Usai Jalani Hukuman 4 Tahun Penjara, Mantan Menkes Dibebaskan
Usai jalani pidana 4 tahun penjara dan bayar denda, mentan Menteri Kesehatan di era Presiden SBY, Siti Fadilah Supari, bebas murni kemarin. ICW mencatat korupsi sektor kesehatan masih terus membayangi penyelenggaranya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Kesehatan periode 2004-2009, Siti Fadilah Supari, bebas murni dari Rumah Tahanan Kelas I Pondok Bambu, Jakarta Timur, Sabtu (31/10/2020). Siti Fadilah dibebaskan setelah selesai menjalani pidana pokok 4 tahun dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan untuk mengantisipasi kejadian luar biasa tahun 2005.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Rika Aprianti saat dikonfirmasi, Minggu (1/11/2020), di Jakarta, mengatakan, Siti Fadilah telah diserahterimakan dari Rumah Tahanan Kelas I Pondok Bambu kepada pihak kuasa hukum atas nama Kholidin dan pihak keluarga, Sabtu.
Serah terima berjalan lancar sesuai protokol kesehatan. Rika menjelaskan, Siti Fadilah bebas setelah menjalani pidana pokok, pidana denda, dan membayar uang pengganti ke kas negara. Sebelumnya, Siti Fadilah divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 16 Juni 2017. Siti Fadilah terbukti secara sah dan meyakinkan menyalahgunakan wewenang dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan untuk mengantisipasi kejadian luar biasa pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan mengeluarkan surat rekomendasi penunjukan langsung perusahaan penyedia barang dan jasa. Siti Fadilah menerima suap Rp 1,9 miliar dan merugikan negara senilai Rp 5,7 miliar. Atas perbuatannya itu, Siti Fadilah divonis 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan, dan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 1,9 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Siti Fadilah bebas setelah menjalani pidana pokok, pidana denda, dan membayar uang pengganti ke kas negara. Sebelumnya, Siti Fadilah divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada 16 Juni 2017. Siti Fadilah terbukti secara sah dan meyakinkan menyalahgunakan wewenang dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan untuk mengantisipasi kejadian luar biasa pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Departemen Kesehatan.
Siti Fadilah Supari tercatat sebagai sebagai salah seorang menteri perempuan pada era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I tahun 2004 yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di era Yudhoyono, empat perempuan di periode awal KIB I dilantik. Selain Siti Fadilah, ada juga menteri perempuan, yaitu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono. Pada periode kedua, Presiden Yudhoyono menambah jumlah perempuan di kabinetnya menjadi lima orang.
Seperti diberitakan media massa kemarin, Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengaku sudah mengonfirmasi ihwal bebasnya Siti Fadilah ke pihak berwenang. Kata Ali, Siti Fadilah memang sudah waktunya bebas seusai menjalani hukuman pidana badan serta telah membayarkan denda dan uang pengganti terkait perkara korupsinya. Ia berharap hukuman pidana penjara, denda, dan uang pengganti yang dijatuhkan kepada Siti Fadilah dapat menjadi pembelajaran bagi penyelenggara negara lainnya. KPK mengimbau agar penyelenggara negara tidak melakukan tindak pidana korupsi jika tidak ingin dibui kembali.
Masih membayangi
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan dalam artikelnya di Kompas, 14 Mei 2018, menulis, korupsi masih membayangi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Dampak buruknya merugikan keuangan negara dan menurunkan kualitas layanan juga secara langsung mengancam nyawa masyarakat. Korupsi terjadi di pembuat kebijakan hingga unit penyedia layanan, seperti rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat. Pada tingkat pusat, misalnya, sudah dua mantan menteri kesehatan yang ditahan: Achmad Suyudi dan Siti Fadilah Supari.
Pada tingkat daerah, beberapa kepala daerah ditahan KPK karena terlibat korupsi proyek dan anggaran kesehatan, antara lain Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Wali Kota Tegal Siti Mashita, dan mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah. Begitu pula tingkat penyedia pelayanan, tidak sedikit pemimpin atau pegawai rumah sakit dan puskesmas yang berurusan akhirnya masuk bui karena korupsi.
Dari banyak celah korupsi, pengadaan alat kesehatan dan obat tercatat merupakan dua sektor paling rawan. Berdasarkan tren pemberantasan korupsi anggaran kesehatan 2010-2015, pengadaan alat kesehatan menempati urutan puncak sektor paling banyak korupsi. Dalam rentang lima tahun, setidaknya ada 107 kasus korupsi pengadaan alat kesehatan yang ditangani aparat penegak hukum. Nilai kerugian Rp 543 miliar.
Banyak faktor penyebab pengadaan alat kesehatan jadi obyek utama korupsi. Pertama, alokasi anggarannya besar. Seiring pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran, semakin banyak alat yang digunakan untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Hampir semua tindakan medis menggunakan bantuan alat kesehatan.
Apalagi, di sisi lain, pemerintah daerah berlomba ”menaikkan kelas” rumah sakit. Syarat utama yang harus dipenuhi: memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan medik, seperti medik umum dan spesialis. Semua itu menuntut ketersediaan alat kesehatan. Semakin tinggi tipe, semakin banyak fasilitas dan jenis pelayanan yang harus disediakan. Artinya, makin banyak alat yang mesti dimiliki.
Dari banyak celah korupsi, pengadaan alat kesehatan dan obat tercatat merupakan dua sektor paling rawan. Berdasarkan tren pemberantasan korupsi anggaran kesehatan 2010-2015, pengadaan alat kesehatan menempati urutan puncak sektor paling banyak korupsi. Dalam rentang lima tahun, setidaknya ada 107 kasus korupsi pengadaan alat kesehatan yang ditangani aparat penegak hukum. Nilai kerugian Rp 543 miliar.
Kedua, alat kesehatan memiliki banyak substitusi. Satu jenis barang dengan fungsi dan spesifikasi yang sama bisa diproduksi banyak perusahaan. Kualitas dan harga berbeda-beda. Sebenarnya hal tersebut sangat lumrah dalam dunia bisnis. Namun, yang jadi masalah adalah perbedaan harga sering kali dimanfaatkan sebagai peluang untuk korupsi.
Dari banyak kasus korupsi, khususnya di daerah, modus yang digunakan dengan mencari keuntungan dari selisih harga. Dalam pengusulan anggaran, spesifikasi mengacu pada barang yang berkualitas tinggi; umumnya diproduksi perusahaan dari Eropa atau Amerika. Akan tetapi, realisasinya, barang yang dibeli berkualitas lebih rendah dengan harga yang jauh lebih murah.
Ketiga, lemahnya pengawasan. Selain jenisnya banyak, spesifikasi alat kesehatan umumnya lebih rumit. Tidak semua orang bisa memahami dan membedakan antara alat berkualitas rendah dan tinggi. Karena cukup rumit, tak banyak yang mau dan mampu mengawasi pengadaan alat kesehatan. Akibatnya, berbagai manipulasi dan penyelewengan dengan mudah dilakukan. Selain mencari selisih harga, modus lain yang sering digunakan: mark up harga, penyunatan anggaran, manipulasi pembelian.
Hal serupa terjadi dalam pengadaan obat. Hampir semua aktivitas pelayanan kesehatan berkaitan dengan obat. Walau sebagian besar harganya tidak semahal alat kesehatan, alokasi anggaran yang disediakan hampir sama besar, jenisnya pun sangat banyak, dan jarang yang mengetahui detail teknis atau spesifikasinya (Kompas, 14/5/2018).