Meski Belum Dibicarakan, Revisi UU untuk Tambah Kementerian Diyakini Bisa Dibahas
Agar bisa dibahas, rancangan perubahan UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara harus masuk Prolegnas prioritas.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2020-2024 dan belum ada tanda-tanda bakal dibahas di DPR periode 2019-2024, tak tertutup kemungkinan RUU tersebut dibahas pada masa jabatan DPR sekarang. Asalkan, pemerintah segera memasukkan draf RUU beserta daftar inventarisasi masalahnya. Pembahasan RUU tersebut diyakini akan berlangsung dengan cepat.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, saat dihubungi di Jakarta, Senin (6/5/2024), mengatakan, RUU yang ingin dibahas di DPR tidak cukup hanya masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024. RUU tersebut harus dimasukkan pula ke Prolegnas prioritas yang sifatnya jangka pendek.
Ia mengakui, hingga saat ini di Baleg belum ada pembicaraan untuk membahas RUU Kementerian Negara. Namun, hal itu tidak lantas menutup ruang pembahasan RUU tersebut. Bisa saja, RUU itu tetap dibahas dalam waktu singkat di sisa masa sidang hingga akhir masa jabatan periode DPR 2019-2024 ini.
Gagasan membentuk 41 kementerian dan lembaga itu adalah ide baru yang disampaikan oleh Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih.
”Tidak ada yang tidak mungkin (di DPR). Tetapi, kan, harus ada inisiatornya. Nah, karena ini menyangkut kepentingan-kepentingan kabinet, tentu yang paling tepat itu adalah menjadi inisiatif pemerintah kalau memang (revisi UU Kementerian Negara) itu ada. Sebab, pemerintahlah yang punya kepentingan dan yang tahu apa yang diinginkan dalam rencana lima tahunan ini,” ujar Firman.
Sebelumnya muncul usulan dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) bahwa kementerian idealnya berjumlah 41. Masih banyaknya urusan pemerintahan dalam UUD 1945 yang belum terwadahi di dalam kementerian menjadi pertimbangan APHTN-HAN mengusulkan penambahan tersebut.
Belakangan, salah satu kader Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, menyebut, gagasan membentuk 41 kementerian dan lembaga itu adalah ide baru yang disampaikan oleh Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih.
Matangkan perencanaan
Firman melanjutkan, bagi Partai Golkar, jika pemerintah akhirnya ingin merevisi UU Kementerian Negara, hal itu harus didasari perencanaan yang matang. Artinya, jika jumlah kementerian ingin ditambah, target dan sasaran yang ingin dituju juga harus jelas.
Saya tidak perlu menyimpulkan bahwa (penambahan kementerian ini demi kepentingan) akomodatif politik atau tidak. Politik adalah kepentingan.
”Soal besar atau kecil, ramping atau tidak ramping, itu adalah persoalan lain. Tetapi, yang penting itu, target, sasaran, dan output apa yang mau dicapai dengan kementerian yang ditambah,” ucap Firman.
Selain itu, rencana penambahan kementerian ini juga harus dilihat dalam ide besar mempermudah tata kelola pemerintahan. Jangan sampai penambahan kementerian nanti justru menambah alur birokrasi dalam tata kelola pemerintahan.
”Saya tidak perlu menyimpulkan bahwa (penambahan kementerian ini demi kepentingan) akomodatif politik atau tidak. Politik adalah kepentingan. Tetapi, kepentingan itu harus mengarah ke kepentingan yang lebih besar untuk kemakmuran rakyat dan pembangunan yang lebih baik. Kalau tidak, tidak ada gunanya. Jadi, ini harus menjadi pertimbangan, tidak hanya sekadar merevisi UU dan menambah kementerian,” tegas Firman.
Kalau mau mengubah UU itu, harus jelas visi-misi presiden, arahnya ke mana, targetnya seperti apa, output seperti apa selama lima tahun.
Jika melihat kementerian dan lembaga yang ada sekarang, menurut Firman, justru ada banyak yang perlu disederhanakan. Misalnya, Badan Pangan Nasional nantinya digabungkan dengan Bulog sehingga menjadi Menteri Pangan dan Logistik. ”Jadi, tidak perlu lagi ada menteri yang ngurus makan siang. Semua orientasi di sana saja,” katanya.
Program makan siang gratis merupakan salah satu program andalan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam kampanye Pemilihan Presiden 2024. Program makan siang gratis ini menjadi salah satu program 100 hari kerja Prabowo-Gibran setelah dilantik.
Selanjutnya, pengurusan desa tidak perlu sampai diambil oleh dua kementerian seperti sekarang, yakni Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Cukup ditarik ke salah satu kementerian saja agar tidak tumpang tindih.
Artinya, miskin struktur, kaya fungsi. Struktur ramping, tetapi perannya bisa optimal.
Lalu, untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bisa saja kementerian itu nanti dipisah, yakni ada kementerian yang mengurusi masalah kehutanan dan ada pula yang mengurusi lingkungan hidup.
”Jadi, kalau mau mengubah UU itu, harus jelas visi-misi presiden, arahnya ke mana, targetnya seperti apa, outputseperti apa selama lima tahun. Jangan sampai kementerian yang begitu menggelembung malah nanti sibuk sendiri karena bikin organisasi baru di kementerian baru tidak mudah. Jangan sampai masa pemerintahan lima tahun, 1-2 tahun hanya mengurusi penambahan struktur organisasi pemerintahan. Kita akan kehilangan waktu,” kata Firman.
Sulit bersinergi
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, membenarkan Firman bahwa sejauh ini belum ada tanda-tanda pembahasan RUU Kementerian Negara di DPR. Namun, terhadap wacana tersebut, ia mengingatkan bahwa ke depan sebaiknya lebih mengedepankan reformasi birokrasi.
”Artinya, miskin struktur, kaya fungsi. Struktur ramping, tetapi perannya bisa optimal,” ujar Mardani.
Fraksi PKS juga belum membahas detail, baik opsi penambahan kementerian maupun opsi nomenklatur kementerian. Terlepas dari itu, menurut Mardani, kedua opsi tersebut pasti memiliki pro dan kontra.
”Kian banyak kementerian, kian sulit koordinasi dan sinergi,” tegasnya.