Pemungutan Suara di Tengah Pandemi Covid-19, seperti Apa Bentuknya?
Pemungutan suara Pilkada 2020 berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya karena digelar di tengah pandemi Covid-19. KPU menyimulasikan pemungutan suara tersebut di Kantor KPU, hari ini, Rabu (22/7/2020).
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum menyelenggarakan simulasi pemungutan suara untuk Pemilihan Kepala Daerah 2020, Rabu (22/7/2020). Pemungutan suara pada pemilihan kali ini berbeda dengan pemilihan sebelumnya karena pemilihan digelar di tengah pandemi Covid-19. Maka, protokol kesehatan diterapkan oleh penyelenggara, pengawas, dan pemilih.
Simulasi pemungutan suara serentak itu diikuti oleh 500 orang yang berasal dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga swadaya masyarakat, serta undangan dari kementerian atau lembaga. Situasi pemungutan suara didesain seperti saat hari pemungutan suara, yaitu berlangsung pukul 07.00-13.00. Sebelum pemungutan suara dimulai, tempat pemungutan suara (TPS) berukuran 8 meter x 10 meter itu disemprot dengan disinfektan terlebih dahulu.
Menurut pantauan, sejak sebelum masuk ke TPS, pemilih diwajibkan mencuci tangan dengan sabun. Kemudian, petugas akan mengecek suhu tubuh pemilih dengan alat thermo gun. Jika suhu tubuh pemilih di atas 37,3 derajat celsius, mereka akan diarahkan untuk memilih di bilik khusus.
Saat awal simulasi, para pemilih masih terlihat menaati protokol kesehatan. Namun, setelah simulasi berjalan cukup panjang, terutama saat mendekati TPS tutup, banyak pemilih yang tidak tertib saat mengantre masuk TPS. Mereka pun terlihat tidak menjaga jarak aman minimal 1 meter satu sama lain.
Di dalam TPS, pemilih akan diberi sarung tangan plastik yang mirip sarung tangan untuk adonan kue. Saat menandatangani daftar hadir, pemilih diwajibkan membawa alat tulis masing-masing. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pulpen digunakan bersamaan dengan pemilih lain.
Kemudian, setelah memakai sarung tangan plastik, pemilih menandatangani daftar hadir dan mengambil surat suara.
Di bilik suara, jarak diatur antarbilik masing-masing sekitar 1 meter. Karena sudah menggunakan sarung tangan plastik, pemilih mencoblos dengan satu paku yang dipakai bersama-sama. Hal itu berbeda dengan wacana awal KPU yang akan memakai paku sekali pakai.
Setelah mencoblos surat suara, pemilih kemudian memasukkan surat suara ke dalam kotak suara. Sebagai bukti bahwa telah mencoblos, jika biasanya jari dicelup ke tinta, kali ini tinta hanya dioles menggunakan alat khusus, bentuknya mirip dengan alat usap Tipe-X. Alat tersebut tidak diganti setelah digunakan untuk mengoles ke jari tiap pemilih.
Setelah selesai mencoblos, pemilih harus kembali mencuci tangan di tempat yang disediakan di pintu keluar TPS.
Karena masih tahapan simulasi, KPU juga mencatat berapa lama waktu yang dihabiskan oleh tiap pemilih sejak masuk ke TPS, menunggu dipanggil oleh KPPS, hingga keluar TPS. Waktu yang dihabiskan pemilih berkisar 4-5 menit. Namun, ada pula pemilih yang menghabiskan waktu hingga 15 menit karena lupa tidak membawa KTP elektronik.
Evaluasi
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, ini merupakan simulasi awal setelah peraturan KPU disesuaikan dengan protokol kesehatan. Simulasi tersebut akan dievaluasi kekurangannya. Apa yang menjadi kendala saat simulasi masih dapat dirumuskan ulang, terutama rekomendasi soal protokol kesehatannya.
Salah satu upaya yang dilakukan KPU adalah meminta KPPS untuk membagi kedatangan pemilih dalam beberapa kelompok agar tidak terjadi penumpukan di TPS. Melihat pola yang terjadi saat pemilu, pemilih biasanya datang ke TPS pada pukul 08.00-10.00. Kali ini, karena pilkada dilakukan pada masa pandemi, petugas KPPS diminta mengatur lalu lintas kedatangan pemilih agar tidak terjadi penumpukan.
”Hasil simulasi ini akan dievaluasi, kira-kira bagian mana yang harus diperbaiki. Nanti akan disampaikan dalam waktu dekat ini,” kata Arief.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan, setelah simulasi tersebut, KPU akan menyusun panduan teknis untuk pelaksanaan pilkada. Simulasi dibuat untuk mencari bentuk yang paling pas agar pilkada serentak 2020 tetap sukses dan aman dari potensi penularan Covid-19.
”Kami sedang mencoba mencari skenario yang paling baik bagaimana. Nanti pasti KPU akan memilih setelah mendapat pertimbangan teknis dari kami di Kemenkes. Nanti akan ditulis dan inilah yang akan jadi pedoman untuk daerah,” katanya.
Yurianto yang juga ikut jadi pemilih dalam simulasi itu mengatakan, dalam pemungutan suara, yang harus dipastikan adalah menjaga jarak satu sama lain. Tidak hanya pemilih, petugas juga harus menjaga jarak dan meminimalkan kontak dengan apa pun. Pemilih yang kemungkinan datang dan membawa anak kecil juga harus diingatkan untuk menerapkan protokol kesehatan.
Ia menambahkan, Aapabila saat pemungutan suara ada pemilih yang sakit dan suhu tubuhnya cukup tinggi, orang tersebut diharapkan segera mencoblos dan pulang. Mereka yang bersuhu badan tinggi ini juga tidak boleh digabungkan di tempat tunggu yang sama dengan dengan yang sehat. Mereka harus dipisahkan, baik tempat tunggu maupun bilik pemilihan suaranya.
Komisioner Bawaslu, M Afifuddin, memberikan catatan soal pemungutan suara tersebut. Salah satunya, pemilih butuh waktu lebih lama untuk menggunakan hak pilihnya karena harus mengenakan sarung tangan di dalam TPS. Ini dilihatnya membuat antrean panjang pemilih terjadi. Dengan demikian, pemberian sarung tangan hendaknya dilakukan lebih awal.
Selain itu, sisi krusial lain adalah kursi tunggu pemilih yang dipakai bergantian oleh pemilih. Karena dipakai umum, kursi tersebut perlu disemprot dengan disinfektan secara periodik, misalnya setiap 10-15 menit.
”Selain itu, soal desain bilik suara masih mendapatkan catatan dari teman-teman disabilitas. Bilik suara terlalu mepet dengan dinding belakang sehingga kursi roda susah bermanuver. Demikian juga dengan kotak suara yang terlalu tinggi sehingga harus diturunkan saat memasukkan surat suara. Pemilu harus aksesibel untuk semuanya sehingga ini harus diperbaiki,” papar Afifuddin.
Selain itu, Afifuddin menyoroti keamanan data pribadi dalam surat undangan pemilihan. Menurut dia, dalam surat undangan (C-6) masih tercantum nomor induk kependudukan (NIK) lengkap sehingga dikhawatirkan dapat disalahgunakan. Oleh karena itu, KPU diminta untuk mencari format terbaik agar surat undangan memberikan perlindungan terhadap data pribadi warga.
”Saya juga melihat di TPS yang masih seluas ini saja petugas masih agak repot dan antrean juga belum terlalu tertib terhadap aturan protokol kesehatan. Apalagi nanti jika di daerah, TPS sempit ini bagaimana? Harus diantisipasi,” ujarnya.