Jumlah kasasi yang diajukan koruptor terbilang tinggi. Jumlah pengajuan PK oleh koruptor pun terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Ada imbas dari pensiunnya Hakim Agung MA Artidjo Alkostar pada 2018.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Utama PT Garuda Indonesia (2005-2014) Emirsyah Satar mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonisnya 8 tahun penjara dalam kasus suap pembelian pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Internasional.
Pengajuan kasasi Emirsyah menambah banyak jumlah koruptor yang tak terima dengan hukuman yang diberikan pengadilan tingkat pertama dan kedua. Tak hanya itu, setelah Mahkamah Agung tetap memutuskan koruptor bersalah, banyak koruptor tetap berupaya mengajukan peninjauan kembali (PK) agar bebas dari hukuman atau memperoleh keringanan hukuman. Jumlah pengajuan PK ini pun terus meningkat tiga tahun terakhir.
Emirsyah dihukum setelah menerima uang suap senilai setidaknya Rp 48 miliar dalam bentuk rupiah dan sejumlah mata uang asing dalam pembelian pesawat di PT Garuda Indonesia. Uang tersebut diterima Emirsyah dari Presiden Komisaris PT Mugi Rekso Abadi yang juga beneficial owner Connaught International Soetikno Soedarjo.
Uang tersebut diterima supaya Emirsyah memuluskan sejumlah pengadaan yang dikerjakan PT Garuda Indonesia. Selain dihukum penjara, Emirsyah juga dihukum denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. Ia juga harus membayar yang pengganti sebesar 2.117.315,27 dollar Singapura atau sekitar Rp 22,38 miliar subsider 2 tahun kurungan penjara.
Kuasa hukum Emirsyah Satar, Luhut Pangaribuan, mengungkapkan, Emirsyah memutuskan kasasi karena menilai hukuman yang dijatuhkan kepadanya kurang adil. Pernyataan kasasi telah disampaikan pada pekan lalu. ”Memori (kasasi) akan masuk hari ini,” kata Luhut melalui pesan singkat, Jumat (7/8/2020).
Ia menjelaskan, perkara ini bermula dari kasus deferred prosecution agreement (DPA) di Inggris. Ada delapan negara yang disebut, tetapi hanya di Indonesia yang menjadi perkara. Lebih jauh lagi, PLN juga ada di dalam DPA tersebut, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengusutnya. Menurut Luhut, hal tersebut merupakan bentuk diskriminatif sehingga tidak adil.
Menurut dia, Emirsyah tidak aktif dalam pengadaan di Garuda, termasuk apa yang didakwakan kepadanya. Tim bekerja sesuai kewenangannya.
”Namun, dinyatakan suap aktif untuk mendapatkan sesuatu. Jadi ada yang salah dalam penerapan hukum. Oleh karena itu, harus diperbaiki MA (Mahkamah Agung) sesuai ketentuan,” tutur Luhut.
Selain itu, tidak ada usaha dari Emirsyah menyembunyikan apa yang pernah diberikan oleh Soetikno. Meskipun demikian, Emirsyah mengakui ada penerimaan dari Soetikno. Pemberian tersebut juga sudah dikembalikan kepada Soetikno.
Hukuman yang dijatuhkan kepada Emirsyah untuk membayar uang pengganti kepada Garuda juga dianggap janggal. Sebab, tidak ada perhitungan kerugian yang dialami Garuda dalam kasus ini.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, jaksa penuntut umum (JPU) KPK telah menyampaikan argumentasi dan bukti-bukti yang kuat tentang keterlibatan Emirsyah terkait pasal yang didakwakan. Demikian pula, pihak terdakwa telah menyampaikan pembelaannya.
Emirsyah telah diputus bersalah oleh pengadilan negeri dan tinggi Jakarta. ”Jika sekarang terdakwa kasasi, tentu hal tersebut adalah haknya. Namun, KPK yakin, pertimbangan hakim judex factie tingkat pertama dan banding tersebut telah sesuai fakta-fakta hukum di persidangan,” ucap Ali.
Usaha koruptor
Pengajuan kasasi yang dilakukan Emirsyah semakin menambah panjang usaha koruptor untuk bisa bebas atau mendapatkan keringanan hukuman. Selain kasasi, tak sedikit yang mengajukan PK di MA.
Dalam laporan akhir tahun MA 2019 disebutkan, pada tahun 2019 ada 533 perkara kasasi korupsi yang masuk ke MA. Adapun sisa perkara di tahun 2018 masih ada 122 kasus. Pada akhir 2019, MA berhasil memutus sebanyak 626 perkara kasasi kasus korupsi. Dengan demikian, hanya tersisa 29 perkara pada tahun 2020.
Rasio upaya hukum kasasi untuk perkara pidana termasuk korupsi masih cukup tinggi, yaitu 63,53 persen. Artinya, pihak yang beperkara masih banyak yang belum menerima putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama dan kedua.
Adapun untuk pengajuan PK kasus korupsi, sepanjang 2019 masuk 235 perkara. Sisa perkara di tahun 2018 masih ada 49. Jumlah PK yang diputus sebanyak 268 perkara, atau masih menyisakan 16 perkara.
Rasio upaya peninjauan kembali dalam perkara pidana termasuk korupsi cukup rendah, yaitu 4,30 persen. Artinya, pihak yang beperkara sebagian besar telah menerima putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap kasus hukum yang dihadapinya.
Meski demikian, berdasarkan data Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (Leip) yang diolah dari laporan tahunan MA, jumlah peninjauan kembali untuk kasus korupsi di MA terus meningkat. Tahun 2019 sebanyak 235 perkara. Sebelumnya, pada 2018 ada 208 perkara dan 2017 ada 188 perkara. Sementara itu, untuk kasasi kasus korupsi justru menurun. Pada 2019 ada 533 perkara, 2018 ada 662 perkara, dan 2017 ada 546.
Efek Artidjo
Peneliti senior Leip, Arsil, mengatakan, meningkatnya jumlah PK yang masuk ke MA karena faktor dari pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar pada 2018. ”Setelah Artidjo pensiun, banyak PK yang diajukan. Sebelumnya banyak yang menunda karena khawatir hukumannya justru akan meningkat,” kata Arsil.
Hal serupa diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Setelah Artidjo pensiun, ada gelombang besar narapidana kasus korupsi yang mengajukan PK ke MA.
”Tentu dua hal ini berkelindan dan dapat dimaknai sebagai kausalitas. Putusan yang dijatuhkan oleh MA setelah Artidjo purnatugas kerap kali meringankan/membebaskan pelaku kejahatan korupsi,” ujar Kurnia.
Pada akhir 2019, ICW mencatat, ada tujuh terpidana yang diganjar vonis ringan pada tingkat PK dan lima terdakwa divonis lebih rendah pada tingkat kasasi setelah Artidjo purnatugas.
Menurut Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah pengajuan PK kasus pidana korupsi. Salah satunya, bisa saja terpidana menganggap ada disparitas putusan dalam perkara yang sama. Oleh karena itu, terpidana merasa berhak mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu PK.
Terkait hal itu, baru-baru ini, MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 yang mengatur pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pedoman pemidanaan tersebut dibuat untuk menghindari disparitas putusan dalam perkara yang sama secara mencolok.
Dalam Perma No 1/2020 itu diatur secara rinci tentang pedoman pemidanaan dengan parameter jumlah kerugian negara, tingkat kesalahan, hingga dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan koruptor. Perma diterbitkan supaya hakim tipikor memiliki pertimbangan yang terukur untuk mencapai keadilan yang proporsional.
”Artinya, putusan pemidanaan dapat dibuat dengan lebih proporsional karena ada parameternya yang terukur,” kata Andi.
Didasarkan spekulasi
Selain karena disparitas putusan, bisa juga terpidana mengajukan PK lebih didasarkan pada spekulasi agar bisa lepas dari jerat hukum atau memperoleh keringanan hukuman. Peninjauan kembali adalah upaya hukum terakhir yang dimiliki sehingga terpidana ingin memanfaatkannya.
Melalui Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014, MA sudah membatasi pengajuan PK hanya satu kali. Pengajuan PK lebih dari satu kali hanya dapat diajukan jika ada dua putusan yang bertentangan. Dua putusan yang bertentangan itu dapat diartikan sebagai bentuk ketidakadilan.
”Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa PK dapat diajukan berkali-kali, MA membuat SEMA No 7/2014. Di situ dibatasi bahwa PK hanya boleh satu kali, kecuali ada dua putusan yang saling bertentangan,” ujar Andi.