Polri dan Kejagung tak kunjung menyerahkan berkas terkait kasus pelarian Joko Tjandra yang diminta KPK. Pengawasan oleh KPK pun terhambat. Padahal, hal itu penting guna memastikan semua pihak yang terlibat ditindak.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo dan Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi kesulitan untuk bisa mengawasi pengusutan kasus pelarian Joko Tjandra oleh penyidik Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung. Sudah dua kali KPK meminta sejumlah dokumen terkait kasus tersebut, tetapi kedua instansi penegak hukum itu tak kunjung menyerahkannya. Padahal, pengawasan oleh KPK bisa membantu menguak pihak-pihak yang terlibat dalam pelarian Joko Tjandra yang belum tersentuh oleh Bareskrim ataupun Kejaksaan.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (12/11/2020), mengatakan, KPK bersama Bareskrim Polri dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus pada Kejaksaan Agung (Kejagung) memang sudah melakukan gelar perkara bersama kasus pelarian Joko Tjandra. Gelar perkara ini bagian dari supervisi KPK.
KPK telah dua kali meminta Polri dan Kejaksaan mengirimkan salinan berkas perkara dan berita acara pemeriksaan pada 22 September dan 8 Oktober 2020. Akan tetapi, hingga kini, dokumen itu tak kunjung diperoleh KPK.
Namun, setelah gelar perkara bersama itu, keinginan KPK untuk terus mengawasi pengusutan kasus tersebut oleh Polri ataupun Kejaksaan terhambat.
KPK, menurut Nawawi, telah dua kali meminta Polri dan Kejaksaan mengirimkan salinan berkas perkara dan berita acara pemeriksaan pada 22 September dan 8 Oktober 2020. Akan tetapi, hingga kini, dokumen itu tak kunjung diperoleh KPK.
Padahal, KPK membutuhkan dokumen tersebut sebagai bahan untuk mengkaji laporan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus pelarian Joko Tjandra. Selain itu, dokumen juga dibutuhkan untuk melihat perlu atau tidaknya KPK membuka penyelidikan baru.
Amanat undang-undang
Nawawi mengatakan, permintaan dokumen tersebut bukan berarti KPK minta dihargai, melainkan karena supervisi menjadi tugas dan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada KPK. ”Jadi, aturan hukum itulah yang seharusnya dihargai,” kata Nawawi.
Permintaan dokumen tersebut bukan berarti KPK minta dihargai, melainkan karena supervisi menjadi tugas dan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada KPK.
Pada September lalu, Koordinator MAKI Boyamin Saiman melaporkan dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam kasus pelarian Joko Tjandra ke KPK. Ia pun menyampaikan sejumlah inisial nama. Laporan itu diharapkan sebagai bahan KPK dalam mengawasi pengusutan kasus itu oleh Polri dan Kejagung.
Joko Tjandra merupakan terpidana kasus Bank Bali tahun 2009. Ia divonis dua tahun penjara oleh MA. Namun, saat vonis dijatuhkan, ia kabur. Beberapa bulan sebelum akhirnya ditangkap Bareskrim Polri, akhir Juli lalu, Joko yang menetap di Malaysia bebas keluar-masuk Indonesia tanpa sepengetahuan aparat.
Belakangan terungkap sejumlah oknum petinggi di Polri dan jaksa di Kejagung ditengarai terlibat memuluskan Joko untuk bisa keluar dan masuk Indonesia. Mereka kini berstatus terdakwa dan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono belum bisa menjawab terkait dokumen yang diminta oleh KPK. Ia perlu mengeceknya terlebih dulu. Hal senada disampaikan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mendesak agar Kejagung dan Bareskrim Polri memenuhi permintaan dokumen dari KPK tersebut sekaligus membuka akses bagi KPK untuk melakukan supervisi.
Apalagi, telah ada Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020. Pada Pasal 6 Ayat (2) Huruf a dan b disebutkan, KPK berwenang meminta kronologi dan laporan perkembangan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan.
Dengan membuka akses bagi KPK, Kurnia melanjutkan, pihak lain yang diduga terlibat, tetapi belum tersentuh oleh Polri dan Kejaksaan diharapkan bisa ditindak oleh KPK.
Telusuri isi dakwaan
Selain mendalami laporan MAKI, Kurnia mendorong agar KPK menelusuri pula sejumlah pihak yang disebut dalam berkas dakwaan para terdakwa kasus pelarian Joko Tjandra yang belum didalami penyidik Polri ataupun Kejagung. Misalnya, petinggi Polri yang dicatut oleh terdakwa Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte agar dia memperoleh uang suap lebih besar dari Joko Tjandra.
KPK perlu pula menelusuri pengakuan sejumlah saksi di sidang yang menyebut Pinangki menyampaikan bahwa atasannya di Kejagung terlibat. Begitu pula kemungkinan hakim di Mahkamah Agung terlibat seperti terlihat dalam berkas dakwaan Pinangki.