KPK Baru Ikut Menyidik Setelah Menkeu Datang ke Kejaksaan Agung
Setelah Menteri Keuangan mendatangi Kejaksaan Agung, KPK baru turun tangan ikut menyidik korupsi LPEI.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi pun menyidik kasus dugaan korupsi terkait pembiyaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Laporan terkait kasus ini sebelumnya sudah diterima oleh KPK jauh sebelum Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendatangi Kejaksaan dan melaporkan adanya dugaan korupsi di lembaga pembiayaan tersebut. Setidaknya, KPK sudah menerima laporan tersebut sejak 10 Mei 2023, tetapi tidak segera ditindaklanjuti. Hal itu terbukti laporan tersebut sudah ditelaah dan disampaikan ke Direktorat Penyelidikan KPK baru 13 Februari 2024.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/3/2024), mengungkapkan, KPK telah mendapatkan laporan dugaan korupsi terkait pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada beberapa perusahaan pada 10 Mei 2023.
”Dan, pada hari ini, tadi segenap dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan di Kedeputian Penindakan dan juga telah memaparkan di hadapan pimpinan, maka pada 19 Maret 2024 ini KPK meningkatkan proses lidik (penyelidikan) dari dugaan penyimpangan atau dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit dari LPEI ini menjadi berstatus penyidikan,” kata Ghufron.
Ia mengatakan, pengumuman status penyidikan perkara ini merupakan respons atas laporan dugaan korupsi yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ke Kejaksaan Agung pada Senin (18/3/2024). Namun, dalam paparannya, KPK tidak merinci jumlah kerugian akibat kredit bermasalah di LPEI.
Sebelumnya, Sri Mulyani menemui Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk melaporkan indikasi penipuan atau penyimpangan (fraud) dalam penggunaan dana LPEI yang disalurkan kepada empat perusahaan ekspor. Kredit bermasalah sebesar Rp 2,5 triliun yang dialami empat perusahaan itu terindikasi memenuhi unsur tindak pidana korupsi (Kompas, 19/3).
Sebagai konsekuensi penyidikan yang dilakukan KPK, Ghufron berpedoman pada Pasal 50 Undang-Undang KPK. Ketika KPK telah menyidik, aparat penegak hukum lain diharapkan memberitahukan kepada KPK paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
Ketika KPK sudah mulai menyidik, aparat penegak hukum lain tidak berwenang lagi menyidik. Penyidikan yang dilakukan secara bersamaan oleh KPK, kepolisian, atau kejaksaan, maka penyidikan oleh aparat penegak hukum lain segera dihentikan.
Penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain diwajibkan berkoordinasi secara terus-menerus dengan KPK. Ketika KPK sudah mulai menyidik, aparat penegak hukum lain tidak berwenang lagi menyidik. Penyidikan yang dilakukan secara bersamaan oleh KPK, kepolisian, atau kejaksaan, maka penyidikan oleh aparat penegak hukum lain segera dihentikan.
Kurang hati-hati
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan, kredit macet dalam perkara ini terjadi karena lembaga pemberi kreditor kurang hati-hati terhadap kondisi debitor. Alexander menjelaskan, salah satu perusahaan yang menerima fasilitas kredit moda kerja dari LPEI yakni PT PE. PT PE mendapatkan fasilitas kredit moda kerja ekspor sebanyak tiga kali, yakni tahun 2015, 2016, dan 2017.
Pada 2015, PT PE mendapatkan kredit moda kerja ekspor sebesar 22 juta dollar AS, tahun 2016 sebesar Rp 400 miliar, dan 2017 sebesar Rp 200 miliar. Pemberian fasilitas tersebut untuk mendukung modal kerja PT PE dalam usaha niaga umum bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar lainnya.
Alexander mengungkapkan, dugaan terjadinya kecurangan dalam pemberian fasilitas kredit modal kerja ekspor ini yaitu diduga komite pembiayaan dalam memutuskan pemberian pembiayaan kepada PT PE mengabaikan jaminan kelayakan pengajuan pembiayaan. Selain itu, ada indikasi ketidakwajaran dalam laporan keuangan pada periode Juni 2015 yang dijadikan rujukan memorandum analisis pembiayaan.
”Jadi, laporan keuangan PT PE diduga itu tidak mengandung kebenaran,” kata Alexander.
Ia melanjutkan, diduga komite pembiayaan menyetujui rencana bisnis yang tidak memadai berupa binis ritel BBM untuk memasok PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) secara tidak langsung melalui PT KPM yang kondisi keuangannya sedang bermasalah. PT KPM merupakan salah satu debitor LPEI yang merupakan anak perusahaan PT PE.
Dalam pemberian kredit moda kerja ekspor yang kedua pada 2016, diduga ada pengabaian terhadap jaminan aset tetap PT PE yang belum diikat sempurna dan belum ada sertifikatnya sehingga berisiko kegagalan pengikatan jaminan.
Pengabaian
Terkait kondisi keuangan PT PE, diduga komite pembiayaan mengabaikan transaksi dari PT PE ke PT KPM. Alexander mengatakan, diduga hal tersebut terjadi karena jajaran direksi LPEI sudah mengetahui bahwa masuknya PT PE ditujukan untuk menopang PT KPM.
”Itu beberapa kejadian atau bisa dikatakan muncul perbuatan melawan hukum yang kami menduga itu dikaitkan dengan unsur penyalahgunaan kewenangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini,” kata Alexander.
Ia mengungkapkan, pada 29 Juni 2020 PT PE dinyatakan pailit. Sementara itu, tagihan LPEI atas PT PE masih Rp 844 miliar. Setelah PT PE pailit, LPEI berupaya menyelamatkan pembiayaan bermasalah dengan menggunakan skema pengalihan piutang atau cessie. Cessie dijual kepada PT CMT senilai 10 juta dollar AS dan PT PI sebesar 50 juta dollar AS. Adapun PT PE, PT CMT, dan PT PI dimiliki oleh orang yang sama, yakni JM.
Alexander menduga, pengalihan piutang ini hanya sekadar untuk mengalihkan dari perusahaan yang sudah pailit kepada perusahaan yang masih aktif dengan pemilik yang sama. KPK masih mendalami apakah PT PI dan PT CMT masih layak usahanya.
Pada 2022-2023, PT CMT telah membayar sebagian kewajiban utang atas cessie yang dibeli dari LPEI sebesar 5,5 juta dollar AS. Sementara itu, cessie yang dibeli oleh pengalihan utang yang dibeli oleh PT PI sampai sekarang belum ada pembayaran.
KPK menduga, penyimpangan yang dilakukan direksi LPEI dalam pemberian fasilitas pembiayaan ekspor dan penyelesaian pembiayaan kepada PT PI terdapat potensi kerugian negara sekitar Rp 766,7 miliar. Hingga saat ini, KPK belum menetapkan tersangka dalam perkara tersebut.