Politisasi Birokrasi Penyebab Kasus Ketidaknetralan ASN Meningkat
Tuntutan agar ASN netral bertujuan supaya kerja pemerintah dalam melayani publik bisa tercapai dengan optimal.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Netralitas masih menjadi persoalan serius bagi aparatur sipil negara, terutama saat pemilihan kepala daerah. Modus politisasi birokrasi akan semakin rentan terjadi pada masa Pilkada 2024. Bahkan, Komisi Aparatur Sipil Negara atau KASN memprediksi akan ada lonjakan kasus ketidaknetralan ASN mendekati pemungutan suara Pilkada 2024.
Berdasarkan data KASN, per 2 April terdapat 481 ASN yang dilaporkan melanggar netralitas pemilu. Sebanyak 264 ASN terbukti melanggar dan dijatuhi sanksi, sedangkan 181 ASN ditindaklanjuti oleh pejabat pembina kepegawaian dengan sanksi.
Ketua KASN Agus Pramusinto dalam webinar bertema ”Belajar dari Pemilu, Menuju Pilkada Serentak 2024”, Rabu (3/4/2024), di Jakarta, menjelaskan, pemungutan suara Pemilu 2024 yang sudah berlangsung pada 14 Februari lalu seharusnya menjadi ajang pemilu yang berlangsung jujur dan adil. Namun, ternyata masih ada pelanggaran netralitas ASN selama pelaksanaan Pemilu 2024.
Pelanggaran netralitas ASN masih terus terjadi dan meningkat terutama mendekati pilkada pada November 2024. Apalagi, pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Ia memprediksi pelanggaran netralitas ASN masih terus terjadi dan meningkat terutama mendekati pilkada pada November 2024. Apalagi, pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Berkaca dari Pilkada 2020 yang diikuti 270 daerah, terdapat 2.034 ASN yang dilaporkan. Sebanyak 1.597 ASN atau 78,5 persen di antaranya terbukti melanggar prinsip netralitas. Pelanggaran dilakukan dengan menyalahgunakan sumber daya birokrasi, merekayasa regulasi, mobilisasi sumber daya manusia, alokasi anggaran, bantuan program, hingga fasilitas sarana atau prasarana untuk menunjukkan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon.
Dari berbagai data sementara itu sudah memperlihatkan pelanggaran netralitas masih banyak terjadi. Diprediksi lonjakan kasus netralitas ASN semakin meningkat jelang Pilkada 2024.
”Dari berbagai data sementara itu sudah memperlihatkan pelanggaran netralitas masih banyak terjadi. Diprediksi lonjakan kasus netralitas ASN semakin meningkat jelang Pilkada 2024,” kata Agus.
Menurut Agus, netralitas ASN sangat penting agar birokrasi menjadi independen dari kepentingan politik. Demokrasi meniscayakan kinerja birokrasi yang lepas dari kepentingan politik. Birokrasi memosisikan dirinya untuk bekerja secara profesional dan netral. Tuntutan agar ASN netral bertujuan supaya kerja pemerintah dalam melayani publik bisa tercapai dengan optimal.
Jika netralitas ASN tidak dijalankan dengan baik atau banyak ASN yang melanggar netralitas, hal itu dapat menimbulkan dampak negatif, di antaranya diskriminasi layanan kepada masyarakat, munculnya kesenjangan dalam lingkup ASN, dan konflik atau benturan kepentingan.
”Karena itu, diperlukan strategi pengawasan yang tepat dan lembaga pengawas independen akan menjadi sangat krusial. Pengawasan juga akan optimal jika didukung regulasi yang kuat dan melibatkan civil society,” kata Agus.
Ruang tertutup dan mengendap-endap
Pengajar Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, Jakarta, Ahmad Khoirul Umam, mengatakan, praktik pelanggaran netralitas ASN, termasuk aparatur non-sipil, yakni Polri, TNI dan lembaga yang lain, seperti Badan Intelijen Negara dan sebagainya, hampir semua tidak dilakukan secara terbuka. Bahkan, sering kali itu dilakukan secara tertutup dan dilakukan tidak dalam ruang yang terbuka atau dengan cara yang mengendap-endap.
Pelaporan saat ini terhadap pelanggaran netralitas ASN bisa saja seperti fenomena puncak gunung es. Pelanggaran yang terjadi ternyata lebih banyak daripada yang dilaporkan.
”Pelaporan saat ini terhadap pelanggaran netralitas ASN bisa saja seperti fenomena puncak gunung es. Pelanggaran yang terjadi ternyata lebih banyak daripada yang dilaporkan,” kata Umam.
Belajar dari Pemilu 2024, kata Umam, bahwa ada potensi penyalahgunaan kekuasaan negara yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Hal ini perlu diantisipasi dalam menghadapi Pilkada 2024.
”Lonjakan pelanggaran netralitas ASN itu berpotensi terjadi. Saya setuju itu. Karena bagaimanapun skala kontestasi pada level pilkada dilakukan secara kolosal. Hal Ini dilakukan baru berapa bulan setelah pilpres dan pileg sehingga nuansa politik dan jejaringnya masih kuat. Ini harus dimitigasi betul oleh KASN,” katanya.
Politisasi birokrasi juga akan semakin rentan terjadi pada masa Pilkada 2024. Pengangkatan pejabat ataupun penyingkiran pejabat yang bertentangan dengan preferensi politik dari pejabat pembina kepegawaian (PPK), dalam hal ini dijabat kepala daerah, mungkin terjadi.
”Keberpihakan terhadap kekuatan politik tertentu diyakini sebagai sebuah cara untuk meningkatkan karier mereka atau sebaliknya. Kalau mereka tidak berpihak pada kekuatan politik tertentu, kariernya berpotensi dihilangkan. Dengan demikian, birokrasi yang menganut prinsip sistem meritokrasi dan netralitas dari politik akan sulit diterapkan,” kata Umam.
Politisasi birokrasi ciptakan ketidakadilan
Menurut pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, praktik politisasi birokrasi membuat kompetisi menjadi tidak adil. Politisasi itu juga membuat ASN tidak nyaman bekerja sehingga sulit mewujudkan pelayanan publik yang profesional. ASN pun semakin tidak fokus melaksanakan tugasnya karena mengurusi hal terkait politik tersebut.
Realitas di lapangan nyatanya pengisian jabatan sering dilakukan secara partisan.
””Realitas di lapangan nyatanya pengisian jabatan sering dilakukan secara partisan,” ujar Titi.
Diperlukan itikad baik dan komitmen parpol untuk menjaga kader-kadernya yang menjadi kontestan agar tidak terlibat politisasi birokrasi. Selain itu, diperlukan pembenahan baik dari sisi elektoral maupun reformasi birokrasi dengan cara beringin dan dilakukan secara holistik.
”Upaya kita mewujudkan netralitas ASN ini berhubungan dengan profesionalitas dan kredibilitas birokrasi yang ingin dijaga. Itu tidak berhenti hanya pada saat proses pemilu, tetapi juga pada pengisian jabatan dan performa kinerja jabatan,” tutur Titi.