Penghitungan Suara Dua Panel Bakal Mempersulit Pengawasan
Bawaslu keberatan dengan penghitungan suara dua panel karena dinilai akan menyulitkan pengawasan.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum merancang model penghitungan suara dengan metode dua panel untuk mempercepat rekapitulasi suara sekaligus menghindari jatuhnya korban jiwa karena kelelahan di Pemilu 2024. Namun, metode itu dinilai menyulitkan pengawasan karena Badan Pengawas Pemilu hanya menempatkan satu pengawas di tiap-tiap tempat pemungutan suara.
KPU telah menggelar uji publik tiga rancangan Peraturan KPU (PKPU) pada Senin (4/9/2023). Salah satunya rancangan PKPU tentang Pemungutan Suara dalam Pemilihan Umum.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Saat uji publik, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menuturkan, pemungutan suara pada Pemilu 2024 masih sama dengan pemilu sebelumnya. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu pertimbangannya adalah pemilih sudah familier dengan pemilu lima kotak berikut desain surat suaranya.
KPU hanya mengubah dan membuat simulasi penghitungan suara yang tujuannya membuat prosesnya lebih efektif dan efisien. ”Berdasarkan pengalaman lalu, KPU membuat simulasi penghitungan suara dua panel, panel I untuk pemilu presiden dan DPD, sementara panel II untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten atau kota,” kata Hasyim.
Baca juga: Beban Kerja KPPS Akan Dikurangi
Usulan model penghitungan suara dua panel itu tertuang dalam Pasal 45 rancangan PKPU Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu. Pasal itu diusulkan mengatur penghitungan suara dapat dilakukan dengan dua metode panel, yaitu panel A mencakup pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu anggota DPD. Adapun panel B mencakup pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Penghitungan suara dengan metode dua panel itu dapat dilaksanakan jika memenuhi kriteria yaitu lokasi TPS cukup memadai, sarana dan prasarana yang tersedia memadai, serta disetujui oleh KPPS, saksi, dan pengawas TPS yang hadir.
Anggota KPU, Idham Holik, Kamis (7/9/2023), menambahkan, sejatinya model penghitungan suara dua panel itu dirancang untuk mempercepat proses rekapitulasi suara di TPS dan menghindari para petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) kelelahan seperti yang terjadi pada Pemilu 2019. Saat itu, 722 anggota KPPS wafat. Hasil kajian dari Kementerian Kesehatan dan Universitas Gadjah Mada mengungkapkan, faktor penyebab meninggal adalah kelelahan yang mengaktivasi komorbid atau penyakit bawaan para penyelenggara pemilu.
”KPU harus menjawab kepada publik dengan kebijakan inovatif dan mitigatif agar tidak terulang kembali kecelakaan kerja atau wafatnya penyelenggara ad hoc itu,” katanya.
Apalagi, lanjut Idham, penghitungan model dua panel itu juga sudah disimulasikan di KPU Kota Tangerang Selatan, KPU Kota Bogor, KPU Palembang, dan KPU Kutai Kartanegara. Menurut Idham, Bawaslu di kota dan kabupaten itu pun sudah menyaksikan proses simulasi tersebut.
”Bagi KPU, keselamatan penyelenggara pemilu harus diutamakan dalam penghitungan suara,” katanya.
Kesulitan mengawasi
Anggota Bawaslu, Puadi, menilai, model penghitungan suara dua panel yang digagas KPU berpotensi menimbulkan persoalan pengawasan. Hal ini karena pengawas yang ditempatkan di TPS hanya satu orang.Oleh karena itu, menurut Puadi, KPU harus juga melihat syarat berlangsungnya penghitungan suara. Pasal 382 Ayat (5) UU Pemilu mengatur bahwa penghitungan suara peserta pemilu di TPS diawasi oleh pengawas TPS. Bawaslu hanya menyediakan satu pengawas sehingga besar kemungkinan akan kesulitan mengawasi dua panel penghitungan suara.
”Penghitungan suara akan banyak sekali potensi kesalahan, kecurangan, dan bahkan potensi ketidaksesuaian hasil perhitungan sehingga harus selalu diawasi ketat oleh pengawas TPS,” kata Puadi.
Puadi menilai, wacana penghitungan suara dua panel akan menjadi masuk akal jika perhitungan suara dua panel juga dibarengi dengan ketersediaan dua pengawas TPS sehingga bisa fokus pada masing-masing panel. Namun, hal itu mensyaratkan revisi UU Pemilu.
Idham mengatakan, KPU menyayangkan masukan dan tanggapan dari Bawaslu itu tidak disampaikan saat uji publik tiga PKPU pada awal pekan ini. KPU juga meyakini pimpinan Bawaslu telah mempersiapkan solusi jika memang metode panel disepakati oleh pembentuk UU dan diundangkan dalam PKPU. Pada prinsipnya, KPU sepakat jika pemungutan dan penghitungan suara harus dilakukan dengan prinsip terbuka di mana saksi dan pengawas TPS bisa memantau dan mengawasi prosesnya.
Anggota KPU, Idham Holik, saat diwawancarai wartawan di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (2/5/2023).
“Rancangan PKPU Pemungutan dan Penghitungan Suara itu masih akan dikonsultasikan kepada pembentuk UU,” kata Idham.
Pilot project
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita berpandangan, jika dilihat dari proses simulasi dan uji publik PKPU yang sudah dilakukan oleh KPU, arahnya metode penghitungan suara dua panel itu memang didorong untuk dilaksanakan. Meskipun Bawaslu mengambil sikap tidak setuju karena di TPS hanya ada satu pengawas, tetapi jika saksi di TPS sudah menyetujui hal itu bisa dilaksanakan.”KPU juga harus melihat agar produk hukum yang dihasilkan tidak multitafsir. Sebab, metode dua panel ini hanya diatur di PKPU Pemungutan dan Penghitungan Suara, bukan UU. Ini bagaimana nanti praktiknya juga harus diantisipasi agar tidak menimbulkan kebingungan di lapangan,” kata Paramita.
Paramita juga berharap KPU dan Bawaslu dapat berbicara secara intensif untuk membahas masalah ini. Sebab, dua-duanya memiliki argumentasi yang kuat. KPU berusaha membuat inovasi untuk mengurangi potensi jatuhnya korban saat pemungutan dan penghitungan suara.
Di sisi lain, pengawasan juga memang akan sulit ketika ada penghitungan dua panel. Apalagi, jika pengawas TPS itu bukanlah sosok yang berpengalaman sebagai penyelenggara pemilu. Tentu ini akan menimbulkan kewalahan di lapangan. Sebelum PKPU Pemungutan dan Penghitungan Suara disahkan, ia berharap KPU dan Bawaslu bertemu dan berbicara dengan prinsip kesetaraan lembaga.
”Bisa juga diambil opsi metode penghitungan dua panel itu diterapkan di wilayah-wilayah pilot project yang sudah siap dengan mitigasi risiko yang matang. Ini bisa menjadi salah satu solusi jika memang Bawaslu keberatan dan mereka tidak bisa menambah personel pengawas di TPS,” katanya. (DEA)