Revisi UU Pemilu Mendesak, Realisasi Tergantung Pimpinan Parpol dan Pemerintah
Sejumlah kalangan mendorong DPR merevisi UU Pemilu. Parlemen butuh beragam masukan untuk menata sistem pemilu.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah elemen masyarakat kembali mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena sistem yang digunakan tak optimal. Komisi II DPR juga menilai UU Pemilu butuh perbaikan, tetapi mereka memperkirakan revisi itu baru dilakukan setelah pelantikan anggota parlemen baru. UU Pemilu dapat saja direvisi pada akhir periode sekarang sepanjang disetujui pimpinan partai politik dan pemerintah.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menuntut perubahan penentuan ambang batas minimal parlemen 4 persen untuk pemilu selanjutnya. Selain itu, KawalPemilu, salah satu organisasi pemantau pemilu, meminta revisi UU Pemilu untuk memaksimalkan data perolehan suara yang didapat dari tempat pemungutan suara (TPS).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, sebelum ada berbagai desakan, Komisi II sudah sejak awal sepakat untuk merevisi UU Pemilu agar lebih sempurna. Putusan MK soal ambang batas minimal parlemen kian menambah alasan untuk perbaikan aturan.
”Ya, sejak awal kami di Komisi II DPR setuju sistem pemilu Indonesia harus disempurnakan melalui revisi UU Pemilu. Putusan MK kemarin juga menambah alasan kami untuk merevisi UU Pemilu,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (20/3/2024).
Menurut dia, waktu untuk merevisi UU Pemilu bakal lebih panjang apabila dikerjakan oleh anggota DPR periode yang baru. Meskipun begitu, kalau semua pemimpin partai politik dan pemerintah setuju, perubahan UU Pemilu bisa dilakukan pada akhir periode sekarang.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, menyebutkan, pada 2020, aturan akan direvisi menjadi Kitab UU Pemilu. tetapi Presiden Joko Widodo tidak setuju untuk dilanjutkan. Melihat kondisi terkini, aturan kepemiluan memang wajib direvisi.
Komisi II DPR setuju sistem pemilu Indonesia harus disempurnakan melalui revisi UU Pemilu. Putusan MK kemarin juga menambah alasan kami untuk merevisi UU Pemilu.
”Wajib revisi. Sekarang suara wajib (untuk) revisi (UU Pemilu) kian ramai disampaikan. Tapi, sepertinya akan dilakukan DPR periode mendatang. Ini bakal sangat baik jika pihak eksekutif satu frekuensi untuk merevisi,” kata Mardani.
Ia mengkhawatirkan waktu pembahasan yang tidak cukup apabila revisi dilakukan pada akhir periode 2024. Selain itu, revisi UU Pemilu akan lebih gamblang ketika dibahas bersama pihak eksekutif pemenang Pemilu 2024. Namun, hal ini dapat dikecualikan apabila Presiden Jokowi berinisiatif untuk menata sistem politik nasional.
Menjelang waktu revisi, Komisi II DPR membutuhkan beragam masukan untuk menata sistem pemilu. Sistem baru harus bisa mengatasi masalah ideologi partai yang rendah dan penerapan politik uang yang masih tinggi. ”Selain itu, masalah pemilu legislatif yang tertutup oleh pemilu presiden juga harus bisa diselesaikan,” ujar Mardani.
Tak optimal
Co-founder KawalPemilu.org, Elina Ciptadi, menyoroti masalah Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak optimal digunakan. KPU masih bergantung pada sistem rekapitulasi suara berjenjang yang membutuhkan waktu lama.
Sirekap yang tidak bisa menjadi acuan akhir mengindikasikan sistem tersebut dibuat seadanya dan bisa ditiadakan sewaktu-waktu tanpa konsekuensi. Padahal, pembuatan sistem sudah memakan banyak biaya dan usaha.
Elina pun menyampaikan sikapnya. ”Kami tidak bisa diam saja ketika berulang kali mendengar ’angka Sirekap tidak menjadi acuan hasil akhir’ sebagai alasan. Karena itu berarti sistem bisa saja dibuat seadanya,” ucapnya.
Bagi dia, hasil penghitungan suara paling murni terjadi di TPS karena transparan dan demokratis lewat pelibatan warga sekitar serta para saksi. Tingkat kesalahan data di TPS juga rendah dan mampu meminimalkan potensi kecurangan karena disaksikan banyak orang.
Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk rekapitulasi suara tidak lagi satu bulan, tetapi dalam hitungan hari sudah bisa selesai. Namun, rekomendasi ini membutuhkan revisi UU Pemilu karena penghitungan yang menjadi acuan hasil akhir pemilu adalah rekapitulasi berjenjang secara manual.
Elina mencontohkan praktik di negara maju. Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris sudah menerapkan sistem data suara dari setiap TPS yang langsung ditabulasi dan diketahui dalam waktu singkat dengan bantuan teknologi.
”Tapi, untuk Indonesia, bukti fisiknya, C.Hasil, harus tetap ada. Jadi, di sistem ada fotonya, sementara lembar fisiknya bisa dibuka bila ada sengketa atau bahkan keraguan,” katanya.