Gunakan Dapil Lama, KPU Dinilai Tak Patuhi Putusan MK
Kendati sudah menyimulasikan empat model daerah pemilihan (dapil), KPU akhirnya memutuskan tidak mengubah dapil anggota DPR dan DPRD provinsi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum dinilai tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi karena mempertahankan daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi sama dengan ketentuan dalam Lampiran III dan IV Undang-Undang Pemilu yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pilihan ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum karena Peraturan KPU tentang dapil rentan dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, di Jakarta, Kamis (12/1/2023), mengatakan, rapat dengar pendapat (RDP) dan rapat konsinyering tentang penyusunan daerah pemilihan (dapil) antara KPU dan Komisi II DPR menyepakati daerah penetapan dapil DPR dan DPRD provinsi sama dan tidak berubah seperti dalam Lampiran III dan IV Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sementara dapil DPRD kabupaten/kota akan dibahas lebih lanjut bersama-sama antara KPU dan Komisi II DPR.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Nanti rancangan Peraturan KPU tentang penataan dapil DPR dan DPRD provinsi akan terlebih dahulu didiskusikan dalam diskusi kelompok terpumpun dan selanjutnya akan diujipublikkan dan dikonsultasikan dengan DPR,” katanya.
Menurut Idham, penggunaan dapil lama, seperti digunakan di Pemilu 2019, tidak bertentangan dengan salah satu dari tujuh prinsip penataan dapil yang diatur di UU Pemilu, yaitu prinsip kesinambungan. KPU juga mengupayakan penyusunan dapil diupayakan bisa memenuhi seluruh prinsip penyusunan dapil dengan pertimbangan khusus sesuai dengan ragam prinsip penataan dapil. ”Kumulatif tidak dimaknai seluruhnya,” katanya.
Pilihan untuk menggunakan dapil yang sama dengan di Lampiran III dan IV UU Pemilu sesuai dengan salah satu simulasi yang diajukan KPU. Pilihan ini juga disepakati penyelenggara pemilu dan pemerintah.
Dalam Pasal 185 UU Pemilu disebutkan, penyusunan dapil anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memperhatikan tujuh prinsip. Ketujuh prinsip itu adalah kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas, dan kesinambungan.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menuturkan, pilihan untuk menggunakan dapil yang sama dengan di Lampiran III dan IV UU Pemilu sesuai dengan salah satu simulasi yang diajukan KPU. Pilihan ini juga disepakati penyelenggara pemilu dan pemerintah.
Pilihan tersebut diambil karena saat ini sudah masuk tahapan pemilu sehingga parpol telah melakukan persiapan-persiapan berdasarkan aturan yang sudah ada. Jika dilakukan perubahan dapil, pembahasannya membutuhkan energi dan waktu yang lama. Sebab, pembahasan tidak lagi obyektif, tetapi setiap parpol dan calon anggota legislatif memiliki kepentingan masing-masing.
”Ada tarik-menarik kepentingan sehingga sulit mencari titik temu, bahkan membutuhkan waktu yang lama sehingga dikhawatirkan mengganggu tahapan,” kata Doli.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai, KPU tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena memilih menggunakan dapil DPR dan DPRD yang lama. Sebab, dalam putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 tentang Pembentukan Dapil disebutkan, dapil DPR dan DPRD provinsi diatur dalam Peraturan KPU. Lampiran III dan Lampiran IV UU Pemilu yang berisi tentang dapil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
”Karena putusan MK itu didasarkan pada pertimbangan ada dapil existing yang tidak sesuai dengan prinsip penyusunan dapil. Itu salah satu legal reasoning-nya MK,” kata Fadli.
Ia menilai, prinsip penyusunan dapil yang diatur di Pasal 185 UU Pemilu sifatnya kumulatif sehingga semua prinsip harus dipenuhi. Jika hanya prinsip kesinambungan yang dipenuhi, dapil yang digunakan di Pemilu 2024 tetap bermasalah, bahkan menimbulkan ketidakpastian hukum karena produk berupa Peraturan KPU rentan untuk dibatalkan.
”Peraturan KPU tidak boleh bertentangan dengan putusan MK. Jika nanti Peraturan KPU digugat ke Mahkamah Agung, sangat potensial akan dibatalkan karena tidak patuh pada putusan MK,” ucap Fadli.
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menambahkan, kemandirian KPU sedang diuji. Sebab, MK telah menegaskan bahwa kesimpulan konsultasi dengan DPR dan pemerintah sifatnya tidak mengikat. Kemandirian dan profesionalitas KPU tetap dijamin untuk mengambil keputusan dan membuat kebijakan sesuai dengan apa yang menjadi keyakinan KPU.
”DPR mestinya menghormati MK, apalagi di tengah sorotan publik terhadap kondisi dunia hukum yang tidak terlalu baik. Penghormatan DPR akan menjadi teladan bagi semua pihak. Sebaliknya, pengabaian DPR pada putusan MK bisa berdampak buruk terhadap DPR dan citra Pemilu 2024. Hal itu bisa semakin membuat publik apatis di tengah berbagai dinamika problematik yang dihadapi KPU saat ini,” katanya.