Gagal Nikah, Pemuda Gugat UU Perkawinan ke MK
Kisah pernikahan terganjal akibat beda agama bukan hal baru di masyarakat. Ada yang mengakhirinya. Ada yang menikah dua kali menurut agama masing-masing. Namun, pemuda Papua ini memilih menggugat UU Perkawinan ke MK.
Kisah cinta E Ramos Petege, pemuda dari Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Dogiyai, Papua, kandas. Meski telah menjalin asmara dengan sang kekasih selama 3 tahun, impian untuk mengayuh biduk rumah tangga berdua harus dilepas. Persoalannya, beda keyakinan.
Ramos yang beragama Katolik batal melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya yang beragama Islam.
Kisah tersebut sudah pasti bukan sesuatu yang baru di tengah masyarakat kita. Banyak pasangan sudah bertahun-tahun pacaran, tetapi gagal ke pelaminan karena faktor keyakinan. Yang membedakan, pasangan-pasangan tersebut berpisah begitu saja kemudian melanjutkan hidup dengan mencari pasangan baru atau menjomblo beberapa saat. Sebaliknya, Ramos membawa persoalan cintanya tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia mempersoalkan akar penyebab kegagalan ia memperistri pacarnya, yaitu Pasal 2 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 mengatur perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Adapun Pasal 8 huruf f mengatur larangan perkawinan beda agama.
Ramos yang didampingi pengacara dari kantor hukum Leo & Partnets dengan mottonya ”We Defend Your Constitutional Rights” mendalilkan, kegagalan perkawinan Ramos terjadi akibat adanya intervensi golongan yang diakomodir oleh negara melalui UU Perkawinan. Pasal 2 di undang-undang itu mengakibatkan kerugian faktual dan nyata terhadap Ramos.
Ramos dan kuasa hukumnya pun mempersoalkan frasa ”hukum masing-masing agama dan kepercayaannya” di dalam Pasal 2 tersebut yang dinilainya multitafsir. Tafsir pertama, perkawinan beda agama diperkenankan sepanjang mengikuti tata cara yang diatur oleh salah satu agama atau kepercayaan yang dianut calon. Tafsir kedua, perkawinan dilangsungkan oleh pasangan yang memiliki agama atau kepercayaan sama.
Kegagalan perkawinan Ramos terjadi akibat adanya intervensi golongan yang diakomodir oleh negara melalui UU Perkawinan.
Baca Juga: Saat Wapres Amin Ditanya soal Ganja hingga Nikah Beda Agama
Menurut pemerintah, pasal-pasal tersebut justru memberi kepastian hukum bagi tiap orang yang akan melaksanakan perkawinan sesuai dengan hukum perkawinan agama dan kepercayaan yang dianut. Bukan dengan cara melaksanaan perkawinan beda agama.
Baik pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), MUI, maupun DDI meminta MK untuk menolak permohonan tersebut. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin, yang mewakili pemerintah dalam persidangan di MK, mengungkapkan, tidak benar bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan mengandung ambiguitas pengaturan. Menurut pemerintah, justru pemohonlah yang telah keliru menafsirkan kemerdekaan dan kebebasan beragama di dalam Pasal 29 UUD 1945 dengan menafsirkannya sebagai diperbolehkannya perkawinan beda agama.
Hingga menjelang akhir Juli 2022, MK sudah menggelar enam kali persidangan untuk perkara ini. Selain dua kali sidang pemeriksaan pendahuluan, MK juga sudah menggelar sidang untuk mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan sejumlah pihak terkait, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), serta keterangan ahli dan saksi dari pemohon.
Ambiguitas keabsahan perkawinan dalam Pasal 2 dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan dinilai bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin oleh Pasal 29 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketidakpastian hukum yang diakibatkan oleh pengaturan seperti itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 28B Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1) dan (2), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1) dan (2), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
MUI yang diwakili Arovah Windiani dalam sidang pada 15 Juni lalu meminta MK menolak permohonan Ramos. Sebab, ada authoritative source yang kuat untuk keberadaan Pasal 2 dan 8 huruf f UU No. 1/1974, yaitu alinea ketiga dan keempat Pembukaan UUD 1945, serta batang tubuh Pasal 29 Ayat (1).
Baca Juga: Menilik Uji Materi Undang-Undang Perkawinan
Menurut MUI, ketentuan yang menyatakan pengesahan perkawinan mengacu pada hukum agama diterima oleh masyarakat. Buktinya, hingga kini, UU Perkawinan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat dari agama apa pun.
Jalan tengah
Tak dapat dipungkiri perkawinan beda agama banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat. Belum lama ini, pasangan RA dan EDS, masing-masing beragama Islam dan Kristen, mempersoalkan keabsahan pernikahan mereka secara administratif ke pengadilan karena gagal mencatatkan perkawinannya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya, Jawa Timur. Hal itu diperkarakan ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Dalam putusannya tanggal 26 April 2022, hakim tunggal PN Surabaya saat mengadili perkara nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby itu memberi izin kepada para pemohon untuk melangsungkan pernikahan berbeda agama di Kantor Dinas Dukcapil Surabaya. PN juga memerintahkan pegawai kantor dinas untuk mencatat perkawinan beda agama itu ke dalam Register Pencatatan Perkawinan.
Putusan tersebut sempat menjadi isu hangat di masyarakat. Ada yang mengkritik dan bahkan meminta Komisi Yudisial memeriksa hakim yang menjatuhkan putusan tersebut. Ada pula yang mendukung.
Hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dalam persidangan sebelumnya mengungkapkan, sebenarnya perkawinan antaragama secara empirik banyak terjadi. ”Di dalam masyarakat bahkan yang terjadi itu karena pernikahan beda agama kemudian melakukan pernikahan dua kali. Menurut agama dari suaminya, kemudian juga menurut agama dari istrinya. Dari perspektif pemerintah tadi tegas menyatakan bahwa itu haram, tetapi dalam kenyataannya justru terjadi di Indonesia,” tuturnya.
Ia pun meminta kepada Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri agar menyediakan data perkawinan antaragama selama ini. Ini untuk mengetahui jalan tengah yang ada seperti apa.
Hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dalam persidangan sebelumnya mengungkapkan, sebenarnya perkawinan antaragama secara empirik banyak terjadi.
Baca Juga: Bahagia Dulu, Beda Agama Kemudian
Hakim konstitusi Suhartoyo, di dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR, mengungkapkan bahwa semua pihak memahami bahwa pernikahan beda agama tertutup untuk dipraktikkan, baik dalam tata cara maupun pencatatannya. Itu menjadi semangat Pasal 2 UU Perkawinan. Kalaupun kemudian ada pencatatan, hal itu dilakukan setelah ada keputusan presiden atau putusan pengadilan yang sifatnya memaksa dilakukan pencatatan. Menurut dia, hal itu sebenarnya bermula dari adanya kekosongan hukum atau rechtsvacuum. UU Perkawinan lahir dari semangat yang ada pada masa itu.
Padahal, pada 2019, UU Perkawinan tersebut mengalami revisi. Suhartoyo pun menanyakan kepada pembentuk undang-undang dalam hal ini pemerintah dan DPR apakah ada Pasal 2 UU Perkawinan tersebut dibicarakan ataukah tidak. MK ingin menggali bagaimana pandangan-pandangan yang muncul ketika itu dan apakah ada jalan tengah untuk persoalan tersebut.
”Apakah tetap statis seperti 1973 ataukah sudah ada konteks kekinian yang sebenarnya juga menjadi bahan kajian bersama ketika dilakukan perubahan UU No 1/1974,” ujarnya. Sebab, pemerintah dalam hal ini tidak menyediakan ruang sebagai jalan tengah meskipun praktik pernikahan beda agama terjadi di masyarakat.
Anggota Komisi III DPR yang hadir dalam persidangan itu, Arsul Sani, mengungkapkan, revisi UU Perkawinan sama sekali tidak menyentuh Pasal 2 UU No 1/1974. Revisi yang dilakukan lebih banyak membahas tentang kenaikan batas usia perkawinan, khususnya untuk perempuan.
Meskipun demikian, Arsul mengaku pihaknya menerima aspirasi dari beberapa elemen masyarakat agar pembentuk undang-undang bisa melegalkan perkawinan beda agama dengan mengamandemen Pasal 2 UU Perkawinan. Namun, mayoritas fraksi di DPR sepakat mempertahankan politik hukum di Pasal 2 UU tersebut dan belum terpikir untuk mengubahnya.
”Lalu bagaimana jalan keluarnya. Saya kira jalan keluarnya memang ini harus kita pikirkan bersama-sama karena ini masalah sensitif. Artinya, kalau kemudian politik hukum berubah akan banyak hal yang saya kira yang menimbulkan gelombang pertentangan dari masyarakat. Sebagian atau bahkan mayoritas masyarakat kita akan menyampaikan bahwa kita-kita ini yang ada di lembaga negara pembentuk undang-undang ini bisa disebut juga sebagai telah melanggar kesepekatan bernegara kita ketika negara ini dibentuk,” papar Arsul.
MK pada 2014 pernah menolak melegalkan perkawinan beda agama. Ketika itu, MK menolak permohonan yang diajukan oleh beberapa mahasiswa dan konsultan hukum untuk perkara 68/PUU- XII/2014. Pasal 2 UU Perkawinan dinyatakan konstitusional. Tidak ada pelanggaran hak konstitusional, termasuk hak untuk dijamin kebebasan beragamanya dan menjalankan agamanya.
Saat ini, ketika ada warga negara yang memohon hal serupa, mungkinkah MK akan mengubah pandangannya? Kita tunggu saja.