Hadapi Pemilu 2024, Penyelenggara Didorong Menata Kampanye Politik di Media Sosial
Penyelenggara pemilu didorong untuk menata kampanye politik di media sosial melalui aturan spesifik untuk mengantisipasi munculnya ekses negatif selama gelaran Pemilu 2024.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Penggunaan media sosial diperkirakan akan masif untuk kampanye politik menjelang Pemilu 2024. Penyelenggara pemilu didorong untuk menata kampanye politik di media sosial melalui aturan spesifik untuk mengantisipasi munculnya ekses negatif selama gelaran pesta demokrasi itu.
Poin tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertema ”Urgensi Penataan Kampanye Politik di Media Sosial untuk Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024 yang Informatif dan Edukatif”, Kamis (25/5/2023). Diskusi yang digelar di Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat, ini diadakan oleh The Indonesian Institute dan Pusat Studi Konstitusi Unand.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar menjelaskan, media sosial memang membantu mempermudah banyak hal, termasuk kampanye politik. Walakin, di sisi lain, ada pula dampak negatifnya, terutama dengan meningkatnya informasi bohong atau hoaks selama masa pemilu.
Sebagai contoh, data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan, sejak Agustus 2018 hingga November 2019, yaitu selama gelaran Pemilu 2019, terdapat 3.901 hoaks. Dari total 3.901 hoaks itu, hoaks kategori politik mendominasi dengan jumlah 973 hoaks.
”Ini sangat bermasalah karena selain memang informasinya bohong, ini membuat menurunnya kepercayaan publik terhadap demokrasi, termasuk terhadap penyelenggara pemilu,” kata Adinda.
Ketiadaan aturan hukum memadai tentang penggunaan media sosial dalam kampanye politik di masa pemilu ditengarai menjadi salah satu faktor yang membuat penyebaran hoaks sulit dikendalikan. Peraturan penyelenggara dan pengawas pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga belum menyediakan mekanisme efektif dalam mencegah dan merespons penyebaran hoaks selama pemilu.
The Indonesian Institute kemudian melakukan penelitian di Sumbar dan Sulawesi Selatan tentang pentingnya penanganan kampanye politik di media sosial dari Desember 2022 hingga Maret 2023. Selain dari studi dokumen, penelitian juga dilakukan dengan mewawancarai sekitar 20 orang, mulai dari penyelenggara pemilu di pusat dan daerah, aktivis, jurnalis, hingga akademisi.
Adinda menyebut, dari hasil penelitian itu, ada dua aspek yang dibahas, yaitu regulasi dan implementasi kebijakan. Dari aspek regulasi, penelitian mencatat ada tiga kekurangan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Kampanye Pemilu dan Pilkada dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) tentang Pengawasan Kampanye Pemilu dan Pilkada.
Pertama, pengaturan tentang kampanye politik di media sosial di PKPU dan Perbawaslu tidak sinkron mengenai definisi kampanye, kampanye di media sosial, materi kampanye, dan iklan kampanye. Kedua, pengaturan yang ada saat ini belum memadai dalam mengatasi tantangan dari penggunaan media sosial untuk kampanye pada masa pemilu. Ketiga, sanksi terhadap pelanggaran peraturan belum memadai.
Pada level implementasi peraturan, perbedaan peraturan menimbulkan perbedaan persepsi antarpenyelenggara pemilu dalam mengawasi kampanye politik di media sosial dan menangani pelanggaran. Kurang memadainya peraturan yang ada juga membuat pengawasan dan penanganan kampanye politik di media sosial tidak optimal.
”Intinya, dari kedua aspek itu butuh kesamaan persepsi antara penyelanggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu, untuk membuat penataan yang spesifik mengenai kampanye di media sosial,” ujar Adinda. Namun, ia juga menggarisbawahi, jangan sampai aturan-aturan tersebut menjadi berlebihan dan jadi bumerang untuk kebebasan berekspresi.
Sejak pengalaman 2019 inilah, KPU mulai serius memperkuat media sosial.
Staf Humas KPU Sumbar, Febrina Maulidya, mengatakan, saat Pemilu Presiden 2019, serangan hoaks memang luar biasa, termasuk terhadap KPU. KPU terkejut, ternyata media sosial bisa sangat dahsyat meruntuhkan citra lembaga yang dibangun dengan susah payah. ”Sejak pengalaman 2019 inilah, KPU mulai serius memperkuat media sosial,” katanya.
Dari sisi regulasi, kata Febrina, memang masih belum signifikan mengatur terkait dengan kampanye politik di media sosial. Peraturan KPU mutakhir, yang diatur baru akun resmi yang didaftarkan oleh peserta pemilu. Adapun larangan terkait kampanye masih diatur secara umum, tidak spesifik.
”Berdasarkan pengalaman kami di Sumbar, peserta pemilu cukup patuh mendaftarkan akun-akun media sosial resminya. Tapi, kami tidak bisa mendeteksi akun-akun di luar akun resmi,” ujarnya.
Febrina menambahkan, KPU butuh masukan untuk penyusunan peraturan terkait dengan kampanye politik di media sosial sehingga aturannya lebih jelas dan detail.
Ketua Bawaslu Sumbar Alni mengatakan, Bawaslu bisa menindak orang-orang yang menyebar hoaks untuk menyerang calon tertentu. Hal itu bisa diproses kalau memang ada fakta dan subyek hukumnya. ”Sepanjang ada temuan dan laporan, itu bisa kami tindak. Maka dari itu, yang perlu kita ingat, berkaitan dengan hal dilarang dalam kampanye itu,” katanya.
Peneliti Pusako Unand, M Ikhsan Alia, mengatakan, saat Pemilu Presiden 2019, keberadaan hoaks di media sosial memang sangat liar. Misalnya, ada hoaks menyebutkan, bila Joko Widodo terpilih lagi menjadi presiden untuk periode kedua, azan di masjid akan dilarang.
Menurut Ikhsan, adanya regulasi dalam membatasi lalu lintas di media sosial memang bisa menjadi alternatif, tetapi harus dibatasi. Bila campur tangan pemerintah terlalu agresif di media sosial, berpotensi pula membatasi kebebasan berekspresi. Tanpa kehadiran pemangku kebijakan lain untuk mengawal aturan ini justru membuat pembatasan bisa saja menjadi alat politik bagi penguasa.
”Itulah kenapa Pusako mendorong perlunya pencegahan bersifat multistakeholder. Penyelenggara pemilu, koalisi masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, pengembang IT, dan pengecek fakta perlu bergerak secara simultan,” ujarnya.