Apa yang Sebenarnya Terjadi di Tahun 1965?
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 hingga kini masih menjadi misteri. Narasi mengenai apa yang terjadi pada hari-hari tersebut dan setelahnya masih sedikit, khususnya terkait pembunuhan anggota PKI di daerah-daerah.
Apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1965?
Pertanyaan ini belum bisa dijawab dengan baik dan terus menjadi hantu di bulan September karena belum berimbangnya narasi tentang tahun ini. Negara menghentikan narasi tahun 1965 pada 1 Oktober.
Narasi ini merupakan lanjutan dari malam sebelumnya, Gerakan 30 September, yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menewaskan enam jenderal, satu letnan, Ade Irma Suryani Nasution, petugas satpam di rumah sebelah rumah Leimena, keponakan Mayjen Panjaitan, dan dua perwira di Jawa Tengah. Enam jenderal dan satu letnan itu tidak saja diculik, tetapi disiksa hingga tewas di kawasan Lubang Buaya.
Negara tidak banyak bicara tentang deretan kejadian pasca-1 Oktober. Ada ribuan bahkan mungkin jutaan orang Indonesia menjadi korban di Aceh, Sumatera, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, dan Flores. Banyak yang diculik lalu dibunuh dengan tuduhan anggota PKI.
Negara tidak banyak bicara tentang deretan kejadian pasca-1 Oktober. Ada ribuan bahkan mungkin jutaan orang Indonesia menjadi korban di Aceh, Sumatera, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, dan Flores.
Rentetan peristiwa itu tidak saja mengubah bangsa Indonesia yang tadinya bersatu melawan kolonialisme menjadi terpecah belah. Ada kebencian di antara sesama warga negara. Ada kriteria berdasarkan ideologi atau pemihakan untuk membelah masyarakat antara siapa yang menjadi warga negara yang baik dan siapa yang menjadi sampah masyarakat.
Hal ini muncul dalam diskusi yang diselenggarakan historia.id, Selasa (29/9/2020) via daring, di mana peneliti antropologi dari Universitas Leiden, Grace Leksana, dan sejarawan University of British Columbia, Vancouver, Kanada, John Roosa, serta dipandu sejarawan sekaligus Pemimpin Redaksi historia.id Bonnie Triyana.
Bonnie membuka diskusi berjudul ”Sejarah yang Dikubur” dengan mengatakan, peristiwa 1 Oktober 1965 itu tentu tidak bisa dibenarkan. Terjadi pembunuhan yang keji. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa yang mengiringi setelah itu juga tidak bisa dibenarkan.
Baca juga : Kenangan akan Pierre Tendean
Perang narasi
Grace yang melakukan riset di sebuah desa di Malang Selatan, Jawa Timur, menemukan, para pelaku penumpasan PKI berupaya meyakinkannya bahwa PKI memang perlu ditumpas. Para pelaku ini adalah warga biasa yang juga ada keluarganya yang diculik saat penumpasan tersebut. Mereka kemudian menjadi pejabat di desa, seperti sekretaris desa dan pamong desa, mengisi jabatan-jabatan yang tadinya dikuasai para anggota PKI.
Para pelaku penumpasan PKI berupaya meyakinkannya bahwa PKI memang perlu ditumpas. Para pelaku ini adalah warga biasa yang juga ada keluarganya yang diculik saat penumpasan tersebut.
Terjadi juga normalisasi kekerasan, yaitu pembenaran bahwa kekerasan pasca-1 Oktober 1965 itu adalah sebuah kewajaran karena PKI juga melakukan kekerasan massal pada tahun 1948. Peristiwa 1948 ini memang tidak bisa dilepaskan dari peristiwa tahun 1965. Tidak saja masih ada aktor-aktor yang sama, tetapi ada beberapa perbedaan seperti rekonsiliasi yang terjadi pasca-1948, hal yang tidak terjadi pasca-1965.
John Roosa mengatakan, pasca-G30S, terjadi penangkapan hingga sekitar tahun 1979. Selain penangkapan, juga terjadi pembunuhan massal lewat penghilangan paksa. Di tiap daerah, metodanya bisa berbeda-beda.
”Kalau penahanan paksa mungkin masih bisa. Tetapi penghilangan paksa sangat keji karena orang yang sudah tidak berdaya di tahanan dibawa ke suatu tempat lalu dibunuh,” kata John.
Pasca-G30S, terjadi penangkapan hingga sekitar tahun 1979. Selain penangkapan, juga terjadi pembunuhan massal lewat penghilangan paksa.
John memberi catatan, perlu juga dipertimbangkan efek internasional, terutama perang Amerika Serikat melawan komunisme. Salah satu analisis John, AS memberikan berbagai fasilitas sebagai ”hadiah” penumpasan komunisme di Indonesia, baik pada tahun 1948 maupun pasca-1965.
Baca juga : Pierre Tendean Bisa Jadi Teladan Generasi Milenial
Tahun 2020
Grace berpendapat, bangsa Indonesia terus akan hidup di antara dua narasi ini. Narasi alternatif cukup berkembang pasca-Reformasi, tetapi masih ada persekusi di sana-sini. Akan tetapi, merujuk penelitiannya di desa di Malang Selatan itu, masyarakat juga punya pertimbangan-pertimbangan.
Sementara John melihat bahwa masih banyak yang takut membicarakan peristiwa tahun 1965, apalagi 1948. Di sisi lain, sudah banyak saksi yang meninggal sehingga sulit untuk melakukan rekonstruksi. John menyetujui upaya rekonsiliasi seperti yang diadakan Letjen (Prun) Agus Widjojo tahun 2016. Simposium ini diikuti dengan berbagai rekasi pro-kontra.
Riset tentang peristiwa 1948 dan 1965 sekiranya bisa terus dilakukan. Hal ini tentu tidak akan lepas dari kontroversi.
Riset tentang peristiwa 1948 dan 1965 sekiranya bisa terus dilakukan. Hal ini tentu tidak akan lepas dari kontroversi. John, misalnya, menentang isi Cornell Paper yang menyebutkan peristiwa G30 S adalah hasil konflik internal militer. Di sisi lain, John menyebutkan peristiwa G30 S adalah kerja sama segelitir politbiro PKI dengan beberapa perwira militer.
Ada banyak fakta yang belum terbuka hingga hari ini. Pertanyaan tentang apa yang terjadi pada tahun 1965 kian sulit dijawab dengan fakta. Tidak heran, perang narasi terjadi hampir setiap bulan September. Yang harus diingat adalah perspektif kemanusiaan tetap harus dikedepankan. Kejahatan terhadap kemanusian seperti penyiksaan dan penghilangan paksa tidak boleh terulang lagi, baik karena perbedaan agama, ideologi, maupun pilihan-pilihan politik.