Penyidikan Dugaan Korupsi Dana Sawit Diharapkan Tak Terhambat Pemilu
Sempat tidak terdengar kabar, Kejaksaan Agung memastikan kasus dugaan korupsi pengelolaan dana sawit di BPDPKS tetap berjalan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski belum menetapkan tersangka, Kejaksaan Agung memastikan penyidikan kasus dugaan korupsi pengelolaan dana sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS tahun 2015-2022 masih berjalan. Kalangan masyarakat sipil berharap penyidikan perkara tersebut tidak terpengaruh dengan proses pemilu yang kini tengah berlangsung.
Kasus dugaan korupsi pengelolaan dana sawit oleh BPDPKS tahun 2015-2022 naik ke tahap penyidikan pada 7 September 2023. Penyidikan dilakukan untuk mendalami pengembangan biodiesel dengan menggunakan dana yang dihimpun dari pungutan ekspor kelapa sawit pelaku usaha.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kuntadi, ketika dikonfirmasi, Rabu (3/1/2024), menyatakan, kasus tersebut statusnya masih tetap berjalan dan tidak dihentikan oleh penyidik. ”Masih jalan,” ujarnya.
Meski disebut telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, hingga saat ini penyidik belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut. Sementara, pemanggilan terhadap saksi tercatat terakhir dilakukan pada November 2023. Namun, Kuntadi tidak menjawab ketika ditanya tentang proses penetapan tersangka dalam kasus tersebut.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpandangan, kasus tersebut penting karena terkait dugaan manipulasi penggunaan dana sawit yang tidak sesuai antara perencanaan dengan kenyataan. Akibatnya, diduga terjadi kerugian negara terkait pengembangan biodiesel.
Di sisi lain, dugaan manipulasi minyak sawit mentah tersebut berakibat pada mahalnya harga minyak goreng di masyarakat. Sementara, industri diduga menikmati keuntungan melalui ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Penyidik diharapkan lebih mendalami dugaan manipulasi dana sawit sebagai sebuah dugaan tindak pidana korupsi. Itu yang harus dikejar dan tidak boleh di-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), harus segera dibawa ke pengadilan. (Boyamin Saiman)
”Ini yang harus diutamakan sehingga nanti iuran yang digunakan dalam memproduksi biodiesel dapat tersalurkan dengan baik karena iuran dana sawit itu sudah menjadi uang negara,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, penyidikan kasus dugaan pengelolaan dana sawit di BPDPKS tersebut merupakan kelanjutan dari kasus korupsi kelangkaan minyak goreng dan kasus korupsi perkebunan sawit Duta Palma Group yang disidik Kejagung. Namun, Kejagung dinilai hanya mendalami terkait pemanfaatan dana sawit terkait dengan sumbangan atau dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Penyidik, kata Boyamin, diharapkan lebih mendalami dugaan manipulasi dana sawit sebagai sebuah dugaan tindak pidana korupsi. ”Itu yang harus dikejar dan tidak boleh di-SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), harus segera dibawa ke pengadilan,” katanya.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, perintah Jaksa Agung kepada jajaran bidang Tindak Pidana Khusus untuk menunda pemeriksaan terhadap dugaan tindak pidana korupsi baik dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan yang melibatkan peserta Pemilu 2024 akan memengaruhi proses penyidikan suatu kasus, seperti perkara BPDPKS. Perintah Jaksa Agung tersebut termuat di dalam Instruksi Jaksa Agung Nomor 6 Tahun 2023.
”Akibat penundaan pemeriksaan, perkara bisa terhambat. Sangat mungkin jeda waktu digunakan oleh pihak-pihak yang terkait perkara untuk menghilangkan barang bukti, memengaruhi saksi-saksi, atau bentuk tindakan lain untuk menghindari jerat hukum,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, perintah Jaksa Agung sebagai bentuk diskriminasi yang tidak berdasar hukum karena memperlakukan warga negara secara berbeda. Seharusnya, katanya, penyidik tetap memproses perkara secara profesional. Jika terdapat peserta pemilu yang diproses secara hukum, selama berbasis alat bukti dan sesuai hukum, hal itu justru membantu pemilih untuk mengetahui calon bermasalah.
Sebaliknya, jika terdapat laporan terhadap seorang peserta pemilu, kejaksaan justru dapat menjadi mekanisme untuk menjelaskan bahwa jika tidak berbasis alat bukti, maka orang tersebut tidak bisa dipidana. Zaenur berharap, perkara dugaan korupsi di BPDPKS tersebut tetap dapat dituntaskan oleh penyidik.