Visi Indonesia Maju 2045 akan sulit tercapai tanpa inovasi di bidang teknologi serta pembangunan sumber daya manusia. Kolaborasi para pemangku kepentingan menjadi prasyarat lain untuk mewujudkan Indonesia maju pada 2045.
Oleh
Susana Rita Kumalasanti
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan, termasuk swasta, menjadi hal penting untuk dapat mewujudkan cita-cita Indonesia maju pada 2045. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bangsa ini untuk bisa melompat menjadi negara adidaya, seperti terus mengembangkan inovasi dan teknologi, membangun sumber daya manusia yang unggul, serta berinvestasi di bidang kesehatan dan pendidikan. Semua itu tak dapat dikerjakan hanya oleh pemerintah.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi dan peluncuran buku Indonesia Menuju 2045 yang merupakan kerja sama Lemhannas, CSIS, harian Kompas dan Penerbit Buku Kompas, Rabu (6/10/2021). Diskusi yang digelar secara luring dan daring itu dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Gubernur Lemhannas Letjen (Purn) Agus Widjojo, Direktur CSIS Philips J Vermonte, Direktur Corporate Communication KG Glory Oyong, dan salah seorang anggota tim penulis buku, Nugroho Dewanto.
Gambaran dunia pada 2045, menurut Philips, telah dirumuskan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tak hanya terjadi gelombang urbanisasi di seluruh dunia, pada tahun 2045 diprediksikan kompetisi di bidang teknologi juga kian sengit. Lanskap geopolitik dan geoekonomi berubah, dengan Asia akan memegang peranan utama.
Sementara Indonesia mulai mendapatkan manfaat dari bonus demografi. Penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 318 juta jiwa dengan jumlah usia produktif lebih banyak dibandingkan usia nonproduktif.
Philips mengungkapkan, untuk mencapai Indonesia maju pada 2045, hal pertama yang penting dikembangkan adalah ekonomi berbasis inovasi dan teknologi. Mengutip buku The Rise and Fall of the Great Powers karya sejarawan Paul Kennedy, negara-negara superpower akan runtuh jika terjebak dalam konflik dan perang berkepanjangan. Sebab, konflik akan menggerogoti sumber-sumber ekonomi. Sementara negara akan menjadi besar apabila melahirkan inovasi dan kemajuan teknologi.
”Itu prasyarat utama. Tidak ada negara besar yang tidak melahirkan inovasi teknologi,” kata Philips.
Ia mencontohkan Korea Selatan, yang selain maju dengan K pop-nya, juga terus-menerus mengembangkan riset dan inovasi. Pengeluaran untuk riset di negara tersebut mencapai 4,1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara pengeluaran untuk riset di Indonesia hanya 0,1 persen dari PDB.
”Korea pada tahun 1970-an kondisinya sama seperti kita. Pendapatan per kapitanya tidak jauh berbeda, tingkat kemajuannya tidak jauh berbeda. Tingkat pendidikannya tidak jauh berbeda. Tapi, karena mereka serius dalam spending di bidang teknologi dan riset, lompatannya luar biasa,” ujarnya.
Jumlah peneliti di Indonesia pun sangat jauh tertinggal. Di Indonesia hanya ada 89 peneliti per 1 juta penduduk. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan Korea dengan 6.800 peneliti per 1 juta penduduk, Jepang 5.300 peneliti per 1 juta penduduk, dan Malaysia 2.000 peneliti per 1 juta penduduk.
”Jadi, bagaimana kita mau mendorong kultur riset dan inovasi secara sungguh-sungguh karena dari situlah awal mula inovasi di semua bidang. Tidak hanya inovasi di bidang teknologi, tapi juga riset sosial, riset budaya, riset ekonomi, dan lain-lain yang akan menginformasi kebijakan sehingga kebijakan akan menjadi lebih baik,” ujarnya.
Hanya saja, ia mengingatkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan untuk menciptakan kemajuan teknologi pada 2045. Hal itu tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga tanggung jawab lembaga non-negara, media, dan pemangku kepentingan lain. Di Korea Selatan, anggaran untuk riset yang paling besar bukan dari negara, melainkan instansi swasta.
Sumber daya manusia Indonesia yang unggul akan mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, kesetaraan, keadilan sosial, dan kepuasan bagi bangsa Indonesia. SDM unggul juga akan membentuk pertahanan yang kuat dan merekatkan NKRI secara utuh. Kita tidak akan mudah dipecah belah dan diadu domba. Bangsa ini akan menjadi kekuatan yang luar biasa, yang berdiri sejajar dengan negara lain, dan dihormati dalam percaturan global.
Kesehatan dan pendidikan
Selain teknologi, negara-negara maju, seperti Korea Selatan dan China, juga memberikan perhatian besar pada masalah kesehatan dan pendidikan. Agus Widjojo dalam paparannya mengungkapkan, studi yang dilakukan tim penulis buku mendapati bahwa fondasi kemajuan negara-negara Eropa Barat, Jepang, Korea, dan China adalah pembenahan besar-besaran di bidang kesehatan dan pendidikan.
Negara-negara tersebut memastikan generasi mudanya mendapatkan asupan gizi yang baik sejak di dalam kandungan, mendapat perawatan kesehatan yang bagus, dan memperoleh pendidikan bermutu. Upaya tersebut dilakukan secara paralel dengan pembangunan infrastruktur dan pengembangan inovasi teknologi.
”Melalui metode serupa, kita juga mesti bisa melahirkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan berbudaya. Dalam konteks itu, barulah kita bisa menikmati apa yang disebut bonus demografi,” ujarnya.
Agus menjelaskan, istilah yang tepat untuk bonus demografi sebenarnya adalah dividen demografi (demographic dividend). Hanya melalui investasi yang baik pada generasi muda dalam kesehatan dan pendidikan, bangsa Indonesia akan dapat memetik keuntungan yang setimpal.
”Sumber daya manusia Indonesia yang unggul akan mendatangkan kemakmuran, kesejahteraan, kesetaraan, keadilan sosial, dan kepuasan bagi bangsa Indonesia. SDM unggul juga akan membentuk pertahanan yang kuat dan merekatkan NKRI secara utuh. Kita tidak akan mudah dipecah belah dan diadu domba. Bangsa ini akan menjadi kekuatan yang luar biasa, yang berdiri sejajar dengan negara lain, dan dihormati dalam percaturan global,” tutur Agus.
Dalam kesempatan yang sama, Muhadjir yang memberikan pidato kunci mengungkapkan, pemerintah juga tengah fokus pada pembangunan SDM, meskipun pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo memberi titik tekan pada sektor infrastruktur. Dalam pembangunan SDM, pemerintah kini menitikberatkan pada periode awal usia kehidupan, yaitu dengan program 1.000 hari awal kehidupan (sembilan bulan masa di dalam kandungan hingga usia dua tahun).
”Di masa 1.000 hari awal kehidupan, yang menjadi titik tekan adalah pemberantasan stunting. Karena angka stunting (tengkes) kita masih tinggi, yakni 27,6 persen. Jadi, dari 10 kelahiran, bisa dipastikan tiga anak menderita stunting,” ujarnya. Diharapkan angka stunting pada anak dapat berkurang hingga 14 persen pada 2024.
Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah, saat ini terdapat 54 persen SDM usia produktif yang merupakan eks penderita stunting. ”Padahal, kalau dia sudah kena stunting di 1.000 hari awal kehidupan, diintervensi apa pun, dia tidak bisa optimal. Sehingga, fase inilah yang menjadi perhatian pemerintah,” kata Muhadjir.
Di bidang pendidikan, pemerintah telah memperluas jangkauan pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk usia dua hingga lima tahun (balita). Pemerintah mencanangkan tiap desa memiliki PAUD sehingga kini jumlahnya sudah mencapai 160.000 unit. Jumlah ini meningkat drastis dari sebelumnya hanya 25.000-30.000 PAUD.
Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan pendidikan bagi anak miskin hingga kuliah dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Semula KIP hanya untuk pendidikan dasar dan menengah, tetapi kini juga menjangkau pendidikan tinggi.