Kesepakatan ”Status Quo” Daerah Pemilihan dan ”Sentilan” dari MK
”Kami, Mahkamah hanya ingatkan DPR bahwa terkait dengan dapil (daerah pemilihan) sudah ada putusan MK. Tolong ini direnungkan,” ujar hakim konstitusi Saldi Isra dalam sidang uji materi Undang-Undang Pemilu.
- Mahkamah Konstitusi mengingatkan DPR bahwa sudah ada putusan MK terkait daerah pemilihan atau dapil.
- Peringatan ini dinilai menjadi ”sentilan” bagi DPR karena ingin tetap menggunakan dapil sesuai Lampiran III dan IV UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
- DPR didorong mendengar peringatan dari MK.
Hakim konstitusi Saldi Isra memberi sejumlah catatan kepada perwakilan DPR dan pemerintah yang memberi pandangan terkait sistem pemilu dalam sidang uji materi Undang-Undang Pemilu, Kamis (26/1/2023). Satu di antara catatan itu mengingatkan DPR soal putusan uji materi Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkait daerah pemilihan (dapil) DPR RI dan DPRD provinsi.
Saldi menyebut dalam keterangan yang dibacakan oleh perwakilan DPR, mereka menegaskan agar MK konsisten mempertahankan putusan sebelumnya. Saldi menegaskan tidak akan mengomentari hal tersebut, tetapi ia juga menyampaikan bahwa dalam keterangan DPR, MK juga menemukan rekomendasi antara Komisi II DPR bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
”Kami Mahkamah hanya ingatkan DPR bahwa terkait dengan dapil sudah ada putusan MK. Tolong ini direnungkan. Dua substansinya, memperbaiki dapil dengan alasan-alasan yang dinyatakan dalam putusan MK dan itu ditetapkan dengan peraturan KPU,” kata Saldi mengingatkan.
Ia menekankan pentingnya DPR menimbang hal ini agar tidak menjadi masalah di kemudian hari jika kemudian muncul sengketa pemilu. ”Ini poin harus dipikirkan teman-teman di DPR. Jangan ini menjadi titik lemah orang mempersoalkan tahapan yang sudah dijalankan sedemikian panjang. Ini tidak usaha dijawab. Ini pengingat saja dari MK karena ada dalam keterangan yang dikemukakan di sini,” kata Saldi.
Sebelumnya, dalam putusan uji materi yang dibacakan 20 Desember 2022, MK mengembalikan kewenangan penyusunan daerah pemilihan atau dapil dan penentuan alokasi kursi di dapil untuk pemilihan anggota DPR/DPRD provinsi menjadi kewenangan Komisi Pemilihan Umum. MK dalam putusannya menyatakan lampiran III dan IV UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Adapun Lampiran III berisi dapil dan alokasi kursi DPR RI, sedangkan Lampiran IV berisi dapil DPRD provinsi.
KPU sempat membentuk tim untuk mengkaji penataan dapil. Namun, dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR bersama KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri, 11 Januari 2023, tercapai sebuah kesimpulan; dapil DPR RI dan DPRD provinsi tidak berubah sehingga di Pemilu 2024 masih menggunakan dapil lama di Lampiran III dan IV UU Pemilu.
Sentilan MK
Direktur Eksekutif Kata Rakyat Alwan Ola Riantoby, Sabtu (28/1/2023), menilai ”sentilan” yang dilontarkan Hakim MK Saldi Isra kepada DPR menunjukkan bahwa lembaga penjaga konstitusi tersebut sedang menjaga marwah lembaganya. Sebab, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga harus dipatuhi dan dijalankan oleh pembentuk dan pelaksana undang-undang. Sikap DPR yang enggan mengubah dapil dan alokasi kursi bisa dinilai sebagai bentuk pengabaian putusan MK.
”Teguran dari Saldi sudah tepat karena jika putusannya tidak dijalankan, bisa meruntuhkan marwah kelembagaan MK dan menegasikan kerja-kerja MK,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Alwan, DPR mesti segera menindaklanjuti putusan tersebut dengan menyepakati perubahan dapil dan alokasi kursi yang pernah diajukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Terlebih, masih ada waktu sebelum batas akhir tahap pendapilan 9 Februari sehingga kesempatan untuk menata ulang dapil dan alokasi kursi sesuai prinsip-prinsip penyusunan dapil bisa dilakukan.
Sikap DPR yang tidak mau menyusun ulang dapil dan alokasi kursi DPR dan DPRD Provinsi yang disepakati oleh KPU justru membuat kontestasi di Pemilu 2024 tidak adil. Sebab dapil untuk DPRD kabupaten/kota diubah oleh KPU, tetapi dapil DPR RI dan DRPD provinsi tidak diubah.
Padahal, argumentasi perubahan dapil di tengah tahapan juga berlaku untuk kontestan di Pileg DPRD kabupaten/kota. Faktor perubahan penduduk juga semestinya berlaku di semua wilayah dalam berbagai tingkatan dapil pileg.
Kesepakatan tiba-tiba
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II bersama penyelenggara pemilu dan pemerintah, 11 Januari 2023, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung tiba-tiba menyampaikan hasil rapat internal mengenai daerah pemilihan. Padahal, dalam RDP yang membahas tahapan pemilu serentak 2024 tersebut, KPU belum memaparkan simulasi daerah pemilihan dan alokasi kursi kepada DPR.
Saat itu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, KPU akan secara khusus membicarakan penyusunan dapil dan alokasi kursi dalam rapat konsinyering yang dijadwalkan setelah pelaksanaan RDP tersebut. Sebab putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 tentang Pembentukan Dapil telah mengembalikan kewenangan penyusunan dapil anggota DPR dan DPRD provinsi ke KPU.
”Soal dapil, kami sudah rapat internal. Kami sudah menyepakati untuk dapil DPR RI dan DPRD provinsi, sikap kami adalah tidak ada perubahan, sama dengan lampiran di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Jadi itu saya perlu sampaikan mewakili teman-teman yang sudah mengambil keputusan kemarin. Itu beberapa hal catatan yang perlu saya sampaikan di awal menjadi kesepakatan kami sebelumnya,” ujar Doli.
Meskipun belum pernah dibahas dalam forum konsultasi resmi, Doli mengatakan sudah berkomunikasi secara informal mengenai dapil yang disimulasikan KPU. Menurut dia, pilihan Komisi II DPR ada dalam salah satu dari empat simulasi dapil yang diajukan KPU.
Pimpinan Komisi II DPR yang lain juga menimpali pernyataan Doli. Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mengatakan, MK tidak memerintahkan KPU melakukan penataan dapil. Putusan itu hanya memberikan kewenangan penataan dapil dan alokasi kursi dikembalikan kepada KPU.
”Ndak usah sudah menunjuk tim-tim segala macam ini, gak usah bentuk tim, kita saja diskusi. Kami kan punya dapil masing-masing, bapak tinggal tanya (misalkan) Pak Saan Mustopa ini perlu gak dapilnya dimekarkan. Gak perlu uji publik. Saya sudah bolak balik turun, masak bapak mekarkan, mampus saya,” kata politikus PDI-P itu.
Keputusan Komisi II DPR itu pun akhirnya dituruti oleh KPU. Dalam kesimpulan RDP yang sudah disiapkan oleh DPR, KPU dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian hanya menyanggah redaksional. Sementara terkait materi, semua pihak menyepakati usulan Komisi II DPR yang tidak ingin dapil DPR dan DPRD provinsi berubah dan menggunakan dapil lama seperti di lampiran III dan IV UU Pemilu.
Baca juga: Gunakan Dapil Lama, KPU Dinilai Tak Patuhi Putusan MK
Padahal, materi dalam Lampiran III UU Pemilu yang mengatur mengenai dapil dan alokasi kursi anggota DPR menunjukkan disproporsionalitas alokasi kursi ke 34 provinsi di Indonesia. Hasil analisis Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi sebagai pemohon uji materi pasal terkait dapil menunjukkan, hanya 17 provinsi yang memiliki keberimbangan antara jumlah penduduk dan jumlah alokasi kursi DPR ke provinsi. Sementara 12 provinsi kelebihan representasi dan 5 provinsi kurang representasi.
Pemilu 2019 juga menunjukkan terjadi ketimpangan harga suara yang signifikan. Misalnya, dapil Jawa Timur XI yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep dengan alokasi delapan kursi menjadi dapil dengan harga kursi tertinggi. Untuk mendapatkan satu kursi, perolehan suara minimalnya 212.081 suara. Sementara di dapil Kalimantan Utara, harga satu kursi 37.616 suara.
Beberapa dapil anggota DPR pada Pemilu 2019 juga tidak sesuai dengan prinsip penataan dapil yang diatur dalam Pasal 185 UU Pemilu. Dapil Jawa Barat III dan Kalimantan Selatan II tidak memenuhi prinsip integralitas wilayah karena wilayah dapilnya tidak berbatasan langsung dengan kabupaten/kota dalam dapil tersebut.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa yang juga Ketua DPW Nasdem Jabar memahami kondisi ini. Namun, ia tetap memilih bertahan dengan dapil yang lama dengan dalih pemungutan suara yang sudah dekat dan parpol sudah menyiapkan caleg di dapil-dapil tertentu.
Anggota KPU, Idham Holik, menyatakan, penggunaan dapil lama sudah sesuai dengan prinsip kesinambungan. Secara khusus soal dapil Jabar III yang disebut sebagian pihak melanggar prinsip integralitas wilayah, ia menilai dapil tersebut tetap memenuhi ketentuan prinsip ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional serta proporsionalitas.
KPU, lanjutnya, juga mengupayakan penyusunan dapil diupayakan bisa memenuhi seluruh prinsip penyusunan dapil dengan pertimbangan khusus sesuai dengan ragam prinsip penataan dapil. ”Kumulatif tidak dimaknai seluruhnya,” katanya.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, Perludem menyayangkan keputusan KPU tersebut. Sebab gagasan untuk mengevaluasi kembali dapil dan alokasi kursi sudah dilakukan sejak Pemilu 2004, tetapi ketika kewenangan itu dikembalikan ke KPU, justru tidak dimanfaatkan untuk melakukan perbaikan.
Menurut dia, ada konflik kepentingan ketika dapil diatur oleh peserta pemilu. Sebab dapil yang menjadi arena kontestasi merupakan salah satu variabel penting yang memengaruhi perolehan kursi parpol di parlemen. Masing-masing parpol pasti sudah punya simulasi dan hitung-hitungannya sehingga kalau ada yang berubah, kemungkinan perolehan kursinya pun ikut berubah.
”KPU sebagai lembaga yang independen harus mandiri dalam mengambil keputusan karena konsultasi dengan DPR sifatnya tidak mengikat,” ucapnya.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Charles Simabura menilai Peraturan KPU tentang dapil yang materinya sama dengan lampiran III dan IV berpotensi menjadi obyek gugatan ke Mahkamah Agung. Sebab bisa jadi ada calon anggota legislatif yang merasa dirugikan atas dapil tersebut sehingga meminta aturan tersebut dibatalkan. Bahkan kondisi ini bisa mengakibatkan ketidakpastian hukum, terlebih gugatannya dilakukan setelah tahapan penyusunan dapil sehingga bisa mengganggu tahapan pemilu.
Pilihan KPU untuk mengikuti permintaan DPR, menurutnya, menunjukkan penyelenggara pemilu telah kehilangan posisi hukumnya. Mereka lebih mempertimbangkan posisi politik dibandingkan menjalankan putusan MK untuk menyusun dapil sesuai prinsip yang telah ditetapkan undang-undang.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, mengatakan, selama ini tidak ada kriteria yang jelas dalam mengalokasikan kursi. Akibatnya, ada dapil yang kelebihan kursi dan ada yang dianggap kekurangan kursi. Namun, pengalokasian kursi semestinya tetap dilakukan KPU karena ada banyak model yang bisa diterapkan dalam penyusunan dapil dan alokasi kursi.
Prinsip yang dipegang parpol adalah tidak ingin dapilnya berubah karena tidak ingin kursinya berkurang bertantangan dengan kedaulatan rakyat. ”Kalau dapilnya dan alokasi kursinya tidak berubah, artinya KPU mengabaikan semua orang Indonesia yang dapilnya under-representative dan over-representative.”