DPR memang harus merevisi UU Kementerian Negara sesuai dengan Putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi DPR membahas revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi pada 2011. Pembahasan turut membuka peluang terhadap penambahan jumlah kementerian sesuai kebutuhan Presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Adapun UU Kementerian Negara tidak ada dalam daftar 43 rancangan undang-undang (RUU) yang masih berada dalam pembicaraan tingkat I, prioritas kerja DPR pada dua masa sidang terakhir sebelum Oktober 2024. Selain itu, UU Kementerian Negara juga tidak ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
Meski begitu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas menjelaskan, pembahasan UU Kementerian Negara masuk dalam kategori kumulatif terbuka. Urgensinya adalah Putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 yang menghapus ketentuan penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara.
”Penjelasan Pasal 10 (UU Kementerian Negara) bahwa wakil menteri itu harus dari golongan karier, kan, itu putusan MK menghapus ketentuan itu, sehingga itu yang kami hapus. Kemudian memang ada menyangkut soal materi lain yang menyangkut soal bagaimana kemudian efektivitas dari pemerintahan yang akan datang itu bisa berjalan lebih efektif,” ujarnya seusai rapat perdana Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Selasa (14/5/2024).
Baleg DPR mengusulkan Pasal 15 UU Kementerian Negara berubah dari ”Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34 (tiga puluh empat)” menjadi ”Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 ditetapkan sesuai dengan kebutuhan Presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan”.
Lewat perubahan diksi tersebut, Baleg DPR membuka ruang untuk penambahan atau pengurangan jumlah kementerian. Supratman menyerahkan keputusan itu kepada masing-masing fraksi partai politik di parlemen untuk setuju ataupun tidak.
Penjelasan Pasal 10 (UU Kementerian Negara) bahwa wakil menteri itu harus dari golongan karier, kan, itu putusan MK menghapus ketentuan itu, sehingga itu yang kami hapus.
”Apakah akan menambah atau mengurangi jumlah kementerian prinsipnya adalah sebagai negara dengan sistem presidensial, maka tentu presidenlah yang lebih tahu baik dari kebutuhan nomenklatur kementerian maupun jumlahnya,” katanya.
Pembahasan revisi UU Kementerian Negara oleh Baleg DPR turut dipertanyakan dan dikritik oleh sejumlah anggotanya. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Guspardi Gaus, yang baru duduk sebagai legislator pada 2019, mempertanyakan perihal rentang waktu putusan MK dengan pembahasan oleh Baleg.
”(Hal) Yang ingin saya tanyakan dan ini tentu akan menjadi perdebatan pula di publik nantinya, kenapa sejak 2011 itu tidak ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah bersama DPR karena sudah ada amar putusan MK? Kenapa kita abai?” ujar Guspardi saat rapat Baleg DPR.
Guspardi meminta jawaban agar polemik rentang waktu pembahasan terang benderang. Sebab, pembahasan saat ini cenderung terkesan sarat akan kepentingan pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto mendatang. Apalagi, revisi tersebut berkaitan dengan isu penambahan dari 34 menjadi 40 kementerian.
Sementara itu, anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, tak mempermasalahkan waktu ataupun konteks pembahasan jumlah kementerian bergantung pada kebutuhan presiden. Ini sesuai dengan sistem presidensial yang ditetapkan Indonesia.
Menambah atau mengurangi jumlah kementerian prinsipnya adalah sebagai negara dengan sistem presidensial, maka tentu presidenlah yang lebih tahu baik dari kebutuhan nomenklatur kementerian maupun jumlahnya.
Meski demikian, lanjutnya, dalam reformasi birokrasi berlaku rumus miskin struktur, tetapi kaya fungsi. Artinya, jumlah struktur pemerintahan hanya perlu sedikit, tetapi dengan fungsi yang banyak.
”Reformasi birokrasi itu selalu berlaku rumus miskin struktur, kaya fungsi. Jumlah strukturnya tidak banyak, tapi fungsinya banyak. Dan, ketika punya struktur yang ramping, tetapi fungsinya banyak ini akan memudahkan koordinasi, sinergi, kolaborasi, dan birokrasi yang menjadi ramping,” jelas Mardani.
Merespons rentang waktu pembahasan yang butuh waktu belasan tahun, Supratman menyebut Baleg DPR memiliki banyak aturan yang harus dibahas. Pembahasan revisi UU Kementerian Negara yang beriringan dengan isu penggemukan kabinet Prabowo dianggap sebagai kebetulan saja.
”Bisa saja (waktunya) kebetulan soal itu. (Hal) Yang jelas, semua undang-undang hasil putusan MK, Baleg DPR berusaha sesuaikan dengan MK,” ucap Supratman.
Baleg DPR ingin pembahasan revisi UU Kementerian Negara bisa berlangsung cepat. Untuk itu, Rabu (15/5/2024), panitia kerja (panja) Baleg DPR bakal mulai rapat untuk membahas lebih lanjut.
Persetujuan untuk dibawa ke sidang paripurna tergantung dari pandangan fraksi. Selain itu, pandangan pemerintah—khususnya Presiden Joko Widodo—juga berpengaruh penting terhadap aturan tersebut.