Pemungutan Suara Ulang di Gorontalo Beri Angin Segar Keterwakilan Perempuan
Kebijakan kuota 30 persen caleg perempuan sering kali dianggap sebagai beban administratif.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemungutan suara ulang untuk pengisian calon anggota DPRD Provinsi Gorontalo, khususnya di Daerah Pemilihan Gorontalo 6, memberikan angin segar terhadap keterwakilan perempuan dalam parlemen. Namun, pemungutan suara ulang juga memunculkan kerawanan hasil pemilu dan potensi konflik.
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemungutan suara ulang untuk pengisian calon anggota DPRD Provinsi Gorontalo. Putusan itu menunjukkan MK berjalan pada jalur konstitusi yang benar karena memastikan penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
Putusan MK tersebut dinilai memberikan harapan terhadap keterwakilan perempuan dalam parlemen. Putusan MK juga menjadi teguran keras bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar tidak membuat regulasi baru yang bertentangan undang-undang. ”KPU tidak boleh main-main dalam membuat aturan demi kepentingan partai politik,” kata Hurriyah di Jakarta, Sabtu (8/6/2024).
Di sisi lain, pemungutan suara ulang mengindikasikan adanya kecurangan dan kelalaian dalam pemilu, dari yang sifatnya kesalahan administrasi hingga manipulasi. ”Ada tidaknya pemungutan suara ulang menentukan seberapa berkualitas dan berintegritasnya penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.
Partai tidak punya perspektif yang kuat bahwa kehadiran perempuan dalam pencalonan dan lembaga politik itu substansial dalam demokrasi.
Menurut Hurriyah, semakin banyak pemungutan suara ulang, akan semakin banyak potensi konflik dan gesekan di tengah masyarakat. Pemungutan suara ulang juga memengaruhi penilaian masyarakat mengenai kualitas pemilu yang berintegritas. Selain itu, legitimasi hasil pemilu juga menjadi risiko.
”Pertanyaannya, apakah hasil PSU (pemungutan suara ulang) nantinya diterima dan diakui oleh semua peserta pemilu? Kalau ada peserta pemilu dari partai politik yang suaranya berkurang, mereka akan merasa dirugikan dan bisa menolak hasilnya,” kata Hurriyah.
Apalagi, partai politik mempunyai kecenderungan untuk mobilisasi warga. ”Kalau ada partai tidak terima atau merasa dirugikan karena suara berkurang, mereka akan memobilisasi warga untuk menekan penyelenggara pemilu,” lanjutnya.
Kuota 30 persen caleg perempuan
Pada Kamis (6/6/2024), MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan perolehan suara sejumlah partai politik yang tidak memenuhi syarat kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan.
Empat partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi kuota perempuan minimal 30 persen dalam daftar calon anggota DPRD-nya, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan Partai Demokrat, diberi kesempatan untuk memperbaiki daftar calegnya.
MK memerintahkan KPU Provinsi Gorontalo mencoret kepesertaan parpol yang tidak mampu memenuhi syarat kuota 30 persen caleg perempuan dalam pemilihan anggota DPRD Gorontalo.
Menurut Hurriyah, persoalan utama dalam pemenuhan kuota 30 persen caleg perempuan ada pada cara pandang dan kemauan parpol dalam melaksanakan aturan itu. ”Partai tidak punya perspektif yang kuat bahwa kehadiran perempuan dalam pencalonan dan lembaga politik itu substansial dalam demokrasi,” ucapnya.
Ia menjelaskan, ada cara pandang bahwa kebijakan kuota 30 persen caleg perempuan sering kali dianggap sebagai beban administratif. Indikasi itu terlihat dari penempatan nomor urut caleg perempuan yang berada pada posisi buncit. Padahal, nomor urut sangat menentukan keterpilihan caleg dalam parlemen.
”Kalaupun ada perempuan yang mempunyai nomor urut 1, biasanya caleg perempuan itu punya hubungan kekerabatan atau dinasti politik dengan elite partai lokal, punya popularitas tinggi, serta sumber daya ekonomi untuk membiayai kampanye,” paparnya.
MK memerintahkan digelarnya pemungutan suara ulang untuk pengisian calon anggota DPRD Provinsi Gorontalo, khususnya di Daerah Pemilihan Gorontalo 6 yang mencakup Kabupaten Boalemo dan Pahuwato. Menurut MK, hasil perolehan suara setelah pemungutan suara ulang harus ditetapkan dalam waktu 45 hari sejak putusan MK dibacakan, atau 45 hari sejak 6 Juni.
Menanggapi putusan MK, Komisi Pemilihan Umum menyatakan akan menindaklanjuti putusan tersebut. ”Putusan MK atas PHPU (perselisihan hasil pemilihan umum) pileg (pemilihan anggota legislatif) bersifat final dan mengikat. KPU RI akan tindak lanjuti sesuai amar putusan dalam putusan MK dari perkara yang dimaksud,” kata komisioner KPU, Idham Holik.