Berbagai capaian Kejaksaan RI sepanjang 2020 sama sekali tak menghilangkan catatan negatif. Bahkan, catatan negatif itu justru menutupi prestasi kejaksaan. Seperti kata pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
Berbagai capaian Kejaksaan RI sepanjang tahun 2020 sama sekali tidak menghilangkan catatan negatif. Bahkan, bisa dibilang catatan negatif itu justru menutupi prestasi kejaksaan. Seperti kata pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Dalam rapat kerja Kejaksaan RI beberapa hari yang lalu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memaparkan berbagai capaian Korps Adhyaksa selama setahun terakhir. Sejumlah capaian tersebut bisa dibilang gemilang. Kejaksaan, misalnya, disebut berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp 19,2 triliun. Kejaksaan juga disebutnya mengamankan aset dalam rangka pemenuhan uang pengganti dan denda yang besarnya Rp 149,1 miliar. Selain itu, besarnya kontribusi untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang disebut mencapai Rp 346,1 miliar.
Di luar berbagai capaian yang dipamerkan Burhanuddin di hadapan Presiden Joko Widodo itu, pamor kejaksaan tahun ini juga sempat terangkat setelah berhasil menjerat para koruptor dalam kasus korupsi pengelolaan keuangan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Di tingkat pertama, keenam terdakwa divonis bersalah oleh majelis hakim. Tuntutan jaksa pun dikabulkan hakim sehingga keenam terdakwa divonis pidana penjara seumur hidup. Kasus ini menyita perhatian publik tak pelak karena negara dirugikan hingga lebih dari Rp 16 triliun.
Namun, berbagai capaian itu bak ditelan bumi setelah kejaksaan ikut terseret dalam kasus pelarian Joko Tjandra. Setelah menjadi pihak pertama yang menyampaikan ke publik soal bebasnya Joko keluar masuk Indonesia, pertengahan tahun ini, sekalipun Joko berstatus buronan kasus Bank Bali tahun 2009, ternyata di kemudian hari terungkap ada oknum jaksa yang terlibat dalam pelarian itu.
Jaksa dimaksud Pinangki Sirna Malasari. Saat masih menjabat Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan, ia berulang kali bertemu Joko Tjandra di tempat pelariannya di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia disebut pula sempat menawarkan proposal berupa fatwa bebas dari Mahkamah Agung untuk Joko supaya dia tak perlu menjalani hukuman 2 tahun penjara. Bahkan, ia telah menerima sejumlah uang dari Joko untuk menjalankan proposal itu.
Pinangki kini sudah ditahan akibat perbuatannya itu. Adapun kasusnya masih bergulir di pengadilan.
Namun, untuk menyeret Pinangki ke pengadilan bukan hal yang mudah. Bahkan, kala itu, Komisi Kejaksaan (Komjak) yang hendak memeriksa Pinangki setelah foto Pinangki dan Joko Tjandra di Malaysia dilaporkan ke Komjak ditolak Kejagung dengan alasan Pinangki telah diperiksa Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung. Tak berhenti di situ, Komjak pun sempat kesulitan untuk meminta berkas hasil pemeriksaan Pinangki dari Kejagung.
Sikap Kejagung ini tak pelak memicu kecurigaan publik. Terlebih Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), yang saat itu rajin melaporkan bukti-bukti soal dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus Joko Tjandra kepada sejumlah instansi penegak hukum, berulangkali menyampaikan, Pinangki bukan oknum jaksa satu-satunya yang terlibat dalam kasus Joko Tjandra.
Di tengah kecurigaan yang memuncak, kebakaran hebat melahap hampir seluruh gedung utama Kejaksaan Agung, akhir Agustus lalu. Spekulasi pun bermunculan yang intinya mengaitkan kebakaran itu dengan kasus Joko Tjandra.
Sekalipun kemudian hasil penyidikan oleh Bareskrim Polri, menyimpulkan penyebab kebakaran karena puntung rokok dari tukang yang sedang merenovasi gedung kejaksaan, sebagian publik tak lantas begitu saja percaya.
Rentetan kasus Joko Tjandra itulah yang mirip seperti kata pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga atau hanya karena satu kesalahan, instansi kejaksaan menjadi buruk. Maka, tak heran jika Presiden Joko Widodo dalam pidatonya saat rapat kerja dengan kejaksaan meminta agar kejaksaan menjadi institusi penegak hukum yang bersih.
Menindaklanjuti hal itu, Burhanuddin pun berjanji memperkuat pengawasan internal. Ia berencana membentuk Satuan Tugas 53 yang anggotanya terdiri dari unsur Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen dan Jaksa Agung Muda Pengawasan. Satuan tugas itu akan memperkuat penguatan pengawasan dan penegakan disiplin internal Kejaksaan.
”Dalam rangka mewujudkan kejaksaan yang bersih dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap instansi kejaksaan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak.
Opini publik
Menurut Ketua Komjak Barita Simanjuntak, di era sekarang ini, opini publik justru menjadi ukuran penting dalam penegakan hukum. Jika di masa lalu negara mengendalikan hukum, kemudian di masa modern hukum dijalankan berdasarkan aturan semata, maka di era yang disebutnya postmodern ini, orientasi hukum adalah masyarakat.
”Jadi penegakan hukum dijalankan untuk kemaslahatan masyarakat dan mengacu pada kepentingan masyarakat. Maka, standarnya adalah opini publik,” kata Barita.
Opini publik, kata Barita, menjadi tanda atau indikator kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Ketika kepercayaan publik terlanjur rendah, maka langkah apa pun yang diambil tetap dipersepsi negatif oleh publik. Untuk itu, menjadi penting bagi kejaksaan untuk membangun akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menambahkan, pencapaian kejaksaan dalam bentuk pengamanan aset maupun penyelamatan uang negara hingga triliunan rupiah sudah selayaknya dilakukan sebagai pelaksana hukuman. Yang justru dipertanyakan adalah sejauh mana prestasi itu berpengaruh terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia.
Yang diperlukan publik, kata Fickar, adalah seberapa jauh penegakan hukum oleh kejaksaan tidak mengandung korupsi atau penanganan perkara bebas dari praktik suap-menyuap. Hal itu bahkan dinilainya lebih penting untuk menumbuhkan kesadaran hukum dibandingkan dengan penindakan yang sering kali justru melahirkan korupsi baru.
”Ini juga berkaitan dengan keterbukaan menangani kasus, semisal kasus Joko Tjandra dan Pinangki, di publik terkesan kejaksaan tidak terbuka, tertutup, dan membatasi pada lingkaran tertentu saja,” kata Fickar.