17 Mal Pelayanan Publik Terintegrasi Diresmikan, tetapi Target Idealnya 514 Mal Lagi
Tantangan utama pelaksanaan MPP adalah terkait integrasi layanan. Anggaran harusnya bukan jadi alasan pembuatan.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) meresmikan 17 Mal Pelayanan Publik (MPP) yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia, Senin (24/6/2024). Kehadiran MPP diharapkan bisa mewujudkan layanan publik yang memudahkan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) Abdullah Azwar Anas mengatakan, keberadaan pelayanan publik yang terintegrasi adalah inti dari sistem birokrasi di Indonesia. ”Puncak kesibukan birokrasi adalah layanan publik. Saya mengapresiasi kepala daerah yang berhasil mewujudkan MPP,” ujarnya, Senin ini juga.
MPP merupakan pengintegrasian Pelayanan Publik yang diberikan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, serta swasta secara terpadu pada satu tempat sebagai upaya meningkatkan kecepatan, kemudahan, jangkauan, kenyamanan, dan keamanan pelayanan.
Baca juga: Mal Pelayanan Publik Medan, Percepat Layanan dan Atasi Pungli
Hingga saat ini telah terbentuk sebanyak 191 MPP. Dengan diresmikannya 17 MPP baru, akan menambah jumlah MPP yang tersebar di Indonesia menjadi 208 MPP atau sekitar 45 persen dari total MPP yang idealnya dibangun. Di Kabupaten Bantul, misalnya, telah berdiri MPP yang letaknya bersebelahan dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). MPP ini menawarkan 80 jenis layanan dari 20 instansi terdaftar.
Adapun sebanyak 17 MPP yang baru diresmikan tersebar di Kabupaten Labuhan Batu Utara, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kampar, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Bima, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Buton, Kabupaten Kolaka, dan Kabupaten Luwu.
Puncak kesibukan birokrasi adalah layanan publik. Saya mengapresiasi kepala daerah yang berhasil mewujudkan MPP.
Diadaptasi dari ”Public Sercive Hall” di Georgia
Presiden Joko Widodo pernah menargetkan MPP terbangun di seluruh kabupaten/kota pada 2024. Artinya, akan ada sekurang-kurangnya 514 MPP di seluruh wilayah Tanah Air pada akhir periode kepemimpinannya pada 20 Oktober mendatang. Sejak dibangun percontohan MPP di DKI Jakarta, Surabaya, dan Banyuwangi pada 2017, jumlah MPP terus bertambah tiap bulan.
Presiden Joko Widodo pernah menargetkan MPP terbangun di seluruh kabupaten/kota pada 2024. Artinya, akan ada sekurang-kurangnya 514 MPP di seluruh wilayah Tanah Air pada akhir periode kepemimpinannya pada 20 Oktober mendatang.
MPP sendiri diadaptasi dari public service hall (PSH) di Georgia, sebuah negara pecahan Uni Soviet di wilayah Asia Barat. MPP semacam ”supermarket pelayanan publik” yang mulai diinisiasi pada 2011 oleh Kementerian Kehakiman Georgia. Inisiatif ini sebagai bagian dari reformasi oleh pemerintahan baru Georgia kala itu pasca-Rose Revolution 2003 di Rusia.
PSH terdiri atas berbagai kios pelayanan berkonsep one-stop services yang dipusatkan di satu tempat dan biasanya di mal atau kantor pemerintah yang strategis. Tujuannya, untuk memudahkan warga mengurus berbagai keperluan administrasi. PSH menyediakan sekitar 400 layanan administrasi. Inovasi ini meraih United Nations Public Service Award (UNPSA) pada tahun 2012. Sejauh ini, tidak kurang dari 50 negara telah melakukan kunjungan studi PSH, termasuk delegasi Indonesia pada 2017. Selanjutnya, RI-Georgia mengikat nota kesepahaman (MoU) kerja sama peningkatan untuk pelayanan publik dengan mengacu pada PSH.
Kehadiran MPP sebagai generasi ketiga dapat memayungi PTSP tanpa mematikan pelayanan yang sudah ada sebelumnya. Dengan MPP, peran PTSP justru diperluas sebagai motor penggeraknya.
Sebelumnya, generasi pertama layanan terpadu di Indonesia adalah pelayanan terpadu satu atap (PTSA). Layanan ini kemudian berevolusi menjadi pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang merupakan generasi kedua. Kehadiran MPP sebagai generasi ketiga dapat memayungi PTSP tanpa mematikan pelayanan yang sudah ada sebelumnya. Dengan MPP, peran PTSP justru diperluas sebagai motor penggeraknya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas berbincang dengan Menko Polhukam Mahfud MD saat masih menjabat (kanan) sebelum mengikuti Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (3/7/2023).
Perizinan ”online”
Lebih jauh Anas menjelaskan, pekerjaan birokrasi yang berdampak langsung untuk masyarakat menjadi komitmen pemerintah. Hal itu diwujudkan, misalnya, dengan membangun proses perizinan online di Polri. Proses perizinan yang selama ini harus dilakukan secara langsung dan memakan waktu panjang sekarang ditransformasi menjadi perizinan online.
Menurut Anas, masalah perizinan kerap menjadi kendala dalam pelaksanaan kegiatan hiburan dan pariwisata. Untuk mengurus perizinan konser musisi terkenal, seperti Tylor Swift dan Cosplay, butuh waktu lama, berbelit-belit, dan kadang tidak pasti.
Masalah perizinan kerap menjadi kendala dalam pelaksanaan kegiatan hiburan dan pariwisata. Untuk mengurus perizinan konser musisi terkenal, seperti Tylor Swift dan Cosplay, butuh waktu lama, berbelit-belit, dan kadang tidak pasti.
Padahal, kegiatan pariwisata dan hiburan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Kegiatan Piala Dunia di Qatar, misalnya, bisa menumbuhkan ekonomi daerah itu dari 1 persen menjadi 4 persen per tahun. Oleh karena itu, ia berharap dengan adanya integrasi layanan melalui perizinan online dan MPP, diharapkan bisa meningkatkan kualitas layanan publik yang berujung pada pertumbuhan ekonomi.
Masalah integrasi
Menurut Plt Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian PAN dan RB Akik Dwi Suharto Rudolfus, tantangan utama pelaksanaan MPP adalah terkait integrasi layanan. ”MPP menghadirkan layanan instansi vertikal, pemernitah daerah, BUMN, BUMD, dan swasta. Kami sudah bangun instrumen untuk membuat tata kelola lebih baik,” katanya.
Ketersediaan anggaran bukan alasan. Kalau kepala daerah punya komitmen, tanpa jorjoran, dan punya semangat menghadirkan layanan terintegrasi, saya rasa akan meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Masalah lainnya, menurut Akik, terkait komitmen pemerintah daerah. ”Biasanya daerah mengatakan punya kemampuan fiskal kurang memungkinkan. Mereka prioritas pembangunan yang lain. Kami dorong mereka membuat MPP, bukan berarti mengeluarkan uang miliaran,” ujarnya.
Baca juga: Mal Pelayanan Publik Atasi Birokrasi yang Ruwet
Akik mencontohkan, di Kabupaten Tangerang, MPP hanya menggunakan alihfungsi bangunan kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan kantor Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Kantor itu dibuat menjadi bentuk terbuka (open space) dengan pembangunan yang menelan biaya sekitar Rp 500 juta.
”Ketersediaan anggaran bukan alasan. Kalau kepala daerah punya komitmen, tanpa jorjoran, dan punya semangat menghadirkan layanan terintegrasi, saya rasa akan meningkatkan kepercayaan masyarakat,” tuturnya.
Ia juga mengatakan, ke depannya seluruh penyelenggara MPP diharapkan dapat memanfaatkan platformMPP Digital yang akan menjadi bagian dari pelayanan terintegrasi dalam Portal Pelayanan Publik.