Jaksa Nilai Eksepsi Lukas Enembe Masuk Pokok Perkara
Keberatan yang disampaikan Lukas Enembe dinilai jaksa penuntut umum sudah masuk pada pokok pembuktian perkara. Maka, seharusnya hal itu masuk dalam pembuktian materiil yang akan diperiksa dalam persidangan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi meminta nota keberatan terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Lukas Enembe ditolak karena telah masuk pada pokok perkara. Jaksa menilai, penasihat hukum dari Gubernur Papua non-aktif tersebut tak memahami konstruksi perkara secara utuh.
Hal itu disampaikan tim jaksa penuntut umum KPK saat sidang dengan agenda membacakan tanggapan atas eksepsi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (22/6/2023). Sidang dipimpin oleh hakim ketua Rianto Adam Pontoh.
Jawaban atas eksepsi terdakwa itu dibacakan oleh tim jaksa penuntut umum KPK yang terdiri dari Wawan Yunarwanto, NN Gina Saraswati, Nur Haris Arhadi, Yosi A Herlambang, Yoga Pratomo, Sandy S M Hidayat, dan Rudi D Prastyono.
Jaksa meminta agar majelis hakim menolak nota keberatan atau eksepsi Lukas ataupun penasihat hukum Lukas. Menurut dia, keberatan yang disampaikan sudah masuk pada pokok pembuktian perkara. Seharusnya, hal itu masuk dalam pembuktian materiil yang akan diperiksa dalam persidangan.
”Keberatan atau eksepsi itu telah masuk pokok pembuktian perkara dan timbul dari ketidakcermatan penasihat hukum dalam memahami ketentuan Pasal 156 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan penasihat hukum tidak memahami konstruksi perkara secara utuh,” kata jaksa.
Tim JPU menghormati dan menghargai atas keberatan atau eksepsi yang diajukan oleh terdakwa dan kuasa hukumnya. Hal itu dinilai sebagai bagian yang tak terpisahkan dan harus dilalui demi pencapaian tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Untuk mencari kebenaran materiil di persidangan, sesuai pemikiran filsuf Francis Bacon, akan terus dilakukan falsifikasi atau alat bukti untuk mendapatkan kebenaran. Tidak hanya kebenaran keilmuan semata, tetapi juga kebenaran hati nurani.
Menurut jaksa, tim penasihat hukum terkesan berusaha mem-framing persidangan seolah-olah terdakwa adalah korban, bukan pelaku tindak pidana. Seolah-olah terdakwa tidak melakukan perbuatan hukum, padahal hal itu seharusnya masuk dalam tahap pembuktian di persidangan.
”Penasihat hukum terdakwa menguraikan prestasi dan penilaian kinerja terdakwa dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan selama terdakwa menjabat. Hal itu bukan domain pembuktian penuntut umum saat ini mengingat penuntut umum hanya mendakwa sebagai pihak penerima suap sekaligus gratifikasi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya,” kata jaksa.
Selain itu, jaksa juga menyebut penasihat hukum Lukas telah melemparkan fitnah yang keji terhadap KPK. Dalam eksepsinya, disebut kebiasaan KPK adalah menggunakan media untuk meloloskan dakwaannya sehingga jika hakim berani membebaskan terdakwa, KPK akan mem-black list hakim dengan cara melakukan penelitian asal-usul kekayaannya.
Seharusnya, lanjut jaksa, seseorang yang mengerti hukum menyampaikan argumentasi yang didasari dengan bukti, bukan serampangan menyampaikan apa yang diinginkan. Apalagi, jika ditambah dengan menjelekkan hakikat peradilan. Jaksa menyayangkan kesimpulan penasihat hukum yang dinilai sekonyong-konyong melemparkan isu untuk menjatuhkan wibawa majelis hakim sebagai pengadil serta pemutus perkara yang tidak terikat dan terpengaruh kekuasaan apa pun dari luar.
”Kami penuntut umum pada KPK tidak akan pernah tersandera oleh jebakan dramatisasi proses hukum yang berusaha menempatkan terdakwa seolah-olah sebagai korban kriminalisasi dari segala isu yang dilontarkan penasihat hukum,” ujar jaksa.
Jaksa pun tetap akan bekerja di ruang dan koridor hukum yang menjunjung tinggi obyektivitas dengan mengedepankan kebenaran keilmuan dan hati nurani yang dilandasi nilai-nilai transparansi. Penegakan hukum dalam perkara tersebut tidak semata untuk mencari kesalahan dari si pelaku, kemudian menjatuhi hukuman kepada pelaku. Namun, lebih dari itu adalah untuk mencapai tujuan penegakan hukum, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
”Berdasarkan seluruh uraian pendapat penuntut umum itu, maka penuntut umum berkesimpulan bahwa keberatan atau eksepsi terdakwa Lukas Enembe haruslah ditolak dan dikesampingkan. Sebab, keberatan itu telah masuk pada pokok pembuktian perkara yang timbul dari ketidakcermatan penasihat hukum terdakwa memahami konstruksi perkara a quo secara utuh,” kata jaksa.
Untuk diketahui, Enembe didakwa menerima suap Rp 45,8 miliar dan gratifikasi senilai Rp 1 miliar. Dakwaan dibacakan oleh tim jaksa penuntut umum di KPK pada Senin (19/6/2023). Setelah dakwaan dibacakan, pihak Enembe langsung membacakan nota keberatan.