Buru-buru Ubah Syarat Usia Calon Kepala Daerah, KPU Minta Konsultasi Tertulis kepada DPR
Permohonan KPU untuk konsultasi tertulis kepada Komisi II DPR dinilai tidak lazim dan dapat memicu kecurigaan publik.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum atau KPU mengajukan permohonan konsultasi secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung terkait cara penghitungan syarat usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Selain tidak lazim, permohonan konsultasi tertulis itu juga dapat memicu kecurigaan publik. Sebab, KPU masih memiliki cukup waktu untuk konsultasi dengan DPR karena tahapan pendaftaran pilkada baru dimulai pada akhir Agustus.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejehtera (F-PKS) Mardani Ali Sera mengungkapkan, Komisi II telah menerima surat permohonan konsultasi secara tertulis dari DPR pada Jumat (14/6/2024). Namun, hingga Selasa (18/6/2024), fraksi-fraksi di Komisi II DPR belum membahas surat konsultasi tertulis yang dilayangkan KPU tersebut. Belum ada pula pembicaraan informal di antara fraksi-fraksi.
Pada awalnya, Mardani mengira bahwa surat dari KPU merupakan surat permohonan konsultasi terkait rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun, ternyata surat tersebut berisi permohonan konsultasi tertulis terkait rancangan PKPU pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada 2024.
Konsultasi tertulis terkait rancangan PKPU tidak lazim dilakukan. Selama ini, rancangan PKPU selalu dikonsultasikan dalam sebuah rapat Komisi II dengan KPU.
Menurut Mardani, pembahasan rancangan PKPU melalui konsultasi tertulis akan sulit dijalankan. Sebab, pola pengambilan keputusan di DPR bukan kolektif kolegial. Semua anggota memiliki kesempatan yang sama untuk mendalami, mengkritisi, serta memberikan masukan dan pandangan dari rancangan PKPU pencalonan Pilkada 2024.
KPU juga harus menanggapi semua masukan dan kritik yang disampaikan anggota Komisi II DPR. Begitu pula perwakilan pemerintah. Hasil dari pembicaraan anggota Komisi II, KPU, dan juga perwakilan pemerintah akan ditetapkan sebagai kesepakatan yang mengikat.
Jika rancangan PKPU dikonsultasikan secara tertulis, hal itu sama saja membatasi partisipasi anggota Komisi II DPR. Publik juga tidak bisa ikut mengawal proses pembahasan aturan teknis di pilkada.
"Selama saya di Komisi II DPR, belum pernah ada rapat yang membahas rancangan PKPU, tetapi tidak ada KPU secara langsung, hanya berhadapan dengan surat dari KPU. Saya belum pernah merasakan rapat konsultasi seperti itu," ujar Mardani dihubungi dari Jakarta, Selasa (18/6/2024).
Berdasarkan surat yang diterima Kompas dari Komisi II DPR dan telah dikonfirmasi kepada KPU, surat konsultasi yang ditujukan kepada pimpinan Komisi II DPR itu terdiri dari 128 halaman. Surat dalam bentuk dokumen elektronik itu dibagikan salah satu pimpinan Komisi II DPR kepada anggota melalui aplikasi percakapan WhatsApp.
Dalam surat itu disebutkan, KPU akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 yang terbit pada 29 Mei, atau dua pekan setelah rapat konsultasi rancangan PKPU tentang Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. KPU akan mencantumkan ketentuan baru dalam Pasal 15, calon gubernur dan wakil gubernur berusia minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan calon terpilih serta calon bupati dan wakil bupati; calon walikota dan wakil walikota berusia paling sedikit 25 tahun sejak pelantikan kandidat terpilih. Sebelumnya, syarat usia minimal dihitung sejak penetapan calon peserta pilkada.
Menurut Mardani, konsultasi sebaiknya dilakukan secara langsung dalam forum rapat dengar pendapat seperti pada pembahasan rancangan PKPU pada umumnya. Dengan demikian, proses pembahasan lebih terbuka dan masing-masing anggota dapat memberikan tanggapannya.
Selama saya di Komisi II DPR, belum pernah ada rapat yang membahas rancangan PKPU, tetapi tidak ada KPU secara langsung, hanya berhadapan dengan surat dari KPU. Saya belum pernah merasakan rapat konsultasi seperti itu
Terlebih, putusan MA terkait syarat usia calon kepala daerah menjadi bahan pembicaraan publik. Sebagian pihak ada yang pro dan kontra terhadap implementasi putusan tersebut.
Di sisi lain, penerapan putusan MA juga mengakibatkan adanya perlakuan berbeda kepada bakal calon kepala daerah dari jalur perseorangan dengan jalur partai politik. Aturan yang akan direvisi tidak akan bisa digunakan oleh bakal pasangan calon dari jalur perseorangan karena sudah memasuki tahapan verifikasi administrasi.
Apalagi ada perlakuan yang berbeda dari KPU terhadap putusan MA lainnya. Saat putusan mengenai keterwakilan perempuan 30 persen dalam daftar calon tetap, KPU tidak menerapkannya. Namun untuk aturan pencalonan kepala daerah, KPU akan mengimplementasikan dengan terlebih dahulu meminta konsultasi secara tertulis.
"Aturan ini rentan dipermasalahkan di Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak memberikan keadilan kepada seluruh kandidat. Maka lebih baik pembahasannya mengikuti proses konsultasi secara langsung seperti pada umumnya," tutur Mardani.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, menilai, konsultasi secara tertulis untuk menindaklanjuti putusan MA merupakan hal yang tidak lazim. Sebab selama ini, KPU selalu meminta konsultasi dilakukan secara langsung melalui forum rapat bersama pembentuk undang-undang.
“Kalau konsultasi tertulis, tentu akan dipertanyakan oleh masyarakat karena tahapan pendaftaran masih cukup lama. Sikap semacam itu justru bisa menimbulkan kecurigaan dari masyarakat,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia pun meminta KPU segera bersurat untuk rapat konsultasi. Masih ada waktu sekitar dua bulan sebelum tahap pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah dimulai. Bahkanpembahasannya kemungkinan bisa selesai dalam sekali rapat karena poin yang akan direvisi hanya satu pasal saja.
“Konsultasi seharusnya melalui RDP karena namanya juga konsultasi, harus berhadap-hadapan, ada penjelasan, kronologis, dan tanya-jawab,” katanya.
Minta jawaban tertulis
Sementara itu, anggota KPU, Idham Holik, berharap, pembentuk undang-undang segera memberikan jawaban terhadap konsultasi tertulis yang sudah disampaikan. Sebab pada awal Juli mendatang, pihaknya mengagendakan sosialisasi pencalonan kepala daerah. Oleh karenanya, rancangan PKPU Pencalonan Kepala Daerah perlu segera diundangkan.
KPU menghormati warga negara yang saat ini mengajukan uji materi terkait syarat usia ke Mahkamah Konstitusi. Jika nantinya putusan MK berbeda dengan putusan MA, KPU akan melaksanakan karena putusannya bersifat final dan mengikat.
Secara terpisah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menuturkan, konsultasi tertulis menunjukkan KPU tidak konsisten dalam merevisi PKPU. Dahulu saat aturan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden berubah, KPU tetap meminta rapat konsultasi secara langsung dengan pembentuk undang-undang. Padahal jeda waktu antara putusan MK dengan masa pendaftaran hanya tiga hari.
Sekarang ketika jeda waktu putusan MA dengan masa pendaftaran bakal calon kepala daerah masih tersisa tiga bulan, KPU justru tidak segera meminta konsultasi. KPU bahkan hanya melakukan konsultasi secara tertulis untuk merevisi satu pasal tersebut. Hal ini pun bisa memicu kecurigaan dan spekulasi terhadap kepentingan politik di balik revisi aturan teknis itu.
“Artinya, spesial sekali putusan soal syarat usia calon kepala daerah, dalam hal ini diperlakukan secara khusus oleh KPU. KPU berani dan mau melakukan konsultasi secara tertulis. Artinya jangan -jangan memang sudah ada sinyal juga dari DPR,” kata Fadli.
Di sisi lain, ia menilai situasi tahapan pencalonan kepala daerah sangat tidak ideal. Sebab salah satu unsur terpenting dari proses pelaksanaan pilkada yang demokratis, yaitu proses pencalonan masih mendapatkan ketidakpastian di tengah tahapan yang sudah berjalan. Bahkan sudah ada bakal calon yang mendaftar dari jalur perseorangan.
Menurut Fadli, MK bisa memberikan kepastian hukum di tengah situasi seperti ini. MK perlu menyidangkan uji materi pencalonan kepala daerah melalui sidang cepat. Dengan demikian, putusan bisa diimplementasikan pada Pilkada 2024 sehingga memberikan kepastian hukum kepada seluruh pihak. Terlebih, putusan MK terkait pengujian undang-undang mesti ditindaklanjuti dengan merevisi PKPU.
“Kalaupun ada sosialisasi PKPU pada awal Juli, tidak masalah. Janganlah sosialisasi dijadikan dalih yang bisa menghambat pelaksanaan putusan MK. Sebab soal kepastian hukum dan konstitusionalitas harus lebih diutamakan,” tutur Fadli.