Tindak Lanjuti Putusan MK, Bawaslu Akan Perketat Pengawasan Menteri yang Maju Pilpres 2024
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, Rabu kemarin, mengatakan, pengawasan menteri yang maju sebagai capres dan cawapres akan mirip dengan masa pemilihan kepala daerah sebelum pilkada serentak. Semuanya berpedoman pada UU Pemilu,
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu akan meningkatkan pengawasan terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang terbaru mengenai menteri yang akan maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden tidak perlu mundur, tetapi harus mendapatkan izin dari presiden. Bawaslu akan memperketat pengawasan politisasi birokrasi, penyalahgunaan anggaran dan wewenang menteri yang cuti untuk maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden.
Hal itu diungkapkan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja saat dihubungi pada Rabu (2/11/2022). Bagja mengatakan, pengawasan menteri yang maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden akan mirip dengan masa pemilihan kepala daerah sebelum pilkada serentak. Pada saat itu, kepala daerah inkumben hanya perlu cuti, dan tidak perlu mundur dari jabatan. Bawaslu di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN) melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Menteri Dalam Negeri, Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi Aparatur Sipil Negara. SKB Lima Kementerian dan Lembaga sudah diteken untuk mewaspadai keberatan masyarakat mengenai isu politisasi birokrasi di kementerian terkait.
”Kami sudah punya pengalaman di pilkada, maka pengawasan akan lebih ketat. Kami antisipasi ke depan baik kementerian di level pusat dan daerah. Kementerian, kan, jarang yang sampai ke level daerah. Memang ini akan menambah berat pengawasan, tetapi strateginya sudah kami siapkan dari sekarang,” katanya.
Bagja juga menyebut bahwa Bawaslu juga akan menyusun indeks kerawanan untuk antisipasi penyalahgunaan anggaran dan wewenang di kementerian terkait itu.
Kami sudah punya pengalaman di pilkada, maka pengawasan akan lebih ketat. Kami antisipasi ke depan baik kementerian di level pusat dan daerah. Kementerian, kan, jarang yang sampai ke level daerah. Memang ini akan menambah berat pengawasan, tetapi strateginya sudah kami siapkan dari sekarang.
Terkait dengan masa kampanye yang pendek, yaitu 75 hari, Bawaslu akan berbicara dengan KPU untuk mengatur masa jeda antara penetapan calon presiden dan sebelum masa kampanye. Ini dikhawatirkan memicu kampanye di luar jadwal. Oleh karena itu, akan ada masa sosialisasi yang diatur secara jelas ke depan.
Bawaslu ingin aturan tak terlalu ketat karena parpol juga harus menikmati sosialisasi dengan baik dan masa kampanye menjadi meriah. Dia tak ingin aturan terlalu ketat membuat masa kampanye akhirnya tidak meriah.
”Yang tidak boleh meriah adalah hoaks di media sosial. Menyampaikan visi dan misi secara langsung harus diatur agar tidak menyalahi aturan. Saling serang dan fitnah itu yang tidak boleh,” ujar Bagja.
Yang tidak boleh meriah adalah hoaks di media sosial. Menyampaikan visi dan misi secara langsung harus diatur agar tidak menyalahi aturan. Saling serang dan fitnah itu yang tidak boleh.
Sementara itu, anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, menambahkan, pada dasarnya Bawaslu mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan tugas pengawasan tahapan pemilu. Bawaslu akan melakukan pemetaan potensi kerawanan, baik sebelum maupun setelah ada penetapan peserta pemilihan presiden dan wakil presiden yang berkedudukan sebagai menteri. Setelah kerawanan terpetakan, Bawaslu akan melakukan sosialisasi maupun imbauan kepada para pihak untuk berkomitmen tidak melakukan penyalahgunaan kewenangan.
”Selanjutnya, dalam setiap tahapan yang melibatkan para peserta tersebut, Bawaslu akan melakukan pengawasan melekat terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan maupun dalam bentuk penyalahgunaan fasilitas negara,” katanya.
Jika terdapat laporan dan hasil pengawasan yang memenuhi alat bukti, Bawaslu akan menindaklanjuti melalui mekanisme penanganan pelanggaran administratif pemilu.
Pedoman UU Pemilu
KPU berpedoman pada Pasal 281 dan Pasal 282 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 281 UU Pemilu mengatur kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan.
Anggota KPU, Idham Holik, berpandangan, KPU berpedoman pada Pasal 281 dan Pasal 282 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 281 UU Pemilu mengatur kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, mereka juga harus menjalani cuti di luar tanggungan negara. Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara.
”Ketentuan lebih lanjut mengenai keikutsertaan pejabat legara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU,” kata Idham.
Selain itu, dalam Pasal 282 juga disebut bahwa pejabat negara, pejabat struktural, pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Larangan itu meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. (DEA)