Organ Baru KPK dan Pemberantasan Korupsi di Daerah
Setelah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK membentuk perwakilan di daerah dihapuskan, KPK mengutak-atik koordinator wilayah dalam struktur KPK. Efektifkah memberantas korupsi di daerah yang masih marak?
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, pemerintah bersama DPR menghapuskan kewenangan KPK untuk membentuk perwakilan di daerah provinsi yang semula tercantum di Pasal 19 Ayat (2) UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Keinginan bertahun-tahun KPK untuk membentuk perwakilan di daerah yang selalu terganjal oleh keterbatasan anggaran, sarana dan prasarana, dan personel, akhirnya pupus setelah UU No 19/2019 terbit.
Tak hanya berhenti di situ. Melalui Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 7 Tahun 2020, KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, mengutak-atik struktur koordinator wilayah (korwil) yang tugasnya melakukan koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi di daerah.
Struktur organisasi terbaru KPK seperti tertuang dalam perkom, menggeser posisi sembilan korwil yang semula di Kedeputian Penindakan ke kedeputian baru, yaitu Kedeputian Koordinasi dan Supervisi (Korsup). Korwil pun diubah namanya menjadi Direktorat Korsup. Namun, tak lagi berjumlah sembilan tetapi disusutkan menjadi tinggal lima.
Meski demikian, bukan berarti kerja korsup pemberantasan korupsi di daerah lantas surut. Pasalnya, di masing-masing Direktorat Korsup dibentuk satuan tugas (satgas) wilayah.
Setiap provinsi akan ditangani satu satgas wilayah, sehingga total, sekurang-kurangnya 34 satgas akan dibentuk. Jumlah ini bisa lebih banyak karena khusus DKI Jakarta, dapat dibentuk hingga tiga satgas. Ini tak lain karena satgas di DKI Jakarta turut mengawal pemberantasan korupsi di instansi aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dengan setiap provinsi dikawal oleh satgas, fungsi KPK untuk melakukan korsup ditargetkan bisa lebih optimal. Sebab ketika masih berbentuk korwil, setiap korwil dibebani tugas untuk mengawal korsup di tiga hingga empat provinsi.
Sekalipun jumlah pengawal korsup di daerah kian banyak, mereka tetap harus menjalankan tugasnya dari Jakarta. Dihapuskannya kewenangan KPK membentuk perwakilan di daerah membuat satgas tak bisa berkantor di daerah.
Efektivitas kerja
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, saat ditemui Desember 2020, mengatakan, perubahan struktur organisasi KPK itu, merupakan upaya agar koordinasi dan supervisi KPK dalam memberantas korupsi di daerah, lebih efektif.
Pemberantasan korupsi di daerah menjadi salah satu atensi KPK karena korupsi yang masih marak terjadi. Berdasarkan data KPK, korupsi di instansi pemerintah kabupaten/kota menjadi yang tertinggi sejak 2004-2020, yakni dengan 391 kasus. Adapun pemerintah provinsi menduduki peringkat ketiga dengan 145 kasus. Untuk posisi kedua, di kementerian/lembaga dengan 367 kasus.
Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menguatkan hal ini. Dalam laporan pemantauan tren penindakan kasus korupsi Semester I Tahun 2020, ambil contoh, korupsi paling banyak terjadi di pemerintah kabupaten. Sebanyak 62 kasus korupsi terjadi dengan keuangan negara mencapai Rp 64,5 miliar. Tersangka yang ditetapkan oleh penegak hukum berjumlah 150 orang. Latar belakang mereka merupakan aparatur sipil negara (ASN), swasta, anggota DPRD, dan bupati.
Selama ini, lanjut Alexander, dengan posisi korwil di bawah Kedeputian Penindakan membuat fokus kedeputian itu terbelah. Sebab, kedeputian seharusnya fokus pada penanganan kasus-kasus korupsi oleh KPK. Dengan menggesernya ke kedeputian baru yang tugasnya memang koordinasi dan supervisi, maka fungsi itu akan lebih optimal dijalankan KPK. Di sisi lain, Kedeputian Penindakan bisa lebih fokus dalam menjalankan tugasnya. Apalagi kasus yang ditangani KPK saat ini, tak sedikit jumlahnya.
Keraguan
Meski demikian, utak-atik struktur organisasi KPK itu menuai keraguan dari sejumlah pihak akan berhasil memberantas korupsi di daerah.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, mengatakan fungsi korsup untuk daerah, seharusnya tidak dilakukan KPK hanya dari Jakarta. Agar lebih optimal, KPK perlu berkedudukan di daerah. Dengan demikian, KPK dapat lebih intens mengontrol sejauh mana daerah membentuk sistem pencegahan korupsi. KPK juga bisa lebih intens mengawasi agar korupsi tak terjadi. Selain itu, penindakan oleh KPK ketika ada indikasi kuat terjadi korupsi, bisa lebih cepat.
Hal senada disampaikan oleh peneliti ICW, Kurnia Ramadhana. Kelemahan korsup dari Jakarta, menurutnya, telah terlihat saat fungsi korsup di daerah masih dijalankan oleh korwil. "Korwil itu sama sekali tidak menjawab kebutuhan atau fungsinya tidak sama dengan membentuk KPK di daerah. Sebab, lagi-lagi soal koordinasi dan birokrasi akan memperumit situasi," kata Kurnia.
Adapun peneliti Transparency International Indonesia Alvin Nicola, khawatir kerja dari Kedeputian Korsup nantinya tumpang tindih dengan Tim Nasional Pencegahan Korupsi, tim bentukan pemerintah yang bertugas mengawal pembentukan sistem pencegahan korupsi. KPK pun termasuk di dalam tim ini.
Saat Kedeputian Korsup belum dibentuk dan tugas korsup di daerah masih ditangani korwil, menurut Alvin, tumpang tindih itu kerap terjadi. Ini merepotkan pemda karena mereka harus kerja dua kali, satu mengikuti arahan korwil, lainnya mengikuti rekomendasi yang dikeluarkan tim pencegahan korupsi.
Potensi tumpang tindih juga dilihat Alvin rentan terjadi antara Kedeputian Pencegahan dengan Kedeputian Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat. Sama seperti Kedeputian Korsup, Kedeputian Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat baru dibentuk melalui Perkom No 7/2020.
Menurut Alvin, strategi kedua kedeputian akan serupa. Hal tersebut tentu tidak sehat bagi tata kelola organisasi, bahkan bisa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Reformasi sistem
Di luar itu, pemberantasan korupsi di daerah tidak bisa hanya bertumpu pada KPK. Pemerintah bersama DPR seharusnya memahami hal itu. Karena itu, menjadi penting bagi pemerintah dan DPR untuk turut memberantas korupsi dengan coba mengatasi akar korupsi selama ini.
Biaya politik tinggi agar bisa terpilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) misalnya. Djohermansyah mengatakan, tingginya biaya itu membuat mereka yang terpilih dalam pilkada kerap berpikir balik modal saat menjabat. Caranya, dengan korupsi. Oleh karena itu, menjadi penting bagi pembentuk undang-undang, untuk mengevaluasi sistem pilkada sehingga biaya politik yang dikeluarkan oleh para kandidat tak lagi tinggi.
Selain itu, tata kelola di pemda harus dibuat transparan dan akuntabel. Untuk itu, pemanfaatan sistem teknologi informasi seperti diterapkan di Surabaya dan Yogyakarta, seharusnya diadopsi pemda lainnya. Misalnya, dalam pengadaan barang dan jasa dan perizinan di mana tindak pidana korupsi kerap terjadi selama ini.
Hal lain yang penting, menurut hasil penelitian ICW, korupsi masih marak di daerah karena sistem pencegahan korupsi yang tidak berfungsi. Siapa yang seharusnya membentuk sistem ini? Adalah inspektorat di masing-masing pemda. Namun problem yang terjadi selama ini, inspektorat masih menjadi subordinat dari kepala daerah. Alhasil, bisa saja korupsi yang terjadi dibiarkan oleh inspektorat.