Bareskrim Polri mengingatkan publik bahwa yang bisa menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual tidak hanya anak perempuan, tetapi juga anak laki-laki.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap seorang penjual konten pornografi dan dua pelaku pelecehan seksual yang semua korbannya atau berjumlah 12 anak, berjenis kelamin laki-laki. Pengungkapan kasus tersebut memperlihatkan bahwa anak laki-laki juga rentan menjadi korban pelecehan seksual.
”Kalau dulu kita hanya khawatir pada anak perempuan, sekarang ternyata anak laki-laki juga bisa menjadi korban dan lebih berbahaya lagi apabila anak laki-laki itu menjadi korban. Jadi, kami mengimbau kepada warga masyarakat agar benar-benar diperhatikan,” kata Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Adi Vivid Agustiadi Bachtiar dalam jumpa pers, Senin (27/3/2023), di Jakarta.
Ketiga orang yang ditangkap Bareskrim Polri kini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana penyebaran konten asusila dan pornografi anak. Mereka adalah FR (27), FH (23), dan JA (27) yang ditangkap di tiga tempat berbeda, yakni FR ditangkap di Tulungagung, FH di Cirebon, dan JA di Semarang.
Pengungkapan kasus tersebut berawal dari informasi yang diterima dari sebuah lembaga nonpemerintah bernama National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) yang berbasis di Amerika Serikat tentang adanya peredaran foto atau video terutama pornografi anak di media sosial. Informasi tersebut kemudian didalami oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri hingga akhirnya didapatkan nomor kontak, termasuk lokasi para pelaku berada. Kemudian, penyidik menciduk mereka satu per satu.
Dari penyidikan, tersangka FR disebut merupakan penjual konten pornografi yang melabeli kontennya dengan judul ”bokep bocil viral hot” dan menjualnya di Telegram. Jika ada pihak yang tertarik, FR akan meminta dikirimkan sejumlah uang terlebih dahulu, baru kemudian memasukkan pihak tersebut ke dalam grup Telegram. Dari jual beli tersebut, FR mendapatkan uang sekitar Rp 5 juta dalam sebulan.
Menurut Adi, penyidik sempat bertanya kepada FR alasan menjual konten pornografi anak yang kesemuanya adalah laki-laki. FR menyebutkan, konten semacam itu justru lebih banyak digemari dan laku dijual dibandingkan dengan konten pornografi ”normal”. Namun, FR disebut hanya sebagai penjual konten pornografi, bukan pelaku pelecehan atau kekerasan seksual kepada anak.
Adapun FH dan JA merupakan pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan jumlah korban masing-masing 6 orang sehingga total 12 anak menjadi korban. Dari penyidikan, JA mengaku mendapatkan ide setelah banyak menonton film. Sebelum melakukan perbuatan asusila, JA memberi makanan kecil kepada korbannya, kemudian perbuatannya dengan korban direkam dan disimpan.
Sementara FH mengaku melakukan perbuatan asusila dan merekamnya. Sebab, ketika masih berusia 7 tahun, yang bersangkutan mengalami sebagai korban. Menurut FH, yang dilakukannya sekarang sama persis dengan yang dilakukan terhadap dia ketika masih kecil. ”Semua korban adalah laki-laki. Saudara JA (sudah melakukan perbuatan itu) kurang lebih 2 tahun, (sementara) Saudara FH 3 tahun,” kata Adi.
Dengan pengungkapan kasus tersebut, Adi mengimbau masyarakat, khususnya para orangtua, agar benar-benar mendampingi dan memperhatikan anaknya. Sebab, peristiwa ini semakin menegaskan bahwa yang bisa menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki.
Tidak hanya itu, kata Adi, kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak biasanya justru dilakukan oleh orang di sekitar atau yang sudah dikenal, bukan orang asing. Ini karena orang yang dikenal tidak akan dicurigai. ”Kenapa orang dikenal? Supaya mudah dihasut. Artinya, lakukan pengawasan yang lebih mendalam lagi kepada anak-anak kita,” ujar Adi.
Atas perbuatannya, penyidik menjerat para tersangka dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2026 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU No 44/2008 tentang Pornografi, serta UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, mengapresiasi kerja keras dan kerja cepat dari kepolisian. Pasalnya, jika tidak segera ditindak, akan semakin banyak anak yang menjadi korban.
”Kami mengharapkan agar selanjutnya anak-anak yang menjadi korban segera kita data untuk mendapatkan perlindungan psikologis. Sebab, korban kekerasan seksual akan mengalami trauma. Jangan sampai timbul di hati mereka untuk melakukan hal yang sama,” ujar Kawiyan.
Melalui kasus tersebut, Kawiyan berharap agar orangtua selalu mendampingi anak-anaknya ketika mengakses media sosial dan mengarahkan agar menghindari konten pornografi. Sebab, saat ini konten pornografi mudah didapatkan melalui media sosial.