Sengkarut Pemilu di Malaysia Mengapa Terus Berulang?
Sengkarut DPT dan surat suara tercoblos di Malaysia pada Pemilu 2019 kembali terjadi pada Pemilu 2024.
Sengkarut pemilu luar negeri di Kuala Lumpur, Malaysia, kembali berulang. Daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah pada Pemilu 2019 kembali terjadi pada Pemilu 2024, bahkan persoalannya menjadi lebih parah dari sebelumnya. Surat suara yang diduga telah dicoblos dan disimpan dalam karung yang muncul pada pemilu lima tahun lalu juga kembali ditemukan pada pesta demokrasi tahun ini.
Masih segar dalam ingatan, dua hari sebelum pemungutan suara melalui TPS pada Pemilu 2019 digelar, tepatnya 12 April 2019, tim dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertolak ke Malaysia. Kala itu tersiar kabar adanya surat suara pemilu yang dicoblos sebelum sampai ke pemilih. Tim KPU dan Bawaslu datang untuk menyelidiki surat suara yang sudah tercoblos yang ditemukan di sebuah rumah toko (ruko) di Selangor, Malaysia.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tim KPU dan Bawaslu berangkat ke Malaysia untuk menelusuri informasi temuan puluhan kantong berisi surat suara tercoblos yang tersebar melalui rekaman video ”penggerebekan” ruko tersebut oleh sejumlah sukarelawan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Malaysia. Mereka melaporkan kejadian itu melalui layanan pesan Whatsapp kepada Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur yang posisinya terdekat dari Selangor (Kompas, 12/4/2019).
Dua petugas PPLN Kuala Lumpur yang mendatangi ruko itu juga menemukan sekitar 20 tas, 10 kantong plastik hitam, dan 5 karung goni bertuliskan ”Pos Malaysia”. Dari beberapa sampel yang dibuka, informasi sementara menunjukkan surat suara untuk pemilihan presiden sudah dicoblos pada pasangan calon nomor urut 1. Sementara surat suara DPR RI dicoblos pada caleg DPR dari Partai Nasdem nomor urut 3, Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta II, yang juga mencakup luar negeri.
Baca juga: KPU dan Bawaslu Telusuri Dugaan Pencoblosan Sejumlah Surat Suara Pos di Kuala Lumpur
Sejarah berulang. Kurang dari satu pekan sebelum pemungutan suara dengan metode TPS di Kuala Lumpur digelar, beredar video berdurasi 29 detik yang menampilkan tiga orang tengah membuka dan mencoblos surat suara. Di depan mereka terlihat tumpukan suarat suara dengan sampul plastik berwarna abu-abu terdapat logo Pos Malaysia dan huruf M.
Beredar pula video berdurasi 79 detik yang memperlihatkan dua karung berisi surat suara yang dibongkar. Salah satu karung berwarna putih bertuliskan Pos Malaysia dan satu karung lainnya berwarna hitam. Ada beberapa orang yang membuka amplop bertuliskan ”amplop pengembalian” dan mencoblos surat suara untuk pemilihan presiden dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat tersebut.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari, saat konferensi pers pada Selasa (27/2/2024), mengungkapkan, memang banyak video di media sosial juga menunjukkan ada karung-karung bertuliskan Pos Malaysia yang berisi surat suara yang dicoblosi sendiri. Di Kantor Pos Puchong, Selangor, ada orang yang datang membawa karung Pos Malaysia berisi surat suara. Lalu, orang itu ditahan petugas Kantor Pos Puchong dan kejadian diinformasikan kepada Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur.
Hasyim menambahkan, ada pula laporan orang memakai seragam Pos Malaysia mengantar karung Pos Malaysia yang isinya surat suara dan sebagian sudah dicoblos serta sebagian masih utuh dalam amplop beralamat nama pemilih. Sampai sekarang, surat suara dalam karung-karung yang dicoblosi sendiri itu belum bisa ditemukan Panwas Luar Negeri.
”Tetapi, faktanya surat suara yang return to sender (kembali ke pengirim) banyak sekali. Nanti akan kami update jumlahnya karena kami sedang menurunkan tim ke Kuala Lumpur untuk menelusuri itu semua guna memastikan pemutakhiran data pemilih akan dimulai dari mana,” papar Hasyim.
Hapus metode pos
Saat Pemilu 2019, Hasyim juga termasuk tim dari KPU yang berangkat ke Malaysia untuk menelusuri dugaan surat suara yang sudah dicoblos itu. Namun, saat ditanya mengapa metode pos masih dipertahankan dalam pemilu di Kuala Lumpur, Hasyim tidak menjawab pertanyaan tersebut.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, saat dihubungi pada Rabu (28/2/2024), mengatakan, pihaknya sudah merekomendasikan agar KPU menghapus metode pemilu pos di Malaysia sejak Pemilu 2009. Namun, rekomendasi itu tidak pernah digubris.
Bahkan, menurut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pada Pemilu 2019, Bawaslu pun merekomendasikan agar KPU meninjau ulang metode pemilu lewat pos dan kotak suara keliling (KSK). Selain karena rawan kecurangan, dua metode pemilu itu juga dinilai sulit diawasi akuntabilitasnya. Selain itu, metode pos juga berbiaya tinggi sehingga potensi korupsi pun terbuka.
”Evaluasi dan rekomendasi sudah banyak untuk menghapuskan metode pos dan KSK. Namun, tarik-menarik kepentingan (politik) terlalu besar, dan tidak ada itikad baik dari KPU,” kata Titi.
Baik Titi maupun Wahyu, yang juga menjadi pemantau pemilu di Kuala Lumpur pada 2024, sepakat bahwa akar permasalahan dari sengkarut pemilu di Malaysia adalah DPT luar negeri yang tidak valid dan akurat. Padahal, DPT Kuala Lumpur sudah ditetapkan jauh-jauh hari sebelum pemungutan suara, yakni pada Juli 2023.
Dalam rentang waktu tunggu selama 7-8 bulan itu tentu saja data warga negara Indonesia (WNI) yang keluar-masuk ke Malaysia banyak berubah. Kondisi ini, menurut Wahyu, membuat banyak WNI pemegang paspor baru tidak terdaftar di DPT. Namun, saat mereka mencoba memasukkan data dengan nomor identitas paspor atau KTP lama, justru nama mereka terdata di DPT.
”Ini menunjukkan bahwa pemutakhiran data pemilih asal-asalan. Demikian juga proses pencocokan dan penelitian (coklit) juga sepertinya asal-asalan,” imbuh Wahyu.
Evaluasi dan rekomendasi sudah banyak untuk menghapuskan metode pos dan KSK. Namun, tarik-menarik kepentingan politik terlalu besar, dan tidak ada itikad baik dari KPU.
Sebenarnya, lanjut Wahyu, penyusunan DPT luar negeri bisa diatasi jika tidak ada ego sektoral antar-pemangku kepentingan. KPU bisa bekerja sama dengan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang memiliki data by name by address para pekerja migran yang bekerja di Malaysia.
Secara teknis, lanjut Titi, pada Pemilu 2019, KPU memberlakukan DPT hasil perbaikan (DPT HP) untuk pendataan pemilih di Malaysia. Kala itu, komisioner KPU periode 2017-2019 sampai membuat perbaikan data pemilih tiga kali (DPT HP III) untuk pemilih di Malaysia. Sebab, mereka ingin memastikan DPT valid dan akurat. Namun, pada Pemilu 2024 ini, Titi tak melihat mekanisme yang sama diterapkan.
”Sekarang tidak ada sama sekali (DPT HP). KPU hanya mengandalkan DPT Juli 2023. Padahal, tingkat keluar-masuk pemilih selama rentang waktu tujuh bulan itu tinggi sekali,” ujarnya.
Sosialisasi
Titi juga menyoroti soal problem sosialisasi pemilih yang buruk di Malaysia. Hasil pemantauannya menunjukkan banyak pemilih bingung mereka masuk kategori pemilih di TPS, KSK, atau pemilih dengan metode pos. Sebab, metode untuk pemilih ditetapkan oleh PPLN tanpa konfirmasi terlebih dahulu terhadap pemilih yang bersangkutan.
Seorang petugas Kedutaan Besar RI (KBRI) di Kuala Lumpur, misalnya, justru dimasukkan dalam metode pos. Padahal, seharusnya lebih tepat lewat metode TPS.
Wahyu menambahkan, hasil temuannya menunjukkan banyak PPLN di Malaysia yang justru direkrut dari pemilih pemula. Umumnya, mereka adalah mahasiswa baru yang baru memiliki pengalaman pertama memilih pada Pemilu 2024 ini. Akibatnya, mereka tidak memahami duduk perkara permasalahan dan terkesan kinerjanya kurang profesional.
Dampaknya pun fatal. Para pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih tambahan (DPTb) yang hadir di lokasi TPS terpadu di gedung World Trade Centre (WTC) Kuala Lumpur saat pemungutan suara pada 11 Februari 2024 membeludak sejak pagi. Akhirnya, para pemilih diperbolehkan memilih sejak pukul 10.00 waktu setempat meski aturannya pemilih yang terdaftar di DPK baru diperbolehkan memberikan suaranya setelah pukul 12.00 waktu setempat.
Baca juga: Sikapi Spekulasi Kecurangan di Kuala Lumpur, KPU Rapikan DPT
Buntut dari ketidakprofesionalan kinerja PPLN itu juga terbukti dari dinonaktifkannya tujuh PPLN Kuala Lumpur oleh KPU. Bahkan, menurut Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, salah satu PPLN diduga melakukan tindak pidana umum.
Terbaru, Badan Reserse Kriminal Polri pada Kamis (29/2/2024) menetapkan tujuh PPLN Kuala Lumpur itu sebagai tersangka dugaan pemalsuan data pemilih dalam Pilpres dan Pileg 2024. Para tersangka diduga menambah jumlah DPT yang sebelumnya ditetapkan KPU. Mereka dijerat Pasal 545 dan/atau Pasal 544 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Akibat segala kesemrawutan pemilu di Kuala Lumpur itu, Bawaslu merekomendasikan kepada KPU untuk memutakhirkan DPT, lalu menggelar pemungutan suara ulang (PSU). KPU pun menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu itu. Mereka akan menggelar PSU dengan metode KSK pada 9 Maret dan metode TPS pada 10 Maret nanti.