KPK dan TNI diharapkan membentuk tim koneksitas dalam menangani kasus dugaan korupsi di Basarnas. Pengalaman di masa lalu, penanganan kasus korupsi melalui koneksitas terbukti lebih maksimal dalam menegakkan hukum.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas perlu menjadi momentum bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dan Tentara Nasional Indonesia membentuk tim koneksitas untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan sipil dan militer. Penanganan perkara korupsi melalui koneksitas yang sudah berlangsung selama ini, seperti di Kejaksaan Agung, dapat membuat penyidikan berjalan efektif.
Dugaan korupsi di Basarnas yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini ditangani oleh KPK untuk para tersangka yang berasal dari kalangan sipil. Bagi tersangka dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) ditangani oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Secara teknis masing-masing bekerja sendiri-sendiri dalam menyidik. Namun, adakalanya mereka bersama-sama melakukan penggeledahan seperti yang dilaksanakan di Kantor Basarnas, Jakarta, Jumat (4/8/2023) lalu.
KPK menyidik tersangka yang berperan sebagai penyuap dari swasta, yakni Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya, dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil. Sementara itu, Puspom TNI menangani tersangka selaku penerima suap dari kalangan militer, yakni Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto.
Pada Rabu (2/8/2023), Ketua KPK Firli Bahuri telah bertemu dengan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono untuk membahas penanganan perkara suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas ini. Dalam pertemuan itu, Firli mengapresiasi jajaran TNI yang telah mendukung penanganan perkara dugaan korupsi ini. Diharapkan, ke depan prosesnya bisa berjalan secara efektif dan progresif hingga tuntas sampai dibawa ke persidangan.
Pertemuan itu juga berujung pada kesepakatan untuk menangani perkara ini secara gabungan (joint investigation) antara KPK dan Puspom TNI menurut kewenangan masing-masing.
Dalam penyidikan ini, KPK berpedoman pada Pasal 42 Undang-Undang KPK bahwa KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
Pentingnya kebutuhan tim koneksitas dalam menangani kasus di Basarnas telah disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Selain itu, ada pula Pasal 89 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait koneksitas. Pada pasal tersebut, tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Kecuali, jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM, perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pentingnya kebutuhan tim koneksitas dalam menangani kasus di Basarnas telah disampaikan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Ia merujuk pada Kejaksaan Agung yang telah memiliki Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer (Jampidmil) yang berhasil menangani dugaan korupsi pada proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan tahun 2015 yang merugikan negara hingga Rp 453 miliar.
Kasus yang melibatkan militer dan swasta itu ditangani oleh penyidik koneksitas. Eks Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Vonis tersebut dijatuhkan oleh ketua majelis hakim koneksitas Fahzal Henri dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (17/7/2023).
Majelis hakim menilai Agus terbukti bersalah telah bersama-sama Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK) Arifin Wiguna dan Direktur Utama PT DNK Surya Cipta Witoelar melakukan korupsi dalam proyek pengadaan satelit di slot orbit 123 derajat Bujur Timur di Kemenhan.
Sama dengan Agus, Arifin dan Surya yang juga menjadi terdakwa dalam kasus tersebut divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Satu terdakwa lain yang disidang secara terpisah, yakni Senior Advisor PT DNK Thomas Anthony van der Heyden yang berkewarganegaraan Amerika Serikat juga dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara.
Selain kasus itu, Kejaksaan Agung dan penyidik Puspom TNI menangani kasus korupsi dana Tabungan Wajib Perumahan (TWP) Angkatan Darat tahun 2013 sampai dengan 2020 untuk pengadaan perumahan bagi prajurit yang merugikan keuangan negara hingga Rp 133,7 miliar. Majelis hakim koneksitas menjatuhkan hukuman pidana terhadap Brigadir Jenderal Yus Adi Kamrullah dari militer dan Ni Putu Purnamasari dari sipil masing-masing 16 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Yus Adi juga dipidana membayar uang pengganti atas kerugian keuangan negara sebesar Rp 34,3 miliar, sedangkan Ni Putu Rp 80 miliar. Majelis hakim koneksitas juga menetapkan bahwa semua barang bukti berupa aset tanah, bangunan, dan lain-lain dinyatakan dirampas untuk negara, dalam hal ini TNI AD, untuk kepentingan kesejahteraan prajurit.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana menegaskan, mekanisme penanganan perkara secara koneksitas menunjukkan bahwa upaya pengembalian aset hasil korupsi dapat dilakukan secara maksimal. ”Hal tersebut dilaksanakan melalui mekanisme hukum acara didukung kerja sama antara jaksa, oditur (jaksa militer), dan penyidik polisi militer yang tergabung dalam tim penyidik koneksitas,” ucapnya (Kompas, 4/2/2023).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana menegaskan, mekanisme penanganan perkara secara koneksitas menunjukkan bahwa upaya pengembalian aset hasil korupsi dapat dilakukan secara maksimal.
Belum optimal
Ketika Kejaksaan Agung berhasil menangani kasus korupsi yang melibatkan militer dan sipil melalui gabungan tim penyidik koneksitas, KPK justru masih belum optimal saat menangani kasus korupsi yang melibatkan militer dan sipil.
Dalam penanganan kasus korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW-101) pada 2016, misalnya, KPK belum dapat menghadirkan eks Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna di persidangan. Padahal, dana korupsi itu disebut mengalir kepada sejumlah pihak, salah satunya Agus sebesar Rp 17,7 miliar.
Dari pihak swasta, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh divonis 10 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara, dan uang pengganti Rp 17,22 miliar subsider 2 tahun penjara. Namun, dari pihak militer belum ada yang diadili dalam kasus ini.
Mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif berharap kasus dugaan korupsi di Basarnas tidak terhenti seperti perkara helikopter angkut AW-101 pada zaman kepemimpinannya. Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, pun meminta jangan sampai terjadi lagi kasus seperti helikopter AW-101, yakni pihak sipil dipidana, tetapi pihak militer tidak dihukum.
Belum lagi kasus korupsi pengadaan satelit pemantau di Badan Keamanan Laut (Bakamla) tahun 2016 yang merugikan negara hingga Rp 402 miliar. Pada 2017, majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi Jakarta memerintahkan agar Laksamana Madya Arie Sudewo, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bakamla, dilaporkan ke Polisi Militer TNI. Namun, hingga kini Arie tak pernah terdengar diproses hukum lebih lanjut.
Saat ditanya terkait perkembangan pembentukan tim koneksitas dalam penanganan kasus Basarnas, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono menyatakan, kerja sama penyidikan sudah dilakukan. Namun, ia enggan menjawab terkait tim koneksitas. Julius menegaskan, TNI berkomitmen menghukum maksimal koruptor.
Saatnya membentuk koneksitas
Menurut Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, kasus di Basarnas menjadi momentum bagi KPK untuk membuat tim gabungan koneksitas bersama dengan TNI. Dengan cara itu, setiap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh militer dan sipil bisa disidik tim gabungan serta disidangkan hakim koneksitas.
Boyamin telah mengingatkan KPK sejak kasus Bakamla dan helikopter angkut AW-101 bergulir agar kasus ditangani oleh tim koneksitas. Namun, ternyata KPK belum mempunyai surat keputusan bersama untuk membentuk tim koneksitas.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berharap ada tim koneksitas antara KPK dan Puspom TNI untuk menangani kasus dugaan korupsi di Basarnas. Keberadaan tim koneksitas tersebut dapat lebih menjamin tuntasnya penanganan perkara dengan meniadakan disparitas dalam penegakan hukum.