hasan pun langsung mengiyakan sembari mengangguk. Meski begitu, amendemen konstitusi yang mengubah sistem pemilu ditentangnya habis-habisan. Pasalnya, pemilu harus dilakukan secara langsung sesuai dengan amanat reformasi.
”Jadi, kalau saya, pemilihan harus langsung rakyat, tidak boleh diubah-ubah, karena itu hasil reformasi ya, langsung,” ujarnya.