Berdalih Selamatkan Demokrasi, MPR Usulkan Perubahan Sistem Pemilu
MPR menilai demokrasi yang telah menyimpang perlu diperbaiki dengan mengubah kembali sistem pemilu.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR bertekad untuk menata kembali sistem politik serta memperbaiki sistem pemilu melalui amendemen konstitusi. Praktik demokrasi yang dinilai telah menyimpang perlu diperbaiki dengan mengembalikan pemilu langsung ke pemilihan tidak langsung. Namun, amendemen konstitusi tidak bisa lagi dibahas oleh MPR periode 2019-2024 karena masa jabatan lembaga ini tinggal empat bulan lagi.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, MPR sudah menyiapkan segala kebutuhan amendemen konstitusi, termasuk aturan peralihan, prosedur operasi, dan lainnya. Salah satu yang diusulkan dalam perubahan UUD 1945 itu adalah sistem pemilu.
Menurut Bambang, wacana perubahan sistem pemilu diusulkan berdasarkan masukan dari masyarakat, negarawan, hingga akademisi yang prihatin terhadap bobroknya demokrasi. Demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi malah tersingkir oleh keberadaan politik uang.
”Apakah nanti kita kembali ke sistem yang lama, dengan pemilihan kepala daerah di DPRD, presiden (dipilih) di MPR, sangat bergantung dinamika ke depan. Tapi, itulah semangat para pendiri bangsa yang tercantum di sila keempat pancasila, musyawarah mufakat,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Hari Rabu ini, Bambang Soesatyo beserta jajaran Wakil Ketua MPR lainnya, seperti Ahmad Basarah, Fadel Muhammad, Hidayat Nur Wahid, dan Amir Uskara, bertemu dengan Ketua MPR 1999-2004 Amien Rais. Pertemuan itu merupakan bagian dari rangkaian MPR untuk meminta masukan mengenai upaya amendemen UUD 1945.
Sejauh ini, pimpinan MPR sudah menemui Wakil Presiden ke-6 Try Sutrisno, Wakil Presiden ke-11 Boediono, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, dan Ketua MPR 2013-2014 Sidarto Danusubroto. Menurut rencana, MPR bakal menemui pimpinan partai politik lainnya, mantan presiden, Presiden Joko Widodo, hingga presiden terpilih, Prabowo Subianto.
Amendemen konstitusi, lanjut Bambang, tidak dilakukan untuk pasal per pasal, tetapi menyeluruh. Namun, amendemen tak bisa dibahas oleh MPR periode 2019-2024. Hal ini mengingat ada ketentuan, amendemen konstitusi dapat dibahas selambat-lambatnya enam bulan sebelum masa jabatan MPR berakhir. Sementara itu, masa jabatan MPR periode ini akan berakhir pada awal Oktober, atau empat bulan lagi.
Apakah nanti kita kembali ke sistem yang lama, dengan pemilihan kepala daerah di DPRD, presiden (dipilih) di MPR, sangat bergantung dinamika ke depan. Tapi, itulah semangat para pendiri bangsa yang tercantum di sila keempat pancasila, musyawarah mufakat.
Dengan demikian, lanjut Bambang, amendemen UUD 1945 baru bisa diusulkan oleh MPR periode 2024-2029. Politikus Partai Golkar itu pun mengaku tak terlalu khawatir terhadap penolakan karena pembahasan amendemen konstitusi bergantung pada pimpinan partai politik.
Wacana amandemen konstitusi setidaknya muncul sejak 2018, tetapi tak pernah terwujud hingga sekarang.
”Tergantung, ya, pokoknya intinya kami kembalikan ke pimpinan partai politik, ya nanti ke depan mungkin sembilan atau delapan (partai), plus DPD. Saya yakin dan percaya, mereka semua merasakan apa yang menjadi kekhawatiran kami hari ini, mereka mengalami pemilu kemarin sangat brutal. Yang sangat mahal transaksional yang tidak masuk di akal,” katanya.
Saat ditanya soal hilangnya kedaulatan rakyat akibat pemilu tak langsung, Bambang mengungkapkan, hal tersebut sudah diwakilkan oleh anggota DPR, DPRD, dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat. ”Kedaulatan rakyat sebagaimana pendiri bangsa sudah diwakilkan dengan para wakil yang dipilih oleh rakyat,” ucapnya.
Di sisi lain, amendemen UUD 1945 sudah berlangsung sebanyak empat kali. Pertama saat Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999, kedua pada Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000, ketiga pada Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001, dan keempat pada Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002. Semuanya terjadi saat Amien Rais menjabat Ketua MPR.
Lembaga tertinggi
Amien Rais, dalam kesempatan yang sama, mengaku tak masalah apabila sistem pemilu kembali seperti masa lalu, yakni ketika MPR merupakan lembaga tertinggi negara. UUD 1945 saat ini dinilai tak lagi relevan dengan zaman karena politik uang sangat merusak demokrasi.
”Waktu saya Ketua MPR melakukan amendemen empat tahapan itu, sesuai konteks kepentingan waktu itu. Jadi, zaman itu bergerak, kita (sekarang masih) hidup dalam sebuah sejarah,” katanya.
Ia pun menceritakan pelucutan wewenang MPR saat itu—ketika bisa memilih presiden dan wakil presiden—karena kenaifan masa muda. Pertimbangannya adalah kemustahilan menyogok 270-an juta masyarakat dengan uang. Namun, saat ini hal itu sangat mungkin dilakukan.
Dengan demikian, pengembalian marwah MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi relevan lagi mengingat beragam masalah yang menerpa bangsa. Ia pun bercerita, di masa lalu, Presiden tak bisa seenaknya karena masih ada Ketua MPR yang mengawal kepemimpinannya. ”Kalau sekarang, (Ketua MPR) kan gak digubris ya (sama Presiden),” jelasnya.
Alasan lainnya, ada seseorang yang mencaplok proses demokrasi. Seseorang itu mengambil alih peran wakil rakyat, lembaga-lembaga tinggi, dan semua pihak sekadar mengiyakan. ”Ingat ya, merusak itu lebih mudah, untuk membangun itu lebih berat, jadi orang itu, saya lupa namanya itu, sudah merusak demokrasi ini,” tegasnya.